
AS-Arab Saudi Tegang, Prancis Cari Perkara, Dolar AS Cuan

IHSG justru terjerembab kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia diperdagangkan menguat. Indeks Nikkei 225 naik 0,37%, Shanghai Composite menguat 0,33%, dan Strait Times bertambah 0,02%.
Sementara rupiah terdepresiasi saat mayoritas mata uang Benua Kuning juga harus terjerumus ke zona merah. Hingga pukul 16.21 WIB, beberapa mata uang Asia tunduk di hadapan dolar AS, seperti yuan China (-0,02%), yen Jepang (-0,11%), ringgit Malaysia (-0,08%), dolar Singapura (-0,09%), dan baht Thailand (-0,12%).
Sejatinya, perdagangan kemarin memang diselimuti sentimen negatif. Pelaku pasar dibuat takut oleh potensi ribut-ribut antara AS dengan sekutunya Arab Saudi terkait dengan tewasnya kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan keras mengenai masalah ini. Erdogan menyebut bahwa pembunuhan Khashoggi merupakan sesuatu yang terencana.
"Intelijen dan aparat keamanan memiliki bukti bahwa pembunuhan ini sudah direncanakan. Arab Saudi sudah mengakui bahwa Khasshogi tewas terbunuh, dan sekarang kita semua berharap pengungkapan terhadap semua yang terlibat dari atas sampai bawah dan mereka harus menerima ganjaran. Dari orang yang memerintahkan, melakukan, semua harus bertanggung jawab," jelas Erdogan dalam pidato di parlemen, mengutip Reuters.
Presiden AS Donald Trump pun sepertinya semakin menunjukkan kekecewaan dan kemarahan kepada Arab Saudi. Setelah pidato Erdogan, Trump menyatakan bahwa Arab Saudi mencoba menutupi kasus Khasshogi dengan buruk.
"Konsep awalnya sangat jelek, pelaksanaannya buruk, dan cara menutupinya juga salah satu yang paling payah sepanjang sejarah," tegas Trump kepada para jurnalis di Oval Office, dikutip dari Reuters.
Tidak hanya dari Timur Tengah, Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk menolak rancangan anggaran negara Italia tahun fiskal 2019. Brussel menilai defisit anggaran yang mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) terlalu besar.
Namun Italia sepertinya malah menjadi semakin keras. Teranyar, dalam sebuah wawancara radio RTL 102,5, Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini berkeras anggaran ekspansif, yang meningkatkan defisit tahun depan menjadi 2,4% dari PDB (dari target semula 1,8% PDB), adalah satu-satunya cara untuk menurunkan utang publik.
Pemerintah Italia memang memiliki utang yang sangat besar, mencapai 131,2% PDB pada 2017, tetapi beranggapan cara untuk mengatasi masalah itu bukan dengan berhemat melainkan meningkatkan PDB. Oleh karena itu, pemerintah berencana memberikan bantuan kepada rakyat agar bisa meningkatkan konsumsi yang membuat dunia usaha bergeliat, ekonomi berputar, dan pada akhirnya PDB akan tumbuh lebih cepat sehingga rasionya terhadap utang pun mengecil.
"Warga Italia harus didahulukan. Italia tidak lagi ingin menjadi pelayan untuk aturan konyol," kata Salvini, yang memimpin Partai Liga yang memerintah bersama Gerakan Bintang Lima, dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini lagi-lagi menciptakan ketidakpastian di pasar. Sebab, investor tentu tidak mau Italia kembali terjebak dalam krisis fiskal seperti pada 2009-2010. Apa yang dilakukan pemerintah Italia saat ini membuat memori investor kembali ke masa-masa gelap itu.
Segala ketidakpastian global akhirnya mendorong pelaku pasar menanggalkan aset-aset berisiko dan beralih memeluk dolar AS sebagai instrumen safe haven. Hal ini ditunjukkan oleh Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia, menguat sebesar 0,35% ke 96,298, hingga pukul 16:00 WIB kemarin.
Beruntung, ada sedikit dorongan beli bagi bursa saham Benua Kuning yakni positifnya kinerja sektor manufaktur di Jepang. Pada pagi hari kemarin, Flash Manufacturing PMI periode Oktober diumumkan sebesar 53,1, mengalahkan konsensus yang sebesar 52,6.
Sayang, IHSG benar-benar tak mampu memanfaatkan momentum tersebut, seiring masih kuatnya respons negatif terhadap keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dengan ditahannya suku bunga acuan, praktis tak ada sentimen dari dalam negeri yang bisa membawa rupiah menguat. Terlebih, tekanan bagi rupiah datang dari potensi membengkaknya defisit transaksi berjalan (current account) Indonesia.
"Ekspor agak lemah, pertumbuhan akselerasi impor meningkat ini berpengaruh pada current account kuartal III. Ditambah harga minyak yang tinggi," kata Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara.
Pelemahan rupiah membuat saham-saham perbankan banyak dilepas oleh pelaku pasar. Saham-saham perbankan yang berguguran adalah BBTN (-5,65%), BBRI (-2,32%),
BMRI (-1,56%), BBCA (-1,31%), dan BBNI (-1,05%). Saat saham sektor keuangan, utamanya perbankan, sudah dilepas maka IHSG tidak punya harapan.
Kabar buruk datang dari Wall Street, di mana tiga indeks utama mengalami koreksi dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,41%, S&P 500 amblas 3,09%, dan Nasdaq Composite ambrol 4,63%.
Secara year-to-date (YtD) kini DJIA melemah 0,55% dan S&P 500 turun 0,79%. Tinggal Nasdaq yang masih menyimpan 'tabungan' penguatan 6,14%.
Investor mulai mengendus risiko perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Hal ini terlihat dari rilis data terbaru di AS.
Pertama adalah penjualan rumah baru yang sebesar 553.000 unit pada September. Jumlah ini turun 5,5% secara year-on-year (YoY) sekaligus menjadi yang terendah sejak Desember 2016.
Kebijakan The Federal Reserve/The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan sepertinya mulai memakan korban. Sejak awal tahun, Jerome Powell dan kolega sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan. Bahkan kemungkinan besar akan dilakukan lagi pada Desember.
Seiring kenaikan suku bunga acuan, suku bunga kredit pun ikut terdongkrak termasuk kredit perumahan. Data perusahaan pembiayaan perumahan Freddie Mac menyebutkan, suku bunga kredit perumahan untuk tenor 30 tahun kini rata-rata adalah 4,85%. Naik 80 basis poin (bps) dibandingkan tahun lalu.
Kedua adalah laporan The Fed dalam Beige Book yang menyebutkan dunia usaha mulai menaikkan harga akibat perang dagang dengan China. Tingginya bea masuk untuk importasi bahan baku dan barang modal asal China membuat dunia usaha semakin tidak bisa menahan untuk tidak menaikkan harga.
Beige Book adalah laporan The Fed yang merangkum hasil diskusi dengan para pelaku usaha di 12 negara bagian. Proses ini berlangsung sejak September hingga pertengahan Oktober.
"Pabrik-pabrik melaporkan kenaikan harga barang jadi sudah tidak terhindarkan. Kenaikan ini disebabkan biaya yang lebih tinggi untuk impor bahan baku seperti baja yang terkait dengan kebijakan bea masuk," sebut laporan The Fed.
Meski demikian, The Fed menegaskan bahwa sejauh ini belum ada tekanan inflasi yang berarti. The Fed masih melihat inflasi tidak jauh dari target di kisaran 2%. "Harga memang naik, tetapi naik dalam level rendah sampai moderat," sebut laporan itu.
Tidak hanya itu, dunia usaha juga dinilai belum mengalami tekanan signifikan. Ini dibuktikan dari pasar tenaga kerja yang masih ketat, belum ada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Bahkan yang ada perusahaan kesulitan mencari karyawan, terutama untuk beberapa posisi seperti ahli mesin, ahli keuangan dan penjualan, pekerja konstruksi, sampai sopir truk.
Namun yang dicerna oleh pelaku pasar adalah dunia usaha mulai terbeban akibat perang dagang. Ke depan, beban ini akan semakin berat apabila tidak ada penyelesaian terhadap friksi Washington-Beijing.
"Sepertinya investor panik sehingga aksi jual masif kembali terjadi," ujar Chris Zaccarelli, Chief Investment Officer di Independent Advisor Alliance yang berbasis di North Carolina, dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kabar buruk dari Wall Street yang 'kebakaran'. Dikhawatirkan api dari Wall Street menjalar ke Asia, termasuk Indonesia.
Kedua adalah hubungan AS-Arab Saudi yang semakin tegang karena kasus pembunuhan Khasshogi. Presiden Trump kini mulai berani menyebut nama Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bon Salman kemungkinan ikut terlibat.
"Well, Pangeran menjalankan segalanya saat ini. Jadi kalau ada seseorang yang terlibat (dalam pembunuhan Khasshogi), kemungkinan dia juga," kata Trump dalam wawancara dengan Wall Street Journal.
Wujud sanksi AS pun mulai terlihat. Kementerian Luar Negeri AS mencabut atau tidak mengizinkan pengesahan visa bagi 21 orang warga Arab Saudi.
"Dunia harus tahu bahwa mereka yang terlibat, tidak hanya yang melakukan tetapi juga pihak-pihak yang terkait, harus bertanggung jawab. Sanksi ini bukan yang terakhir dari AS. Bapak Presiden maupun saya tidak senang dengan situasi ini," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, mengutip Reuters.
Ketegangan di Timur Tengah ini bisa membuat investor enggan mengambil risiko. Lebih baik bermain aman daripada 'terbakar' karena terlalu berani. Instrumen yang diuntungkan adalah dolar AS, sementara rupiah dan IHSG perlu bersiap menghadapi koreksi yang lebih dalam.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Eropa. Selain Italia, ternyata ada lagi negara yang coba bermain api dengan fiskal. Namanya Prancis.
Uni Eropa mengirimkan surat kepada Prancis yang berisi peringatan untuk mengurangi utang pemerintah. Pada 2017, rasio utang pemerintah Prancis adalah 97% PDB. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 96,6%.
Untuk menurunkan utang, pemerintah Prancis berkomitmen memangkas defisit 0,6% PDB setiap tahunnya. Namun untuk tahun ini, pemotongan defisit hanya 0,1% dan tahun depan adalah 0,3%.
Situasi ini lantas mengindikasikan bahwa tidak hanya Italia yang bermasalah dengan Uni Eropa. Apabila kondisinya memanas, kisruh bisa saja berlanjut ke Prancis, atau bahkan negara Eropa lainnya.
Italia saja sudah membuat pelaku pasar pusing, kini ditambah Prancis ikut cari perkara. Apalagi Negeri Anggur adalah perekonomian terbesar kedua di Benua Biru. Risiko di Prancis tentu menjadi perhatian investor.
Sentimen keempat adalah nilai tukar dolar AS yang masih perkasa. Pada pukul 05:06 WIB, Dollar Index menguat 0,43%. Berbagai risiko yang sudah disebutkan mulai dari dinamika kasus Khasshogi sampai gaduh fiskal di Eropa sepertinya sudah membuat investor menentukan pilihan yaitu bermain aman.
Tujuan paling masuk akal saat ini adalah dolar AS, karena selain aman juga menjanjikan cuan seiring tren kenaikan suku bunga acuan. Meski penjualan rumah menurun dan dunia usaha mulai khawatir dengan perang dagang, The Fed memang sepertinya masih ingin menempuh kebijakan moneter yang cenderung ketat.
Loretta Mester, Presiden The Fed Cleveland, menegaskan AS masih jauh dari resesi. Bahkan menurut Mester, data-data ekonomi terkini menunjukkan bahwa ekonomi AS semakin kuat dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Mester tidak mengubah pandangannya bahwa kenaikan suku bunga secara gradual tetap menjadi prioritas untuk menjaga ekspansi ekonomi AS yang berkelanjutan.
Apabila penguatan dolar AS pagi terus bertahan, maka akan menjadi kabar buruk buat rupiah dan IHSG. Arus modal yang terpusat ke dolar AS membuat rupiah dan IHSG kekurangan tenaga untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
- Rilis suku bunga Bank Sentral Uni Eropa (18:45 WIB).
- Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode September 2018 (19:30 WIB).
- Rilis data neraca perdagangan AS periode September 2018 (19:30 WIB).
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS dalam sepekan hingga 19 Oktober (19:30 WIB).
- Pidato Wakil Kepala The Federal Reserve Richard Clarida (23:15 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) | RUPSLB | 09:30 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (September 2018) | US$ 114.8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
