
Newsletter
Khashoggi Tewas Dikeroyok, Trump Masih Penasaran
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 October 2018 05:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani periode yang menyenangkan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, nilai tukar rupiah terapresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah turun cukup signifikan.
Selama sepekan lalu, IHSG menguat 1,4% secara point-to-point. Meski melemah dalam 2 hari perdagangan terakhir, IHSG masih mampu mencatatkan penguatan secara mingguan.
Faktor domestik menjadi pendorong laju IHSG. Data positif yang melesatkan IHSG adalah penjualan mobil. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, penjualan mobil pada September adalah 93.103 unit atau naik 6,24% secara year-on-year (YoY). Sedangkan penjualan Januari-September tercatat 856.439 unit, tumbuh 6,82% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hasilnya adalah saham ASII melejit 6,57% dalam sepekan. Kenaikan saham ASII mendorong indeks sektor aneka industri lompat 5,54%, tertinggi di antara sektor-sektor lainnya.
Sedangkan rupiah menguat 0,09% secara point-to-point terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mengawali pekan di posisi Rp 15.200/US$, rupiah finis di Rp 15.185/US$.
Pada awal pekan, Badan Pusat Statistik mengumumkan data perdagangan internasional periode September 2018. Ekspor tercatat US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% YoY. Meski kinerja ekspor kurang meyakinkan, tetapi impor pun tertekan.
Pada September, nilai impor adalah US$ 14,6 miliar atau tumbuh 14,18% YoY. Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018.
Surplus ini memberi harapan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 lebih baik. Setidaknya ada angin segar karena neraca perdagangan Juli dan Agustus defisit masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 900 juta.
Investor menghembuskan nafas lega, karena devisa dari perdagangan membaik pada September. Rupiah bisa punya pijakan untuk menguat, bisa meringankan derita akibat devisa dari sektor keuangan (portofolio) yang masih seret karena arus modal terkonsentrasi ke AS.
Kemudian yield obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun lumayan signifikan yaitu 9,8 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Benar saja, sepanjang minggu ini harga instrumen tersebut melonjak 58 bps. Sepertinya minat investor memang sedang membuncah karena harga obligasi sudah turun cukup dalam.
Minat itu terjustifikasi karena yield memang sudah melonjak tinggi. Dalam periode 1-12 Oktober, yield obligasi pemerintah 10 tahun melesat 71 bps. Koreksi sepekan ini pun belum bisa menutup lonjakan yang terjadi sejak awal bulan.
Dari Wall Street, tiga indeks utama bergerak variatif dalam kisaran terbatas pada pekan lalu. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,4%, S&P 500 bertambah 0,02%, tetapi Nasdaq Composite terkoreksi 0,6%.
Pekan lalu sebenarnya adalah 'masa panen' di bursa saham New York, seiring musim laporan keuangan (earnings season). Namun momentum itu buyar karena rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi September 2018. Rapat ini digelar pada 25-26 September dengan hasil kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.
Investor menantikan rilis ini karena ingin mendalami 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Pelaku pasar hendak mencari petunjuk bagaimana kebijakan moneter AS ke depan.
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu.
Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.
Terkonfirmasi, The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah.
Saham bukanlah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena menggambarkan situasi yang konservatif dan penuh kehati-hatian. Saham adalah instrumen yang mengandalkan keberanian dan aksi ambil risiko.
Selain itu, kenaikan suku bunga akan membuat biaya dan beban emiten yang tercatat di bursa saham meningkat. Lonjakan biaya dan beban tentu akan menggerus laba, sehingga membebani harga saham.
Sementara pada perdagangan akhir pekan lalu, Wall Street juga ditutup bervariasi. DJIA menguat 0,26%, S&P 500 terkoreksi 0,04%, dan Nasdaq minus 0,12%.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah Wall Street yang cenderung merah pada perdagangan akhir pekan lalu. Jangan-jangan virus koreksi dari Wall Street masih ada dan siap menular ke bursa saham Asia, termasuk IHSG.
Sentimen kedua adalah kelanjutan kasus terbunuhnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). Pemerintah Arab Saudi sudah menyatakan bahwa Khashoggi tewas terbunuh di sana akibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15.
Namun, Presiden AS Donald Trump tidak percaya begitu saja. Menurutnya Riyadh masih memiliki hal yang ditutupi.
"Jelas ada dusta, ada kebohongan," tegas Trump. Namun, Trump masih terlihat membela Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman. Dia berharap sang pangeran tidak terlibat dalam pembunuhan ini.
"Tidak ada yang mengatakan kepada saya bahwa beliau bertanggung jawab, tapi tidak ada pula yang mengatakan beliau tidak bertanggung jawab. Kita belum sampai ke sana. Saya akan senang kalau beliau tidak terlibat," tuturnya.
Bukan apa-apa, Trump memang tidak ingin merusak hubungan dengan Arab Saudi mengingat adanya komitmen pembelian senjata. Tahun lalu, Arab Saudi berkomitmen membeli persenjataan dari AS senilai US$ 110 miliar.
"Itu adalah pemesanan terbesar sepanjang sejarah, akan lebih menyakitkan bagi kami daripada mereka kalau sampai batal. Kemudian mereka akan melirik Rusia atau China. Itu tentu akan menyakitkan bagi kami," tegasnya.
Dengan pernyataan resmi pemerintah Arab Saudi, sentimen kasus terbunuhnya Khashoggi mungkin sudah mereda. Namun sepertinya Trump masih menyimpan rasa penasaran.
Bila ada bukti baru yang menunjukkan Khashoggi disiksa dan dimutilasi, seperti laporan The New York Times dan berbagai media di Turki, maka Trump bisa murka.
Badan Intelijen AS (CIA), mengutip Washington Post, sudah mendengar rekaman audio yang menggambarkan proses penyiksaan terhadap Khashoggi. Namun rekaman ini belum dimunculkan ke publik. Trump tertarik untuk melihat bukti kunci ini, tetapi belum kesampaian.
"Saya mendengar ada rekaman. Namun belum ada yang menunjukkannya kepada saya," ujarnya.
Jika Trump atau Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bisa mendengar dan membuktikan keabsahan rekaman ini, maka situasi akan berubah. Bisa jadi Washington tidak lagi ramah kepada Riyadh dan membuat suasana di Timur Tengah menegang.
Ketegangan ini bisa menjadi faktor yang membuat pelaku pasar cemas. Ketika ada risiko geopolitik yang besar, investor lebih memilih bermain aman dan enggan mengambil risiko. Ini adalah kabar baik bagi dolar AS, tetapi tidak untuk IHSG dan rupiah.
Sentimen ketiga adalah harga minyak. Ada kemungkinan harga si emas hitam naik karena kekhawatiran penurunan pasokan.
Mengutip Reuters, produksi di sejumlah anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menurun. Produksi di Iran pada September turun 376.000 barel/hari, sementara di Venezuela turun 189.000 barel/hari dan Angola turun 17.000 barel/hari.
Pada Juni lalu, para anggota OPEC sepakat untuk menggenjot produksi sampai 1 juta barel/hari. Namun sejauh ini komitmen tersebut masih belum terlaksana sepenuhnya. "Kami sedang mengerjakannya," ujar Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo, dikutip dari Reuters.
Penurunan produksi di sejumlah negara yang belum bisa tertutup akan membuat pasokan minyak dunia berkurang. Ini tentu akan menjadi sinyal bagi kenaikan harga si emas hitam.
Kenaikan harga minyak akan menjadi sentimen positif bagi IHSG, karena membuat emiten migas dan pertambangan lebih diapresiasi pasar. Namun bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk karena membuat impor migas membengkak. Ini akan menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) sehingga melemahkan fundamental rupiah.
Sentimen keempat adalah perkembangan yield obligasi pemerintah AS. Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun ditutup di 3,202% atau naik 2,7 bps dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Kenaikan yield adalah peluit untuk memanggil penguatan dolar AS. Investor cenderung 'membanting' obligasi AS jelang lelang dengan tujuan menaikkan yield dan menurunkan harga.
Lelang selanjutnya adalah pada 22 Oktober waktu setempat, yaitu untuk tenor 13 dan 26 pekan. Target indikatif dalam lelang itu adlaah US$ 45 miliar untuk tenor 13 pekan dan US$ 39 miliar untuk tenor 26 pekan.
Yield di pasar sekunder akan menjadi patokan penentuan kupon kala lelang. Oleh karena itu, investor kemudian berlomba-lomba mengerek yield setinggi mungkin dengan melakukan aksi jual secara masif. Tujuannya adalah agar penawaran kupon di lelang bisa maksimal.
Saat lelang sudah semakin dekat dan yield sudah terkerek, investor kemudian memburu dolar AS sebagai amunisi untuk berburu obligasi. Permintaan dolar AS meningkat, dan nilainya menjadi semakin mahal atau menguat. Rupiah perlu mewaspadai risiko ini.
Berikut sejumlah peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Selama sepekan lalu, IHSG menguat 1,4% secara point-to-point. Meski melemah dalam 2 hari perdagangan terakhir, IHSG masih mampu mencatatkan penguatan secara mingguan.
Faktor domestik menjadi pendorong laju IHSG. Data positif yang melesatkan IHSG adalah penjualan mobil. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, penjualan mobil pada September adalah 93.103 unit atau naik 6,24% secara year-on-year (YoY). Sedangkan penjualan Januari-September tercatat 856.439 unit, tumbuh 6,82% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Hasilnya adalah saham ASII melejit 6,57% dalam sepekan. Kenaikan saham ASII mendorong indeks sektor aneka industri lompat 5,54%, tertinggi di antara sektor-sektor lainnya.
Sedangkan rupiah menguat 0,09% secara point-to-point terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mengawali pekan di posisi Rp 15.200/US$, rupiah finis di Rp 15.185/US$.
Pada awal pekan, Badan Pusat Statistik mengumumkan data perdagangan internasional periode September 2018. Ekspor tercatat US$ 14,83 miliar atau tumbuh 1,7% YoY. Meski kinerja ekspor kurang meyakinkan, tetapi impor pun tertekan.
Pada September, nilai impor adalah US$ 14,6 miliar atau tumbuh 14,18% YoY. Dengan begitu, neraca perdagangan Indonesia mampu mencatat surplus US$ 230 juta. Ini merupakan surplus perdagangan pertama sejak Juni 2018.
Surplus ini memberi harapan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 lebih baik. Setidaknya ada angin segar karena neraca perdagangan Juli dan Agustus defisit masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 900 juta.
Investor menghembuskan nafas lega, karena devisa dari perdagangan membaik pada September. Rupiah bisa punya pijakan untuk menguat, bisa meringankan derita akibat devisa dari sektor keuangan (portofolio) yang masih seret karena arus modal terkonsentrasi ke AS.
Kemudian yield obligasi seri acuan tenor 10 tahun turun lumayan signifikan yaitu 9,8 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Benar saja, sepanjang minggu ini harga instrumen tersebut melonjak 58 bps. Sepertinya minat investor memang sedang membuncah karena harga obligasi sudah turun cukup dalam.
Minat itu terjustifikasi karena yield memang sudah melonjak tinggi. Dalam periode 1-12 Oktober, yield obligasi pemerintah 10 tahun melesat 71 bps. Koreksi sepekan ini pun belum bisa menutup lonjakan yang terjadi sejak awal bulan.
Dari Wall Street, tiga indeks utama bergerak variatif dalam kisaran terbatas pada pekan lalu. Secara mingguan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,4%, S&P 500 bertambah 0,02%, tetapi Nasdaq Composite terkoreksi 0,6%.
Pekan lalu sebenarnya adalah 'masa panen' di bursa saham New York, seiring musim laporan keuangan (earnings season). Namun momentum itu buyar karena rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi September 2018. Rapat ini digelar pada 25-26 September dengan hasil kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 2-2,25% atau median 2,125%.
Investor menantikan rilis ini karena ingin mendalami 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Pelaku pasar hendak mencari petunjuk bagaimana kebijakan moneter AS ke depan.
"Dengan perkiraan ekonomi ke depan, peserta rapat mengantisipasi akan ada kenaikan suku bunga lebih lanjut dalam target yang ditetapkan sehingga konsisten dengan ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah," sebut notulensi itu.
Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. The Fed menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%.
"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut.
Terkonfirmasi, The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah.
Saham bukanlah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena menggambarkan situasi yang konservatif dan penuh kehati-hatian. Saham adalah instrumen yang mengandalkan keberanian dan aksi ambil risiko.
Selain itu, kenaikan suku bunga akan membuat biaya dan beban emiten yang tercatat di bursa saham meningkat. Lonjakan biaya dan beban tentu akan menggerus laba, sehingga membebani harga saham.
Sementara pada perdagangan akhir pekan lalu, Wall Street juga ditutup bervariasi. DJIA menguat 0,26%, S&P 500 terkoreksi 0,04%, dan Nasdaq minus 0,12%.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah Wall Street yang cenderung merah pada perdagangan akhir pekan lalu. Jangan-jangan virus koreksi dari Wall Street masih ada dan siap menular ke bursa saham Asia, termasuk IHSG.
Sentimen kedua adalah kelanjutan kasus terbunuhnya kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, di kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). Pemerintah Arab Saudi sudah menyatakan bahwa Khashoggi tewas terbunuh di sana akibat perkelahian yang tidak seimbang, 1 lawan 15.
Namun, Presiden AS Donald Trump tidak percaya begitu saja. Menurutnya Riyadh masih memiliki hal yang ditutupi.
"Jelas ada dusta, ada kebohongan," tegas Trump. Namun, Trump masih terlihat membela Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman. Dia berharap sang pangeran tidak terlibat dalam pembunuhan ini.
"Tidak ada yang mengatakan kepada saya bahwa beliau bertanggung jawab, tapi tidak ada pula yang mengatakan beliau tidak bertanggung jawab. Kita belum sampai ke sana. Saya akan senang kalau beliau tidak terlibat," tuturnya.
Bukan apa-apa, Trump memang tidak ingin merusak hubungan dengan Arab Saudi mengingat adanya komitmen pembelian senjata. Tahun lalu, Arab Saudi berkomitmen membeli persenjataan dari AS senilai US$ 110 miliar.
"Itu adalah pemesanan terbesar sepanjang sejarah, akan lebih menyakitkan bagi kami daripada mereka kalau sampai batal. Kemudian mereka akan melirik Rusia atau China. Itu tentu akan menyakitkan bagi kami," tegasnya.
Dengan pernyataan resmi pemerintah Arab Saudi, sentimen kasus terbunuhnya Khashoggi mungkin sudah mereda. Namun sepertinya Trump masih menyimpan rasa penasaran.
Bila ada bukti baru yang menunjukkan Khashoggi disiksa dan dimutilasi, seperti laporan The New York Times dan berbagai media di Turki, maka Trump bisa murka.
Badan Intelijen AS (CIA), mengutip Washington Post, sudah mendengar rekaman audio yang menggambarkan proses penyiksaan terhadap Khashoggi. Namun rekaman ini belum dimunculkan ke publik. Trump tertarik untuk melihat bukti kunci ini, tetapi belum kesampaian.
"Saya mendengar ada rekaman. Namun belum ada yang menunjukkannya kepada saya," ujarnya.
Jika Trump atau Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bisa mendengar dan membuktikan keabsahan rekaman ini, maka situasi akan berubah. Bisa jadi Washington tidak lagi ramah kepada Riyadh dan membuat suasana di Timur Tengah menegang.
Ketegangan ini bisa menjadi faktor yang membuat pelaku pasar cemas. Ketika ada risiko geopolitik yang besar, investor lebih memilih bermain aman dan enggan mengambil risiko. Ini adalah kabar baik bagi dolar AS, tetapi tidak untuk IHSG dan rupiah.
Sentimen ketiga adalah harga minyak. Ada kemungkinan harga si emas hitam naik karena kekhawatiran penurunan pasokan.
Mengutip Reuters, produksi di sejumlah anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) menurun. Produksi di Iran pada September turun 376.000 barel/hari, sementara di Venezuela turun 189.000 barel/hari dan Angola turun 17.000 barel/hari.
Pada Juni lalu, para anggota OPEC sepakat untuk menggenjot produksi sampai 1 juta barel/hari. Namun sejauh ini komitmen tersebut masih belum terlaksana sepenuhnya. "Kami sedang mengerjakannya," ujar Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo, dikutip dari Reuters.
Penurunan produksi di sejumlah negara yang belum bisa tertutup akan membuat pasokan minyak dunia berkurang. Ini tentu akan menjadi sinyal bagi kenaikan harga si emas hitam.
Kenaikan harga minyak akan menjadi sentimen positif bagi IHSG, karena membuat emiten migas dan pertambangan lebih diapresiasi pasar. Namun bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah kabar buruk karena membuat impor migas membengkak. Ini akan menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) sehingga melemahkan fundamental rupiah.
Sentimen keempat adalah perkembangan yield obligasi pemerintah AS. Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun ditutup di 3,202% atau naik 2,7 bps dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Kenaikan yield adalah peluit untuk memanggil penguatan dolar AS. Investor cenderung 'membanting' obligasi AS jelang lelang dengan tujuan menaikkan yield dan menurunkan harga.
Lelang selanjutnya adalah pada 22 Oktober waktu setempat, yaitu untuk tenor 13 dan 26 pekan. Target indikatif dalam lelang itu adlaah US$ 45 miliar untuk tenor 13 pekan dan US$ 39 miliar untuk tenor 26 pekan.
Yield di pasar sekunder akan menjadi patokan penentuan kupon kala lelang. Oleh karena itu, investor kemudian berlomba-lomba mengerek yield setinggi mungkin dengan melakukan aksi jual secara masif. Tujuannya adalah agar penawaran kupon di lelang bisa maksimal.
Saat lelang sudah semakin dekat dan yield sudah terkerek, investor kemudian memburu dolar AS sebagai amunisi untuk berburu obligasi. Permintaan dolar AS meningkat, dan nilainya menjadi semakin mahal atau menguat. Rupiah perlu mewaspadai risiko ini.
Berikut sejumlah peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Kunjungan Meteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir ke Indonesia.
- Rilis data aktivitas ekonomi nasional AS versi The Fed Chicago (15:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Sawit Sumbermas Sarana (SSMS) | RUPSLB | 10:00 WIB |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2018) | US$ 114.85 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular