Newsletter

Awas, Wall Street 'Kebakaran'!

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Yazid Muamar, CNBC Indonesia
11 October 2018 05:40
Awas, Wall Street 'Kebakaran'!
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak menguat pada perdagangan kemarin. Sentimen global yang kondusif mampu dimanfaatkan secara maksimal. 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,41% sementara rupiah menguat 0,18% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Situasi global memang mendukung penguatan IHSG dan rupiah. 

Setelah lebih dari 2 pekan melesat, kemarin dolar AS akhirnya menekan tombol pause. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah hampir sepanjang hari.

Selain koreksi karena reli yang terlalu panjang, pelemahan dolar AS tidak lepas dari penurunan imbal hasil (yield) obligasi AS. Pada 9 Oktober waktu setempat, pemerintah AS melelang sejumlah obligasi jangka pendek yang hasilnya cukup memuaskan. Arus modal yang masuk ke pasar obligasi otomatis menaikkan harga obligasi sehingga yield bergerak turun.

Yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam penentuan kupon di lelang selanjutnya. Jadi ketika yield turun, ada kemungkinan kupon yang ditawarkan dalam lelang kurang menarik.
 

Penawaran kupon yang kurang seksi bisa membuat investor urung masuk ke pasar obligasi pemerintah AS. Akibatnya permintaan greenback turun dan nilainya semakin murah alias melemah. 

Kemudian, pada Kamis waktu setempat akan dirilis data inflasi AS periode September 2018. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi sebesar 2,4% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,7%. 

Perkiraan ini menunjukkan laju permintaan di AS ternyata belum terlalu kencang, masih ada potensi perlambatan. Artinya, ada kemungkinan laju pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya tidak secepat yang diharapkan. 

Dengan adanya potensi The Federal Reserve/The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga (walau amat sangat kecil sekali), dolar AS seakan kehabisan bensin. Laju greenback pun melambat. 

Risk appetite investor pulih, pelaku pasar tidak lagi sekedar bermain aman. Aset-aset berisiko di negara berkembang pun banyak diburu, termasuk di Indonesia. Faktor ini membuat IHSG dan rupiah mampu menguat. 

Kabar mengejutkan datang dari Wall Street, di mana tiga indeks utama terperosok sangat dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambrol 3,15%, S&P 500 jatuh 3,29%, dan Nasdaq Composite amblas 4,44%. Wall Street 'kebakaran'.

Penyebab kejatuhan bursa saham New York adalah kembali bersinarnya pasar obligasi negara AS. Hari ini, pemerintah AS melelang obligasi bertenor 3 dan 10 tahun. Hasilnya positif karena sesuai dengan target indikatif. 

Untuk tenor 3 tahun, jumlah yang dimenangkan adalah US$ 36 miliar. Sedangkan untuk tenor 10 tahun, pemerintah AS menyerap US$ 23 miliar. 

Yield rata-rata tertimbang untuk tenor 3 tahun adalah 2,989%, tertinggi sejak Mei 2007. Sementara yield rata-rata tertimbang untuk tenor 10 tahun adalah 3,225%, tertinggi sejak Mei 2011. Siapa yang tidak tertarik? 

Arus modal yang terkonsentrasi ke pasar obligasi membuat Wall Street ditinggalkan. Kekurangan 'darah', koreksi tajam tidak terhindarkan. 

Selain itu, investor juga mencemaskan prospek pertumbuhan ekonomi AS. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada 2019 sebesar 2,5%, lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 2,7%.  

Penyebab perlambatan ini adalah perang dagang dengan China yang belum menunjukkan tanda-tanda ada solusi dalam waktu dekat. Kemudian, kenaikan suku bunga acuan yag agresif juga menghambat pertumbuhan ekonomi. 

"Pelaku pasar melihat bahwa kenaikan suku bunga acuan akan berdampak ke ekonomi sehari-hari seperti bunga kredit perumahan, kendaraan, dan sebagainya. Sepertinya kita akan melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat," kata Mona Mahajan, Investment Strategist di Allianz Global Investors yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters. 

Melihat ada risiko perlambatan ekonomi, pelaku pasar juga memilih bermain aman. Tidak hanya obligasi, bahkan emas pun menjadi tujuan untuk mengamankan investasi. Pada pukul 04:33 WIB, harga emas internasional naik 0,44% karena tingginya permintaan. 


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kejatuhan Wall Street, yang dikhawatirkan bisa membuat investor di Asia ketar-ketir. Apalagi Wall Street anjlok sangat dalam, ada risiko 'kebakaran' tersebut menjalar ke Benua Kuning termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Sama seperti kemarin, momentum pasca-lelang obligasi menjadi bencana bagi greenback.

Arus modal yang masuk saat lelang membuat harga obligasi naik dan yield-nya turun. Pada pukul 04:41 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun adalah 3,1742%. Turun 3,38 basis poin (bps) dibandingkan hari sebelumnya. 

Penurunan yield obligasi adalah sinyal bearish bagi dolar AS. Pasalnya, yield di pasar sekunder akan menentukan tingkat kupon pada lelang berikutnya yaitu pada 15 Oktober. 

Yield yang turun berarti kupon juga terancam tidak menarik. Kupon kurang menarik berarti membuat obligasi kurang seksi. Obligasi yang kurang seksi berarti permintaannya terbatas. Permintaan obligasi yang terbatas berarti kebutuhan dolar AS pun tidak banyak. Kebutuhan dolar AS yang tidak banyak berarti akan membuat nilai tukarnya murah atau melemah. 

Akibat penurunan yield, Dollar Index pada pukul 04:48% melemah 0,21%. Bila ini berlanjut, maka rupiah dkk di Asia bisa kembali menguat seperti kemarin. Ini tentu sebuah kabar yang menyenangkan. 

Sentimen ketiga adalah harga minyak yang juga anjlok seperti Wall Street. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis brent amblas 2,74% sementara light sweet ambrol 3,11%. 

Kenaikan produksi di AS jadi biang keladi koreksi ini. American Petroleum Institute (API) melaporkan cadangan minyak AS pekan lalu naik 9,7 juta barel menjadi 410,7 juta barel. Kenaikan ini jauh dibandingkan ekspektasi pasar yaitu 'hanya' 2,6 juta barel. 

Selain itu, senasib dengan Wall Street, minyak juga ditinggalkan investor yang kini sedang memuja obligasi. Tanpa dukungan arus modal masuk, harga si emas hitam pun merosot. 

Kemudian, faktor lain yang menekan harga minyak adalah risiko perlambatan ekonomi dunia. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 sebesar 3,7%. Melambat dari proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. Ekonomi yang melambat bisa menyebabkan permintaan energi menurun karena kelesuan aktivitas. Permintaan energi yang turun sama dengan penurunan harga. 


Sentimen keempat adalah perang dagang AS vs China yang belum juga menunjukkan titik terang. Bahkan perang dagang terus melebar, kini bertransformasi menjadi perang investasi. 

Mengutip Reuters, pemerintah AS akan memperketat aturan investasi asing di 27 sektor sensitif seperti teknologi dan telekomunikasi, pesawat terbang, aluminium, perangkat penyimpanan lunak, sampai peralatan militer. Meski tidak menyebut negara tertentu, kebijakan ini diduga untuk membatasi investasi asal China. 

Perusahaan-perusahaan China, terutama yang terafiliasi dengan pemerintah, beberapa kali mencoba membeli perusahaan semikonduktor AS. Komite Investasi Asing di AS (CFIUS) memang beberapa kali bersikap galak terhadap China. Mereka beberapa kali memblokade upaya China untuk membeli perusahaan AS. 

Misalnya pada Februari 2018, perusahaan semikonduktor Xcerra hampir dibeli perusahaan asal China yang terafiliasi dengan Sino IC Fund. Namun digagalkan oleh CFIUS. Kemudian pada September 2017, perusahaan semikonduktor Lattice juga gagal dibeli oleh perusahaan asal Negeri Tirai Bambu yang menawarkan dana segar US$ 1,3 miliar. 

Langkah Washington ini bisa saja memicu balasan dari Beijing, investasi AS ke China akan diperketat. Bila ini terjadi, maka perekonomian dunia akan semakin terancam karena saling hambat sudah menjalar ke bidang penanaman modal di sektor riil. Ini tentu menjadi sebuah risiko besar yang tidak dikehendaki pelaku pasar. 

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah seputar harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kemarin, pemerintah sempat mengumumkan akan menaikkan harga BBM jenis premium sebesar 6,87%. Namun sekitar 1 jam kemudian, keputusan ini dibatalkan. 

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya masih galau soal harga BBM. Namun kegalauan ini bisa berdampak fatal, yaitu 'hukuman' dari pasar. 

Dengan kondisi harga minyak dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini, semestinya harga jual premium adalah Rp 8.099,2/liter. Berarti ada selisih 23,65% dari harga jual yang sekarang. 

Akibat harga yang terlampau murah, masyarakat jadi boros. Padahal Indonesia adalah negara net importir migas. Neraca migas adalah penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan (current account). Defisit neraca migas terjadi karena impornya kelewat tinggi akibat harga BBM yang murah.

Defisit di transaksi berjalan membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke AS akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah 10,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun. 

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat akan berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil. 

Ketika rupiah lebih stabil, investor akan nyaman berinvestasi di Indonesia. Hal utama yang dibutuhkan pasar adalah kestabilan dan kepastian. Ini tidak bisa disediakan jika rupiah terus fluktuatif cenderung melemah. 

Oleh karena itu, pelaku pasar sebenarnya berharap banyak pemerintah mau menaikkan harga BBM. Dengan begitu rupiah bisa lebih stabil, berinvestasi di Indonesia akan lebih aman dan nyaman. 

Namun pemerintah memutuskan berbalik arah. Sepertinya pemerintah harus bersiap menghadapi kekecewaan pasar.


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Pidato Gubernur Bank of England Mark Carney (12:00 WIB dan 16:00 WIB).
  • Rilis ikhtisar rapat kebijakan moneter European Central Bank edisi September (18:30 WIB).
  • Rilis data inflasi AS periode September 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 5 Oktober (19:30 WIB).
  • Rilis data cadangan minyak mentah AS dalam sepekan hingga 5 Oktober 2018 (21:30 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Superkrane Mitra Utama Tbk (SKRN)IPO09:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
  
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular