
Newsletter
Selamat Dolar AS, Anda Jadi Primadona Pasar
Hidayat Setiaji & Yazid Muamar & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 October 2018 07:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,5% sementara rupiah melemah 0,26% terhadap greenback. Di pasar saham, IHSG boleh berbangga karena bursa lain di Asia mayoritas finis di jalur merah. Nikkei 225 melemah 0,8%. Hang Seng anjlok 1,4%, Shanghai Composite amblas 3,72%, Kospi terkoreksi 0,6%, dan Straits Times berkurang 0,88%.
Saham-saham sektor barang kosumsi mengalami kenaikan signifikan di antaranya GGRM (+4,21%) dan UNVR (+3,57%). Sepertinya konsumen mengapresiasi rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis pekan lalu.
Pada September, Bank Indonesia (BI) mencatat IKK sebesar 122,4 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 121,6. Pencapaian ini bisa dibilang agak melegakan, karena IKK Agustus jeblok ke level terendahnya di tahun ini. Kekhawatiran bahwa konsumsi masyarakat merosot pasca lebaran kini bisa agak mereda.
Sementara rupiah bergerak searah dengan mata uang Asia yang juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS. Saat pasar valas Indonesia tutup, mata uang lain juga dalam posisi melemah seperti yuan China (-0,79%), won Korea Selatan (0,5%), dolar Taiwan (0,15%), ringgit Malaysia (-0,22%), dolar Singapura (-0,14%), dan baht Thailand (-0,58%).
Setidaknya ada tiga faktor yang membuat dolar AS begitu perkasa. Pertama adalah rilis data pengangguran Negeri Paman Sam periode September 2018 sebesar 3,7%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9% dan dibandingkan konsensus Reuters sebesar 3,8%. Angka pengangguran 2,7% sekaligus menjadi yang terendah sejak 1969.
Artinya, konsumsi dan daya beli masyarakat AS akan semakin kuat karena mereka yang mencari pekerjaan semakin mudah mendapatkannya. Ancaman inflasi pun semakin nyata, yang membuat The Federal Reserve/The Fed kian yakin untuk menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi di AS, utamanya di instrumen berpendapatan tetap, akan ikut terdongkrak. Akibatnya, arus modal mengarah ke dolar AS karena investor bersiap masuk ke pasar obligasi.
Faktor kedua adalah kebijakan Bank Sentral China (PBoC) yang menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 100 basis poin. Kebijakan ini diperkirakan menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 750 miliar dan ketika berputar di sistem perekonomian nilainya bertambah menjadi CNY 1,2 triliun. Likuiditas yuan yang membanjir membuat mata uang ini melemah dan memuluskan jalan bagi dolar AS untuk melaju.
Ketiga adalah perkembangan di Italia. Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte merencanakan anggaran 2019 dengan defisit 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Uni Eropa tidak sepakat dengan Italia. Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Ekonomi Italia Giovanni Tria, Komisi Uni Eropa meminta pemerintah Negeri Pizza untuk menurunkan defisit anggaran 2019 menjadi 1,4% PDB.
"Defisit anggaran yang direncanakan pemerintah Italia melanggar kesepakatan yang direkomendasikan oleh Uni Eropa. Ini bisa menjadi sumber kekhawatiran. Kami meminta otoritas untuk memastikan rencana anggaran sesuai dengan aturan fiskal yang diterima secara umum," tulis surat tersebut, seperti dikutip Reuters.
Namun Italia membangkang. Luigi Di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia, berkeras untuk tetap menerapkan defisit 2,4% PDB karena pemerintah ingin memberikan subsidi yang lebih besar kepada rakyat miskin dan para pensiunan.
"Kami tidak akan berbalik arah, karena kami melihat rencana ini tidak mengkhawatirkan bagi pasar. Tidak ada rencana B, karena kami tidak akan mundur. Kami bisa menjelaskan kebijakan ini, tetapi kami tidak akan mundur," tegas Di Maio, mengutip Reuters.
Lagi-lagi perkembangan ini memicu perburuan dolar AS karena investor memilih mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko. Greenback semakin punya alasan untuk terus menguat.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,15%, S&P 500 melemah tipis 0,04%, dan Nasdaq Composite terpangkas 0,62%.
Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat. China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya.
"Dalam hal mata uang China, kami terus memonitor perkembangan yuan. Kami mengkhawatirkan perkembangan terkini mengenai depresiasi yuan. Kami khawatir China semakin berpaling dari kebijakan-kebijakan yang berorientasi pasar menjadi mekanisme non-pasar yang mempengaruhi kondisi makroekonomi dan perdagangan," papar seorang pejabat Kementerian Keuangan AS, dikutip dari Reuters.
Juli lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menegaskan pihaknya akan memantau depresiasi yuan dan akn melihat apakah ada tanda-tanda manipulasi kurs. Presiden AS Donald Trump bahkan beberapa kali menuding China memainkan kurs untuk mendapatkan keuntungan saat berdagang.
Mnuchin dijadwalkan menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Dunia-Dana Moneter Internasiona (IMF) di Bali, tetapi tidak dengan mitra dialognya dari China yaitu Wakil Perdana Menteri Liu He. Oleh karena itu, sepertinya dialog dagang AS-China tidak akan terjadi di Pulau Dewata.
Perkembangan ini memaksa pelaku pasar untuk bermain aman, ogah mengambil risiko. Instrumen yang dituju tak lain dan tak bukan adalah dolar AS. Seretnya aliran modal ke instrumen berisiko seperti saham membuat Wall Street cenderung terkoreksi.
Selain itu, pelemahan Wall Street juga dipicu oleh kondisi di Italia yang semakin panas. Kemarin, pelaku pasar 'menghukum' Italia sehingga indeks MIB ambrol 2,43% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 4,8 basis poin.
Hal ini justru membuat Italia murka dan menuding Uni Eropa sengaja membuat opini yang menakut-nakuti pasar. Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Dalvini menegaskan bahwa Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker dan Komisioner Ekonomi Uni Eropa Pierre Moscovici sebagai musuh.
"Musuh Eropa yang sebenarnya bersembunyi di balik bunker di Brussel. Mereka adalah Juncker dan Moscovici yang membawa ketakutan dan membuat lapangan kerja menjadi tidaj pasti di Eropa," tegas Salvini, dikutip dari Reuters.
Italia yang sepat adem kini bergejolak lagi. Risiko besar di Eropa membuat pelaku pasar memilih bermain aman dan mengarahkan uangnya ke pasar valas untuk berburu dolar AS.
Bursa saham New York pun sepi pembeli karena tingginya ketidakpastian. Volume perdagangan 'hanya' 6,93 unit saham, cukup jauh dibandingkan rata-rata dalam 20 hari perdagangan terakhir yaitu 7,22 miliar unit.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski variatif tetapi cenderung merah. Koreksi Wall Street dikhawatirkan menular ke bursa Asia, termasuk IHSG.
Kedua adalah dinamika nilai tukar dolar AS yang semakin perkasa. Terbukti bahwa perburuan investor terhadap mata uang ini sampai membuat Wall Street melemah.
Pada pukul 06:36 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,12%. Risiko global yang masih tinggi seperti di China dan Italia membuat investor terpaksa bermain aman. Risk appetite yang rendah membuat instrumen berisiko sepi peminat, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.
Di Italia, perkembangannya masih 50-50. Ada angin segar dari pernyataan Menteri Urusan Eropa Paolo Savona yang mengatakan pemerintah Negeri Menara Pisa yakin bisa mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa terkait kebijakan fiskal.
Namun apabila tidak ada kesepakatan dengan Uni Eropa, Savona mengatakan dinamika di Italia bisa menyebabkan guncangan di pasar keuangan global. "Tentu tidak ada yang diuntungkan," ujarnya.
Sementara di China, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan nilai tukar yuan. Apabila hari ini yuan melemah lagi, maka jalan bagi penguatan dolar AS semakin terbuka.
Jika risiko masih tinggi dan investor punya preferensi menghindarinya, maka pasar keuangan Indonesia akan sulit mendapat pasokan modal. Hasilnya adalah IHSG dan rupiah bisa melemah.
Ketiga, dari Pertemuan Tahunan Bank Dunia-IMF di Bali, ada kabar yang agak menegangkan dari Claudia Buch, Wakil Presiden Bank Sentral Jerman (Bundesbank). Menurut Buch, situasi ekonomi saat ini cenderung rentan terhadap tekanan dan perlambatan (downturn).
"Siklus ekonomi di negara-negara maju membuat perlambatan menjadi sangat mungkin. Hal ini mengurangi peluang untuk konsoldasi fiskal dan mengharuskan negara-negara untuk menyiapkan dana cadangan dalam rangka mitigasi risiko di sistem keuangan," papar Buch, dikutip dari Reuters.
Komentar ini bisa membuat pasar semakin hati-hati dan konservatif. Jika pelaku pasar hati-hati, kita hanya bisa mengucapkan selamat kepada dolar AS karena mata uang ini semakin menjadi primadona.
Keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah sentimen positif dari data penjualan ritel. BI mencatat penjualan ritel tumbuh 6,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Agustus 2018. Lebih cepat ketimbang bulan sebelumnya sebesar 2,9% YoY. Catatan Agustus 2018 juga mampu jauh mengungguli pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,2% YoY.
Kuatnya penjualan ritel ini disokong oleh sejumlah pelaksanaan kegiatan besar, seperti Hari Kemerdekaan dan Asian Games 2018. Sentimen ini berpeluang menjadi bahan bakar tambahan bagi penguatan saham sektor konsumsi dan perbankan.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,5% sementara rupiah melemah 0,26% terhadap greenback. Di pasar saham, IHSG boleh berbangga karena bursa lain di Asia mayoritas finis di jalur merah. Nikkei 225 melemah 0,8%. Hang Seng anjlok 1,4%, Shanghai Composite amblas 3,72%, Kospi terkoreksi 0,6%, dan Straits Times berkurang 0,88%.
Saham-saham sektor barang kosumsi mengalami kenaikan signifikan di antaranya GGRM (+4,21%) dan UNVR (+3,57%). Sepertinya konsumen mengapresiasi rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis pekan lalu.
Pada September, Bank Indonesia (BI) mencatat IKK sebesar 122,4 atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 121,6. Pencapaian ini bisa dibilang agak melegakan, karena IKK Agustus jeblok ke level terendahnya di tahun ini. Kekhawatiran bahwa konsumsi masyarakat merosot pasca lebaran kini bisa agak mereda.
Sementara rupiah bergerak searah dengan mata uang Asia yang juga tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS. Saat pasar valas Indonesia tutup, mata uang lain juga dalam posisi melemah seperti yuan China (-0,79%), won Korea Selatan (0,5%), dolar Taiwan (0,15%), ringgit Malaysia (-0,22%), dolar Singapura (-0,14%), dan baht Thailand (-0,58%).
Setidaknya ada tiga faktor yang membuat dolar AS begitu perkasa. Pertama adalah rilis data pengangguran Negeri Paman Sam periode September 2018 sebesar 3,7%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9% dan dibandingkan konsensus Reuters sebesar 3,8%. Angka pengangguran 2,7% sekaligus menjadi yang terendah sejak 1969.
Artinya, konsumsi dan daya beli masyarakat AS akan semakin kuat karena mereka yang mencari pekerjaan semakin mudah mendapatkannya. Ancaman inflasi pun semakin nyata, yang membuat The Federal Reserve/The Fed kian yakin untuk menaikkan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi di AS, utamanya di instrumen berpendapatan tetap, akan ikut terdongkrak. Akibatnya, arus modal mengarah ke dolar AS karena investor bersiap masuk ke pasar obligasi.
Faktor kedua adalah kebijakan Bank Sentral China (PBoC) yang menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 100 basis poin. Kebijakan ini diperkirakan menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 750 miliar dan ketika berputar di sistem perekonomian nilainya bertambah menjadi CNY 1,2 triliun. Likuiditas yuan yang membanjir membuat mata uang ini melemah dan memuluskan jalan bagi dolar AS untuk melaju.
Ketiga adalah perkembangan di Italia. Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte merencanakan anggaran 2019 dengan defisit 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB.
Uni Eropa tidak sepakat dengan Italia. Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Ekonomi Italia Giovanni Tria, Komisi Uni Eropa meminta pemerintah Negeri Pizza untuk menurunkan defisit anggaran 2019 menjadi 1,4% PDB.
"Defisit anggaran yang direncanakan pemerintah Italia melanggar kesepakatan yang direkomendasikan oleh Uni Eropa. Ini bisa menjadi sumber kekhawatiran. Kami meminta otoritas untuk memastikan rencana anggaran sesuai dengan aturan fiskal yang diterima secara umum," tulis surat tersebut, seperti dikutip Reuters.
Namun Italia membangkang. Luigi Di Maio, Wakil Perdana Menteri Italia, berkeras untuk tetap menerapkan defisit 2,4% PDB karena pemerintah ingin memberikan subsidi yang lebih besar kepada rakyat miskin dan para pensiunan.
"Kami tidak akan berbalik arah, karena kami melihat rencana ini tidak mengkhawatirkan bagi pasar. Tidak ada rencana B, karena kami tidak akan mundur. Kami bisa menjelaskan kebijakan ini, tetapi kami tidak akan mundur," tegas Di Maio, mengutip Reuters.
Lagi-lagi perkembangan ini memicu perburuan dolar AS karena investor memilih mencari aman dan menghindari aset-aset berisiko. Greenback semakin punya alasan untuk terus menguat.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,15%, S&P 500 melemah tipis 0,04%, dan Nasdaq Composite terpangkas 0,62%.
Pelaku pasar mencemaskan perkembangan perang dagang AS vs China yang semakin lama semakin tidak sehat. China dinilai sengaja melemahkan nilai tukar yuan agar ekspor mereka tetap kompetitif di pasar global di tengah friksi dagang dengan Negeri Adidaya.
"Dalam hal mata uang China, kami terus memonitor perkembangan yuan. Kami mengkhawatirkan perkembangan terkini mengenai depresiasi yuan. Kami khawatir China semakin berpaling dari kebijakan-kebijakan yang berorientasi pasar menjadi mekanisme non-pasar yang mempengaruhi kondisi makroekonomi dan perdagangan," papar seorang pejabat Kementerian Keuangan AS, dikutip dari Reuters.
Juli lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menegaskan pihaknya akan memantau depresiasi yuan dan akn melihat apakah ada tanda-tanda manipulasi kurs. Presiden AS Donald Trump bahkan beberapa kali menuding China memainkan kurs untuk mendapatkan keuntungan saat berdagang.
Mnuchin dijadwalkan menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Dunia-Dana Moneter Internasiona (IMF) di Bali, tetapi tidak dengan mitra dialognya dari China yaitu Wakil Perdana Menteri Liu He. Oleh karena itu, sepertinya dialog dagang AS-China tidak akan terjadi di Pulau Dewata.
Perkembangan ini memaksa pelaku pasar untuk bermain aman, ogah mengambil risiko. Instrumen yang dituju tak lain dan tak bukan adalah dolar AS. Seretnya aliran modal ke instrumen berisiko seperti saham membuat Wall Street cenderung terkoreksi.
Selain itu, pelemahan Wall Street juga dipicu oleh kondisi di Italia yang semakin panas. Kemarin, pelaku pasar 'menghukum' Italia sehingga indeks MIB ambrol 2,43% dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 4,8 basis poin.
Hal ini justru membuat Italia murka dan menuding Uni Eropa sengaja membuat opini yang menakut-nakuti pasar. Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Dalvini menegaskan bahwa Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker dan Komisioner Ekonomi Uni Eropa Pierre Moscovici sebagai musuh.
"Musuh Eropa yang sebenarnya bersembunyi di balik bunker di Brussel. Mereka adalah Juncker dan Moscovici yang membawa ketakutan dan membuat lapangan kerja menjadi tidaj pasti di Eropa," tegas Salvini, dikutip dari Reuters.
Italia yang sepat adem kini bergejolak lagi. Risiko besar di Eropa membuat pelaku pasar memilih bermain aman dan mengarahkan uangnya ke pasar valas untuk berburu dolar AS.
Bursa saham New York pun sepi pembeli karena tingginya ketidakpastian. Volume perdagangan 'hanya' 6,93 unit saham, cukup jauh dibandingkan rata-rata dalam 20 hari perdagangan terakhir yaitu 7,22 miliar unit.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski variatif tetapi cenderung merah. Koreksi Wall Street dikhawatirkan menular ke bursa Asia, termasuk IHSG.
Kedua adalah dinamika nilai tukar dolar AS yang semakin perkasa. Terbukti bahwa perburuan investor terhadap mata uang ini sampai membuat Wall Street melemah.
Pada pukul 06:36 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,12%. Risiko global yang masih tinggi seperti di China dan Italia membuat investor terpaksa bermain aman. Risk appetite yang rendah membuat instrumen berisiko sepi peminat, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.
Di Italia, perkembangannya masih 50-50. Ada angin segar dari pernyataan Menteri Urusan Eropa Paolo Savona yang mengatakan pemerintah Negeri Menara Pisa yakin bisa mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa terkait kebijakan fiskal.
Namun apabila tidak ada kesepakatan dengan Uni Eropa, Savona mengatakan dinamika di Italia bisa menyebabkan guncangan di pasar keuangan global. "Tentu tidak ada yang diuntungkan," ujarnya.
Sementara di China, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan nilai tukar yuan. Apabila hari ini yuan melemah lagi, maka jalan bagi penguatan dolar AS semakin terbuka.
Jika risiko masih tinggi dan investor punya preferensi menghindarinya, maka pasar keuangan Indonesia akan sulit mendapat pasokan modal. Hasilnya adalah IHSG dan rupiah bisa melemah.
Ketiga, dari Pertemuan Tahunan Bank Dunia-IMF di Bali, ada kabar yang agak menegangkan dari Claudia Buch, Wakil Presiden Bank Sentral Jerman (Bundesbank). Menurut Buch, situasi ekonomi saat ini cenderung rentan terhadap tekanan dan perlambatan (downturn).
"Siklus ekonomi di negara-negara maju membuat perlambatan menjadi sangat mungkin. Hal ini mengurangi peluang untuk konsoldasi fiskal dan mengharuskan negara-negara untuk menyiapkan dana cadangan dalam rangka mitigasi risiko di sistem keuangan," papar Buch, dikutip dari Reuters.
Komentar ini bisa membuat pasar semakin hati-hati dan konservatif. Jika pelaku pasar hati-hati, kita hanya bisa mengucapkan selamat kepada dolar AS karena mata uang ini semakin menjadi primadona.
Keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah sentimen positif dari data penjualan ritel. BI mencatat penjualan ritel tumbuh 6,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Agustus 2018. Lebih cepat ketimbang bulan sebelumnya sebesar 2,9% YoY. Catatan Agustus 2018 juga mampu jauh mengungguli pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,2% YoY.
Kuatnya penjualan ritel ini disokong oleh sejumlah pelaksanaan kegiatan besar, seperti Hari Kemerdekaan dan Asian Games 2018. Sentimen ini berpeluang menjadi bahan bakar tambahan bagi penguatan saham sektor konsumsi dan perbankan.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data keyakinan usaha National Australia Bank (NAB) periode September 2018 (07:30 WIB).
- Pidato Deputi Gubernur Bank Of England Ben Broadbent (21:35 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2018) | US$ 114.85 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular