Newsletter

Dapat Tambahan Gula, Dolar AS Siap Menggila

Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 September 2018 06:01
Dapat Tambahan Gula, Dolar AS Siap Menggila
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (Reuters/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu bukan menjadi periode kelam bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot tajam, demikian pula nilai tukar rupiah. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG jatuh 2,77%. Namun sebenarnya IHSG bergerak serah dengan bursa saham Asia, di mana indeks Nikkei 225 anjlok 2,44%, Hang Seng amblas 3,28%, Shanghai Composite turun 0,84%, Kospi ambrol 1,78%, dan Straits Time terperosok 2,46%. 

Pelemahan rupiah menjadi momok bagi bursa saham Tanah Air. Sepanjang minggu kemarin, rupiah melemah 0,61% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).  

Ada tiga hal yang membuat rupiah loyo sepanjang minggu lalu. Pertama, krisis nilai tukar yang terjadi di Turki dan Argentina. Pelemahan pada lira dan peso membuat investor melepas mata uang dari negara-negara dengan defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang lebar seperti Indonesia. 

Pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Itu menjadi merupakan pencapaian terburuk sejak kuartal II-2014. 

Kedua, mencuatnya persepsi bahwa The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018 seiring positifnya data-data ekonomi Negeri Paman Sam. Kenaikan suku bunga yang lebih agresif menjadi perlu dilakukan untuk mencegah perekonomian Negeri Paman Sam mengalami overheating.  

Dolar AS semakin punya alasan untuk menguat. Kenaikan suku bunga akan membuat imbalan berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS akan naik, dan ini tentu menarik minat investor yang mencari cuan.  

Ketiga, dolar AS masih menjadi favorit investor yang tengah cemas menanti perkembangan di Negeri Adidaya. Tahapan dengar pendapat atas rencana pengenaan bea masuk baru atas impor produk China senilai US$ 200 miliar berakhir pada 6 September waktu AS. Kabarnya, Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi bea masuk ini segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.   

Kemungkinan pengenaan bea masuk baru ini menjadi terbuka lebar setelah Kementerian Perdagangan AS melaporkan defisit perdagangan AS dengan China menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$ 36,8 miliar pada Juli 2018, naik 10% secara tahunan (year-on-year/YoY).   

Atas dasar tensi AS-China yang semakin runcing ini, aset-aset berisiko di negara berkembang pun dilepas, dan investor beralih ke instrumen yang dianggap aman (safe haven). Saat ini, safe haven yang paling digemari pelaku pasar adalah dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini.            

Meski demikan, sebenarnya rupiah dan IHSG kembali mendapatkan kekuatannya pada akhir pekan lalu. Investor tampaknya merespon positif upaya penyelamatan rupiah yaitu kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk 1.147 produk impor. Disinsentif ini memberi angin segar bagi produsen dalam negeri, karena mereka bisa mengisi ruang yang mungkin ditinggalkan oleh produk impor.  

Ini terlihat dari kenaikan harga saham-saham seperti UNVR (5,7%) atau ASII (5,51%). Kompetitor mereka dari luar negeri akan lebih sulit masuk ke Indonesia, sehingga mereka terlecut untuk meningkatkan produksi demi memenuhi permintaan domestik. Kenaikan produksi akan menghasilkan tambahan pendapatan dan berujung pada pertumbuhan laba sehingga mendapat apresiasi pelaku pasar. 

Akibatnya, IHSG dan rupiah melesat pada perdagangan akhir pekan lalu. IHSG ditutup menguat 1,3%, sementara rupiah terapresiasi 0,47%. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama terkoreksi sepanjang  pekan lalu. Selama seminggu kemarin, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,19%, S&P 500 melemah 1,03%, dan Nasdaq Composite berkurang 2,55%. Sedangkan pada perdagangan akhir pekan lalu, DJIA ditutup melemah 0,31%, S&P 500 turun 0,22%, dan Nasdaq berkurang 0,31%. 

Pemberat Wall Street datang dari perundingan dagang AS-Kanada yang belum menemui titik temu. Sebelumnya, sempat muncul aura positif dari perundingan yang dimulai pada 5 September waktu AS. 

"Pembicaraan AS-Kanada berlangsung positif dan konstruktif. Kami memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, dan siap bernegosiasi," ujar Chrystia Freeland, Menteri Luar Negeri Kanada, dikutip dari Reuters. 

Namun, seiring berakhirnya pekan lalu, tidak ada kabar baik yang muncul. Beberapa masalah tampaknya masih menghambat jalannya pencapaian kesepakatan. 

Kevin Brady, Direktur Komite Sarana dan Prasarana Kongres AS dari Partai Republik, mengatakan bahwa masih ada perbedaan di antara kedua belah pihak tentang kuota produk susu (dairy) Kanada, prosedur penyelesaian perselisihan dagang, dan isu-isu lama lainnya. Seperti diketahui, pemerintahan Trump menuduh Kanada mendiskriminasi ekspor dairy asal AS.

Pihak Negeri Adidaya juga ingin mengakhiri panel arbitrase Bab 19 terkait penyelesaian perselisihan terkait tarif anti-dumping. Hal itu biasa digunakan Kanada untuk mempertahankan ekspor kayunya ke AS, meski AS menuduh kayu Kanada disubsidi secara tidak adil. 

"Banyak yang bergantung pada keseriusan Kanada dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan final ini. Semua orang berada di meja dengan niatan menyelesaikan isu terakhir, dan kesulitan selalu saja muncul," kata Brady, mengutip Reuters. 

Isu lainnya yang masih menjadi ganjalan adalah Kanada berkeras untuk mempertahankan pengecualian kultural yang melindungi perusahaan penerbitan dan medianya supaya tidak diakuisisi oleh perusahaan AS. Perdana Menteri Justin Trudeau pekan lalu mengatakan hal itu penting untuk kedaulatan nasional dan identitas Kanada. Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer menyebut pengecualian itu sebagai proteksionisme kultural, karena perusahaan-perusahaan Kanada bebas membeli media AS. 

Kemudian, sama seperti bursa Asia, bursa saham AS juga dihantui oleh isu perang dagang AS-China. Akhir pekan lalu, muncul kabar yang memperparah polemik perdagangan di antara dua raksasa ekonomi dunia ini. 

Presiden Trump memperingatkan siap menerapkan bea masuk atas barang impor dari China ke AS senilai US$ 267 miliar, lebih besar dari yang dikabarkan selama ini yaitu US$ 200 miliar. Bahkan ke depan, bukan tidak mungkin jumlah itu bisa bertambah. 

"Saya benci untuk mengatakan ini, tetapi di belakang itu, US$ 267 miliar lainnya siap untuk diterapkan dalam waktu singkat jika saya mau. Itu benar-benar mengubah permainan," tegas Trump, dikutip dari Reuters. 

Sebagai tambahan, penurunan indeks Nasdaq yang cukup dalam pada pekan lalu juga disebabkan oleh Kementerian Kehakiman AS dan para jaksa wilayah yang dikabarkan bakal membahas bagaimana media sosial digunakan sebagai alat untuk mengekang kebebasan berpendapat bagi kaum konservatif. Memang tidak menyebut media sosial mana pun, tetapi cukup untuk membuat saham Facebook dan Twitter berguguran.  


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang kurang oke pada akhir pekan lalu. Dikhawatirkan ini menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua dolar AS sepertinya berpotensi menguat pada perdagangan hari ini. Greenback bakal mendapat tambahan gula dari data ketenagakerjaan AS yang positif. Seperti anak kecil yang mengalami sugar rush, dolar AS kemungkinan akan menggila.

Pada Agustus 2018, angka pengangguran AS memang tetap di 3,9% seperti bulan sebelumnya. Namun, upah per jam rata-rata meningkat 0,4% secara month-to-month (MtM). Peningkatan sebesar itu merupakan yang tertinggi pada tahun ini, sekaligus mampu melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan peningkatan 0,2% MtM. 

Adapun YoY, upah per jam rata-rata di bulan lalu meningkat 2,9%. Capaian itu juga mampu melampaui konsensus yang dihimpun Reuters, yaitu 2,7%. Secara historis, peningkatan tahunan itu merupakan yang tertinggi sejak Juni 2009. 

Kemudian, lapangan kerja non-pertanian AS per Agustus bertambah 201.000. Jauh melampaui konsensus pasar sebesar 191.000.  

Data-data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang solid tersebut membuat potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini semakin besar. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan menjadi 2-2,25% pada rapat 26 September mendatang adalah 98,4%. 

Tidak selesai sampai di situ, The Fed juga diperkirakan menaikkan suku bunga lagi pada pertemuan Desember dengan kemungkinan 75%. Artinya, The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. 

Didorong kabar kenaikan suku bunga, dolar AS berpotensi jumawa. Sebab, kenaikan suku bunga akan membuat arus modal berkerumun di sekitar greenback, karena investor berharap kenaikan imbalan investasi. Aksi borong terhadap dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut kemungkinan membuat mata uang lain bakal tertekan, tidak terkecuali rupiah. 


Sentimen ketiga, adalah hawa perang dagang yang masih hangat. Apalagi otoritas China merilis data surplus perdagangan dengan AS yang semakin lebar. 

Beijing mengumumkan ekspor China pada Agustus 2015 tumbuh 9,8% YoY sementara impor melonjak 20% YoY. Negeri Tirai Bambu masih membukukan surplus perdagangan US$ 27,91 miliar. 

Dengan AS, China mencatat ada surplus US$ 31,05 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 28,09 miliar. Ini bisa menjadi sumber masalah, karena dapat dijadikan alasan bagi AS untuk mengobarkan perang dagang. AS (maaf, lebih tepatnya Trump) tentu tidak mau terus-menerus tekor saat berdagang dengan China, sehingga instrumen kenaikan bea masuk menjadi andalan untuk meredam impor. 

Bila ada kabar dari Washington seputar rencana pengenaan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 267 miliar, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global. Investor akan dipaksa bermain aman, tidak mau mengambil aset-aset berisiko apalagi di negara berkembang. Bila ini terjadi, maka IHSG dan rupiah akan terancam sementara dolar AS semakin berjaya. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah data cadangan devisa. Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Agustus 2018 sebesar US$ 117,9 miliar, turun US$ 410 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Posisi ini menjadi yang paling rendah sejak Januari 2017. 

Penurunan cadangan devisa terjadi seiring dengan langkah BI dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah. Selama Agustus, rupiah melemah 2,15% dan tanpa intervensi BI bisa saja depresiasinya lebih dalam. 

Bisa terjadi dua persepsi mengenai cadangan devisa. Pertama kabar baiknya dulu. Penurunan cadangan devisa bisa dipandang sebagai komitmen bank sentral untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Pelaku pasar semestinya bisa tenang, karena BI selalu siap menjaga rupiah dengan cadangan devisa sebagai taruhannya. 

Penurunan cadangan devisa pada Agustus juga relatif minimal, tidak menyentuh angka miliaran dolar AS. Artinya, intervensi BI dilakukan secara terukur dan efektif, tidak menghamburkan peluru ke segala penjuru. Atau mungkin saja dengan intervensi yang minim laju rupiah sudah bisa dikendalikan karena mulai stabil. 

Sementara kabar buruknya adalah cadangan devisa Indonesia semakin berkurang. Sejak Februari 2018, cadangan devisa tidak pernah naik.  

Artinya, amunisi bank sentral untuk menjaga nilai tukar rupiah menjadi semakin terbatas. Rupiah dan perekonomian Indonesia pada umumnya berpotensi rentan terhadap gejolak eksternal jika cadangan devisa terus berkurang hingga ke titik yang tidak mencukupi. 

Investor tentu cemas jika Indonesia semakin rentan. Bukan malah membantu, bisa-bisa pelaku pasar membuat situasi lebih buruk dengan meninggalkan Indonesia untuk mencari selamat masing-masing. Jika ini yang terjadi, maka tekanan yang dialami Indonesia akan semakin berat. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Juli 2018 (tentatif).
  • Rilis data inflasi China periode Agustus 2018 (08:30 WIB).
  • Pidato Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic (tentatif).

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS)RUPSLB-
PT Sumi Indo Kabel Tbk (IKBI)RUPS Tahunan10:00
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA)RUPS Tahunan14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 117.9 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular