
Newsletter
Perang Dagang vs Inflasi, Siapa Menang?
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 September 2018 05:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu yang baik di Asia, sementara rupiah malah menjadi salah satu mata uang dengan depresiasi terdalam di Benua Kuning.
Sepanjang pekan lalu, IHSG mencatat penguatan mingguan sebesar 0,83%. Pergerakan IHSG senada dengan bursa saham utama Asia lainnya yang juga mampu membukukan cuan.
Dalam perdagangan pekan lalu, indeks Straits Time menguat tipis 0,01%, Nikkei 225 surplus 0,69%, Hang Seng bertambah 0,78%, dan Kospi melesat 1,29%. Di antara bursa saham utama Asia ini, IHSG boleh menepuk dada karena menjadi terbaik kedua setelah Kospi.
Sentimen eksternal memang kondusif untuk pasar saham. Pada awal pekan, pasar saham dunia (termasuk Indonesia) melejit karena pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, dalam pertemuan tahunan di Jackson Hole.
Dalam pidato tersebut, Powell menyatakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual, sesuatu yang sudah lama dimengerti pelaku pasar. Namun ada beberapa kalimat yang menjadi energi bagi pasar saham.
"Dengan angka pengangguran yang rendah, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter? Dengan problem inflasi yang belum kelihatan, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter yang bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan ekspansi ekonomi? Kami hanya ingin bergerak hati-hati. Kenaikan suku bunga secara gradual adalah langkah kami untuk mengatasi risiko tersebut (inflasi dan ekspansi ekonomi yang terlalu kencang)," ungkap Powell, mengutip Reuters.
Pernyataan itu menyiratkan bahwa Amerika Serikat (AS) belum mengalami ancaman inflasi yang serius. Artinya, justru ada kemungkinan The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dengan inflasi yang masih sesuai harapan, maka sepertinya belum ada kebutuhan bagi The Fed untuk lebih agresif dalam pengetatan kebijakan moneter.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah, apalagi saat perang dagang berkecamuk seperti sekarang. Pernyataan Powell ini tentu menjadi energi baru bagi laju pasar saham dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Sentimen positif berikutnya bagi pasar saham adalah damai dagang AS-Meksiko. Pekan ini, kedua tetangga itu telah mencapai kesepakatan terkait pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Sebelumnya, AS dan Meksiko beberapa kali terlibat friksi dagang. Saling balas pengenaan bea masuk pun terjadi, yang membuat hubungan keduanya memanas.
Pada Juni, AS mengenakan bea masuk 25% bagi baja dan 10% untuk aluminium dari Meksiko. Langkah itu langsung dibalas Meksiko dengan membebani bea masuk 20-25% untuk produk-produk AS seperti daging babi, keju, dan sebagainya.
Namun dengan kesepakatan NAFTA itu, hubungan AS-Meksiko bisa dipulihkan. Bahkan ada kemungkinan bea masuk yang sudah diterapkan akan dicabut.
Aura damai dagang ini membuat investor bergairah dan siap mengambil risiko. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berisiko seperti saham. Terbukti, di sepanjang pekan lalu investor asing membukukan beli bersih Rp 1,02 triliun di pasar saham Indonesia.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,6% selama seminggu kemarin. Dalam seminggu terakhir dolar Singapura melemah 0,52%, ringgit Malaysia terkoreksi 0,02%, baht Thailand terdepresiasi 0,46%, won Korea Selatan minus 0,1%, yuan China amblas 0,39%, dan dolar Taiwan tekor 0,03. Rupiah hanya lebih baik dari rupee India yang anjlok 1,49%.
Ada sentimen yang masih membuat investor memilih dolar AS ketimbang masuk ke Benua Kuning. Sentimen itu adalah perkembangan di Turki dan Argentina.
Turki kembali menjadi sorotan setelah lembaga pemeringkat Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam.
Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter.
Setelah Turki, giliran Argentina yang bikin gara-gara. Investor mulai mencemaskan mata uang peso yang melemah 51,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.
Pelemahan peso memaksa Bank Sentral Argentina (BCRA) melakukan intervensi besar-besaran, tetapi tetap tidak manjur. Oleh karena itu, Argetina pun berpaling kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina memang sudah menyepakati fasilitas pinjaman sebesar US$ 50 miliar dari lembaga multilateral tersebut.
Kesepakatan utang dengan IMF tentu ada harganya. Argentina harus mengubah rencana ekonomi yang sudah disusun untuk kemudian diganti dengan saran-saran IMF. Salah satu resep IMF yang paling terkenal adalah pengetatan fiskal dengan pemangkasan berbagai subsidi, yang memicu kemarahan rakyat Negeri Tango.
Perkembangan di Turki dan Argentina tersebut membuat investor memilih bermain aman. Saat investor ogah mengambil risiko, ke mana mereka mengarahkan dananya? Dolar AS. Ini yang membuat mata uang Asia tertekan dan greenback meneruskan lajunya.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan penguatan sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,67%, S&P 500 menguat 0,93%, dan Nasdaq Composite lompat 2,06%. Senada dengan di Asia, bursa saham New York bergairah karena pernyataan Powell di Jackson Hole serta damai dagang AS-Meksiko.
Namun pada perdagangan akhir pekan, Wall Street agak variatif. DJIA minus 0,09%, S&P 500 naik 0,01%, dan Nasdaq menguat 0,16%.
Akhir pekan lalu, Wall Street dibuat wait and see oleh perundingan dagang AS-Kanada. Setelah AS dan Meksiko mencapai kesepahaman, maka dibutuhkan kepingan puzzle terakhir untuk pembaruan kerangka NAFTA yaitu kesepakatan AS-Kanada.
Sikap investor yang cenderung menunggu dan hari-hati terlihat dari volume perdagangan di Wall Street akhir pekan lalu yang hanya 5,77 miliar saham. Lumayan jauh di bawah rata-rata perdagangan 20 hari terakhir yaitu 6,08 miliar saham.
"Saat volume perdagangan turun, ada sebuah kabar yang sedang menjadi sorotan. Kabar tersebut kemudian meningkatkan volatilitas di pasar," kata Don Steinbrugge, Managing Partner di Agcroft Partner yang berbasis di Virginia, dikutip dari Reuters.
Kebetulan hasil dari pembicaraan AS-Kanada baru keluar setelah pasar ditutup. Wall Street mungkin patut bersyukur karena bisa relatif selamat. Namun sepertinya tidak dengan bursa saham Asia hari ini.
Pada perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati dampak dari hasil perundingan AS-Kanada. Hasil dari perundingan itu adalah nol besar. Apa yang diperkirakan berjalan mudah, ternyata malah alot dan tidak bisa menghasilkan kesepakatan sama sekali.
"Bagi Kanada, fokus kami adalah mendapatkan perjanjian yang menguntungkan. Begitu itu tercapai, selesai," ujar Chrystia Freeland, Menteri Luar Negeri Kanada, seusai perundingan di Washington, akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Salah satu isu yang menjadi pemberat dalam dialog ini adalah kebijakan Kanada yang mengenakan bea masuk tinggi untuk produk olahan susu (dairy product). Kanada melakukan itu demi melindungi peternak dalam negeri, tetapi AS menudingnya sebagai upaya proteksi dan perdagangan tidak adil.
Dengan tertundanya kesepakatan AS-Kanada, maka ada kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk bagi mobil made in Canada. Hal tersebut dikatakan Trump sebelum perundingan.
"Saya rasa kalau dengan Kanada yang paling gampang adalah mengenakan bea masuk bagi mobil-mobil mereka. Itu uang yang sangat besar," ujar Trump sebelum negosiasi dimulai, dikutip dari Reuters.
Kini, walau belum bicara soal pengenaan bea masuk untuk mobil, Trump mulai galak terhadap Kanada. Trump sepertinya akan mengajukan rencana pembaruan NAFTA dengan hanya menyertakan kesepakatan AS-Meksiko, sementara dengan Kanada berstatus ditunda (pending).
"Tidak ada kebutuhan untuk mengikutsertakan Kanada dalam perjanjian NAFTA yang baru. Jika mereka tidak bisa menerapkan perdagangan yang adil kepada AS setelah puluhan tahun menindas, maka Kanada akan keluar," tegas Trump melalui cuitan di Twitter.
Namun, parlemen AS tidak akan begitu saja menyetujui rencana tersebut. Sebab, NAFTA berisi kesepakatan tiga negara bukan dua negara saja.
"Kalau bukan kesepakatan trilateral, maka Kongres tidak akan memberikan restu. Pemerintah juga bisa saja kehilangan dukungan dunia usaha," tegas Thomas Donohue, Chief Executive di US Chambers of Commerce, seperti dikutip dari Reuters.
Bukan Trump kalau tidak keras kepala dan ngambek seperti anak kecil. Menghadapi kritik tersebut, Trump kembali melontarkan ancaman dengan membatalkan NAFTA jika tidak ada persetujuan Kongres.
"Kongres sebaiknya jangan ikut campur dengan negosiasi ini, atau saya akan membatalkan NAFTA. Itu justru akan lebih baik," cuit Trump di Twitter.
Panasnya hubungan AS-Kanada bisa menjadi risiko besar bagi pasar keuangan Asia hari ini, termasuk Indonesia. Sepertinya kedua tetangga ini masih akan memasang mode perang dagang, dan bisa sangat mempengaruhi mood pelaku pasar.
Belum lagi pekan lalu beredar kabar bahwa AS akan segera memberlakukan bea masuk baru bagi impor asal China senilai total US$ 200 miliar. Rancangan kebijakan ini tengah menjalani proses dengar pendapat yang akan selesai pada 6 September mendatang. Setelah masa dengar pendapat selesai, Trump dikabarkan akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut.
Biasanya investor cenderung hati-hati dan bermain aman saat isu perang dagang mengemuka. Maklum, perang dagang adalah isu besar yang bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dunia. Perilaku ini ditunjukkan dengan melepas aset-aset berisiko, terutama di negara-negara berkembang.
Kalau ini terjadi, maka tentunya bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah. Kemungkinan keduanya akan melanjutkan koreksi.
Sementara dari dalam negeri, investor perlu mencermati rilis data inflasi periode Agustus 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi sebesar 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Kemudian inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 3,33%, sedangkan inflasi inti YoY ada di 2,89%.
Sementara Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Agustus sebesar 0,06% MtM. Ini membuat inflasi secara YoY ada di 3,19%. Proyeksi BI lebih optimistis dibandingkan pelaku pasar.
Walau inflasi diperkirakan rendah rendah, BI melihat tidak ada pertanda perlambatan konsumsi atau daya beli. Hal ini terlihat dari fungsi intermediasi perbankan yang meningkat.
"Message-nya, inflasi sangat rendah. Kondisi stabilitas sistem keuangan kita terjaga, intermediasi juga kuat. Dari berbagai indikator ekonomi makro kita, stabilitas ekonomi, pertumbuhan juga terjaga," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI.
Menurut catatan BI, pertumbuhan kredit perbankan pada Juni 2018 adalah 10,7% YoY. Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY. Sampai akhir tahun ini, BI memperkirakan kredit perbankan tumbuh dalam kisaran 10-12%.
Bila realisasi inflasi sesuai dengan konsensus, maka laju inflasi 2018 akan melambat lumayan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MtM ada di 0,28%. Hal ini terjadi seiring siklus penurunan permintaan setelah mencapai puncaknya pada periode Ramadhan-Idul Fitri.
Meski begitu, secara tahunan malah terjadi akselerasi yang cukup tajam karena inflasi Juli secara YoY adalah 3,18%. Inflasi inti juga menunjukkan akselerasi, karena posisi Juli ada di 2,87% YoY. Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa konsumsi masyarakat masih menggeliat.
Oleh karena itu, apabila realisasi inflasi (khususnya peningkatan inflasi inti) ternyata sesuai ekspektasi pasar, maka bisa menjadi berita baik bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan yang sejatinya sangat erat dengan konsumsi masyarakat.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Sepanjang pekan lalu, IHSG mencatat penguatan mingguan sebesar 0,83%. Pergerakan IHSG senada dengan bursa saham utama Asia lainnya yang juga mampu membukukan cuan.
Dalam perdagangan pekan lalu, indeks Straits Time menguat tipis 0,01%, Nikkei 225 surplus 0,69%, Hang Seng bertambah 0,78%, dan Kospi melesat 1,29%. Di antara bursa saham utama Asia ini, IHSG boleh menepuk dada karena menjadi terbaik kedua setelah Kospi.
Sentimen eksternal memang kondusif untuk pasar saham. Pada awal pekan, pasar saham dunia (termasuk Indonesia) melejit karena pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, dalam pertemuan tahunan di Jackson Hole.
Dalam pidato tersebut, Powell menyatakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual, sesuatu yang sudah lama dimengerti pelaku pasar. Namun ada beberapa kalimat yang menjadi energi bagi pasar saham.
"Dengan angka pengangguran yang rendah, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter? Dengan problem inflasi yang belum kelihatan, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter yang bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan ekspansi ekonomi? Kami hanya ingin bergerak hati-hati. Kenaikan suku bunga secara gradual adalah langkah kami untuk mengatasi risiko tersebut (inflasi dan ekspansi ekonomi yang terlalu kencang)," ungkap Powell, mengutip Reuters.
Pernyataan itu menyiratkan bahwa Amerika Serikat (AS) belum mengalami ancaman inflasi yang serius. Artinya, justru ada kemungkinan The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dengan inflasi yang masih sesuai harapan, maka sepertinya belum ada kebutuhan bagi The Fed untuk lebih agresif dalam pengetatan kebijakan moneter.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah, apalagi saat perang dagang berkecamuk seperti sekarang. Pernyataan Powell ini tentu menjadi energi baru bagi laju pasar saham dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Sentimen positif berikutnya bagi pasar saham adalah damai dagang AS-Meksiko. Pekan ini, kedua tetangga itu telah mencapai kesepakatan terkait pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Sebelumnya, AS dan Meksiko beberapa kali terlibat friksi dagang. Saling balas pengenaan bea masuk pun terjadi, yang membuat hubungan keduanya memanas.
Pada Juni, AS mengenakan bea masuk 25% bagi baja dan 10% untuk aluminium dari Meksiko. Langkah itu langsung dibalas Meksiko dengan membebani bea masuk 20-25% untuk produk-produk AS seperti daging babi, keju, dan sebagainya.
Namun dengan kesepakatan NAFTA itu, hubungan AS-Meksiko bisa dipulihkan. Bahkan ada kemungkinan bea masuk yang sudah diterapkan akan dicabut.
Aura damai dagang ini membuat investor bergairah dan siap mengambil risiko. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berisiko seperti saham. Terbukti, di sepanjang pekan lalu investor asing membukukan beli bersih Rp 1,02 triliun di pasar saham Indonesia.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,6% selama seminggu kemarin. Dalam seminggu terakhir dolar Singapura melemah 0,52%, ringgit Malaysia terkoreksi 0,02%, baht Thailand terdepresiasi 0,46%, won Korea Selatan minus 0,1%, yuan China amblas 0,39%, dan dolar Taiwan tekor 0,03. Rupiah hanya lebih baik dari rupee India yang anjlok 1,49%.
Ada sentimen yang masih membuat investor memilih dolar AS ketimbang masuk ke Benua Kuning. Sentimen itu adalah perkembangan di Turki dan Argentina.
Turki kembali menjadi sorotan setelah lembaga pemeringkat Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam.
Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter.
Setelah Turki, giliran Argentina yang bikin gara-gara. Investor mulai mencemaskan mata uang peso yang melemah 51,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.
Pelemahan peso memaksa Bank Sentral Argentina (BCRA) melakukan intervensi besar-besaran, tetapi tetap tidak manjur. Oleh karena itu, Argetina pun berpaling kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina memang sudah menyepakati fasilitas pinjaman sebesar US$ 50 miliar dari lembaga multilateral tersebut.
Kesepakatan utang dengan IMF tentu ada harganya. Argentina harus mengubah rencana ekonomi yang sudah disusun untuk kemudian diganti dengan saran-saran IMF. Salah satu resep IMF yang paling terkenal adalah pengetatan fiskal dengan pemangkasan berbagai subsidi, yang memicu kemarahan rakyat Negeri Tango.
Perkembangan di Turki dan Argentina tersebut membuat investor memilih bermain aman. Saat investor ogah mengambil risiko, ke mana mereka mengarahkan dananya? Dolar AS. Ini yang membuat mata uang Asia tertekan dan greenback meneruskan lajunya.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan penguatan sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,67%, S&P 500 menguat 0,93%, dan Nasdaq Composite lompat 2,06%. Senada dengan di Asia, bursa saham New York bergairah karena pernyataan Powell di Jackson Hole serta damai dagang AS-Meksiko.
Namun pada perdagangan akhir pekan, Wall Street agak variatif. DJIA minus 0,09%, S&P 500 naik 0,01%, dan Nasdaq menguat 0,16%.
Akhir pekan lalu, Wall Street dibuat wait and see oleh perundingan dagang AS-Kanada. Setelah AS dan Meksiko mencapai kesepahaman, maka dibutuhkan kepingan puzzle terakhir untuk pembaruan kerangka NAFTA yaitu kesepakatan AS-Kanada.
Sikap investor yang cenderung menunggu dan hari-hati terlihat dari volume perdagangan di Wall Street akhir pekan lalu yang hanya 5,77 miliar saham. Lumayan jauh di bawah rata-rata perdagangan 20 hari terakhir yaitu 6,08 miliar saham.
"Saat volume perdagangan turun, ada sebuah kabar yang sedang menjadi sorotan. Kabar tersebut kemudian meningkatkan volatilitas di pasar," kata Don Steinbrugge, Managing Partner di Agcroft Partner yang berbasis di Virginia, dikutip dari Reuters.
Kebetulan hasil dari pembicaraan AS-Kanada baru keluar setelah pasar ditutup. Wall Street mungkin patut bersyukur karena bisa relatif selamat. Namun sepertinya tidak dengan bursa saham Asia hari ini.
Pada perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati dampak dari hasil perundingan AS-Kanada. Hasil dari perundingan itu adalah nol besar. Apa yang diperkirakan berjalan mudah, ternyata malah alot dan tidak bisa menghasilkan kesepakatan sama sekali.
"Bagi Kanada, fokus kami adalah mendapatkan perjanjian yang menguntungkan. Begitu itu tercapai, selesai," ujar Chrystia Freeland, Menteri Luar Negeri Kanada, seusai perundingan di Washington, akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Salah satu isu yang menjadi pemberat dalam dialog ini adalah kebijakan Kanada yang mengenakan bea masuk tinggi untuk produk olahan susu (dairy product). Kanada melakukan itu demi melindungi peternak dalam negeri, tetapi AS menudingnya sebagai upaya proteksi dan perdagangan tidak adil.
Dengan tertundanya kesepakatan AS-Kanada, maka ada kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk bagi mobil made in Canada. Hal tersebut dikatakan Trump sebelum perundingan.
"Saya rasa kalau dengan Kanada yang paling gampang adalah mengenakan bea masuk bagi mobil-mobil mereka. Itu uang yang sangat besar," ujar Trump sebelum negosiasi dimulai, dikutip dari Reuters.
Kini, walau belum bicara soal pengenaan bea masuk untuk mobil, Trump mulai galak terhadap Kanada. Trump sepertinya akan mengajukan rencana pembaruan NAFTA dengan hanya menyertakan kesepakatan AS-Meksiko, sementara dengan Kanada berstatus ditunda (pending).
"Tidak ada kebutuhan untuk mengikutsertakan Kanada dalam perjanjian NAFTA yang baru. Jika mereka tidak bisa menerapkan perdagangan yang adil kepada AS setelah puluhan tahun menindas, maka Kanada akan keluar," tegas Trump melalui cuitan di Twitter.
Namun, parlemen AS tidak akan begitu saja menyetujui rencana tersebut. Sebab, NAFTA berisi kesepakatan tiga negara bukan dua negara saja.
"Kalau bukan kesepakatan trilateral, maka Kongres tidak akan memberikan restu. Pemerintah juga bisa saja kehilangan dukungan dunia usaha," tegas Thomas Donohue, Chief Executive di US Chambers of Commerce, seperti dikutip dari Reuters.
Bukan Trump kalau tidak keras kepala dan ngambek seperti anak kecil. Menghadapi kritik tersebut, Trump kembali melontarkan ancaman dengan membatalkan NAFTA jika tidak ada persetujuan Kongres.
"Kongres sebaiknya jangan ikut campur dengan negosiasi ini, atau saya akan membatalkan NAFTA. Itu justru akan lebih baik," cuit Trump di Twitter.
Panasnya hubungan AS-Kanada bisa menjadi risiko besar bagi pasar keuangan Asia hari ini, termasuk Indonesia. Sepertinya kedua tetangga ini masih akan memasang mode perang dagang, dan bisa sangat mempengaruhi mood pelaku pasar.
Belum lagi pekan lalu beredar kabar bahwa AS akan segera memberlakukan bea masuk baru bagi impor asal China senilai total US$ 200 miliar. Rancangan kebijakan ini tengah menjalani proses dengar pendapat yang akan selesai pada 6 September mendatang. Setelah masa dengar pendapat selesai, Trump dikabarkan akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut.
Biasanya investor cenderung hati-hati dan bermain aman saat isu perang dagang mengemuka. Maklum, perang dagang adalah isu besar yang bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dunia. Perilaku ini ditunjukkan dengan melepas aset-aset berisiko, terutama di negara-negara berkembang.
Kalau ini terjadi, maka tentunya bukan kabar baik bagi IHSG dan rupiah. Kemungkinan keduanya akan melanjutkan koreksi.
Sementara dari dalam negeri, investor perlu mencermati rilis data inflasi periode Agustus 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi sebesar 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Kemudian inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 3,33%, sedangkan inflasi inti YoY ada di 2,89%.
Sementara Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Agustus sebesar 0,06% MtM. Ini membuat inflasi secara YoY ada di 3,19%. Proyeksi BI lebih optimistis dibandingkan pelaku pasar.
Walau inflasi diperkirakan rendah rendah, BI melihat tidak ada pertanda perlambatan konsumsi atau daya beli. Hal ini terlihat dari fungsi intermediasi perbankan yang meningkat.
"Message-nya, inflasi sangat rendah. Kondisi stabilitas sistem keuangan kita terjaga, intermediasi juga kuat. Dari berbagai indikator ekonomi makro kita, stabilitas ekonomi, pertumbuhan juga terjaga," tegas Perry Warjiyo, Gubernur BI.
Menurut catatan BI, pertumbuhan kredit perbankan pada Juni 2018 adalah 10,7% YoY. Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10,3% YoY. Sampai akhir tahun ini, BI memperkirakan kredit perbankan tumbuh dalam kisaran 10-12%.
Bila realisasi inflasi sesuai dengan konsensus, maka laju inflasi 2018 akan melambat lumayan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MtM ada di 0,28%. Hal ini terjadi seiring siklus penurunan permintaan setelah mencapai puncaknya pada periode Ramadhan-Idul Fitri.
Meski begitu, secara tahunan malah terjadi akselerasi yang cukup tajam karena inflasi Juli secara YoY adalah 3,18%. Inflasi inti juga menunjukkan akselerasi, karena posisi Juli ada di 2,87% YoY. Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa konsumsi masyarakat masih menggeliat.
Oleh karena itu, apabila realisasi inflasi (khususnya peningkatan inflasi inti) ternyata sesuai ekspektasi pasar, maka bisa menjadi berita baik bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan yang sejatinya sangat erat dengan konsumsi masyarakat.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data indeks Nikkei PMI Indonesia periode Agustus 2018 (07:30 WIB).
- Rilis data indeks manufaktur PMI Caixin China periode Agustus 2018 (08:45 WIB).
- Rilis data inflasi Indonesia periode Agustus 2018 (11:00 WIB).
- Pidato Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda (12:40 WIB).
- Indeks manufaktur PMI Inggris periode Agustus 2018 (15:30 WIB).
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Juli 2018 YoY) | 3.18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2018) | US$ 118.3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Most Popular