
Newsletter
Dolar AS Siap Menerjang, Hati-hati Rupiah!
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 August 2018 07:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat, tetapi nilai tukar rupiah bernasib sebaliknya.
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,37%. Sentimen domestik menjadi faktor penentu laju IHSG di tengah faktor eksternal yang mixed. Sentimen itu adalah dirilisnya aturan B20 (kewajiban pencampuran 20% bahan bakar nabati untuk minyak diesel/solar) yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 41/2018.
"Badan Usaha BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagaimana dimaksud, meliputi: a. Badan Usaha BBM yang memiliki kilang dan menghasilkan BBM jenis minyak solar, dan b. Badan Usaha BBM yang melakukan impor BBM jenis minyak solar," bunyi Pasal 3 ayat (2) peraturan tersebut. Pemerintah menetapkan pengadaan sebanyak 940.407 kiloliter bahan bakar B20 pada periode September-Desember 2018.
Merespons hal tersebut, harga saham emiten-emiten sektor agrikultur, terutama yang bergerak dalam bidang produksi minyak sawit mentah (CPO), melonjak signifikan. TBLA meroket 6,57%, BWPT terdongkrak 6,48%, AALI naik 2,73%, dan LSIP bertambah 2,63%.
Seiring dengan kenaikan harga saham emiten-emiten produsen CPO, indeks sektor agrikultur naik hingga 2,27%. Tertinggi dibandingkan sektor saham penghuni IHSG lainnya.
Dari sisi eksternal, sentimen positif bagi IHSG datang dari optimisme bahwa Amerika Serikat (AS) dan Kanada bisa mencapai kesepakatan terkait perubahan kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). "Masih ada beberapa hal yang belum selesai dengan Kanada. Namun sepertinya bisa diatasi dengan cepat," ujar seorang pejabat senior AS, dikutip dari Reuters.
Sebelum kedatangan delegasi Kanada ke Washington, Presiden AS Donald Trump sudah berbicara dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau melalui sambungan telepon. "Kedua pemimpin sepakat untuk melanjutkan pembicaraan yang produktif," tutur Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, masih mengutip Reuters.
Perkembangan ini sedikit banyak membuat pelaku pasar masih mau mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang. Aliran modal yang masuk ini menjadi pendorong gerak IHSG.
Namun di sisi lain, pelaku pasar juga mencemaskan risiko lanjutan episode perang dagang AS vs China. Investor harap-harap cemas menanti keputusan Presiden Trump yang berencana mengenakan bea masuk baru terhadap impor produk-produk China senilai US$200 miliar.
Kebijakan ini masih menjalani fase dengar pendapat yang dimulai pada 20 Agustus lalu. US Trade Representative melaporkan, sejauh ini dengar pendapat melibatkan 359 orang perwakilan dari dunia usaha. Mayoritas di antara mereka mengeluhkan kebijakan ini akan berdampak pada kenaikan harga produksi karena biaya impor akan naik.
Fase dengar pendapat akan berakhir pada 5 September dan jika mulus, bea masuk baru ini diperkirakan berlaku pada akhir bulan depan. Selain dunia usaha, Trump juga harus mendapatkan restu dari parlemen untuk menggolkan kebijakan ini.
Bila bea masuk ini berlaku, maka berbagai produk asal China akan kena bea masuk 25%. Produk-produk tersebut antara lain ban mobil, furnitur, produk kayu, tas, makanan anjing dan kucing, sarung tangan bisbol, sampai sepeda.
Kalau AS betul-betul menerapkan kebijakan ini, maka kemungkinan besar China pun akan membalas. Aksi 'balas pantun' ini akan terus berlangsung sebelum ada kesepakatan antara dua perekonomian terbesar di bumi tersebut.
Oleh karena itu, investor masih dibuat cemas oleh isu perang dagang AS vs China. Ini membuat pelaku pasar masih cenderung bermain aman, melepas aset-aset berisiko terutama di negara berkembang.
Sentimen eksternal yang mixed ini membuat rupiah tidak bisa menyamai prestasi IHSG. Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,23% di hadapan dolar AS. Sentimen B20, yang sejatinya bertujuan untuk menekan impor, belum bisa banyak menolong rupiah. Dari Wall Street, tiga indeks utama masih enggan melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,23%, S&P 500 menguat 0,57%, sementara Nasdaq Composite melejit 1,19%.
Saham-saham teknologi menjadi pendorong penguatan Wall Street, sehingga indeks Nasdaq tercatat menjadi yang tercepat. Harga saham Apple naik 1,49%, Amazon melesat 3,38%, Alphabet (induk usaha Google) menguat 1,51%, Microsoft bertambah 1,59%, dan Intel surplus 0,37%.
Kenaikan harga saham teknologi dipicu oleh laporan Morgan Stanley yang menaikkan target harga untuk saham Amazon dan Alphabet. Sentimen positif ini menular ke saham-saham lainnya.
Faktor lain yang menyebabkan solidnya kinerja Wall Street adalah prospek cerah pembicaraan dagang AS-Kanada. Kesepakatan diperkirakan terjadi paling lambat akhir pekan ini
“Mereka (Kanada) ingin mencapai kesepakatan, saya memberi waktu sampai Jumat dan sepertinya berjalan sesuai harapan. Kita lihat saja apa yang akan terjadi, tetapi dalam segala ha semuanya berjalan dengan sangat baik,” kata Presiden Trump, mengutip Reuters.
Optimisme juga merebak di kubu Kanada. PM Trudeau yakin bisa mencapai kesepakatan dengan Negeri Paman Sam pada pekan ini. Namun Trudeau menekankan bahwa kepentingan Kanada harus terlindungi.
“Kami melihat bahwa ada kemungkinan untuk ke sana (tercapainya kesepakatan) pada Jumat, tetapi itu baru kemungkinan karena kami akan melihat pada akhirnya apakah ada keuntungan bagi Kanada atau tidak. Tidak ada kesepakatan NAFTA lebih baik daripada kesepakatan NAFTA yang buruk,” tegasnya, dikutip dari Reuters.
Salah satu isu krusial yang mendapat sorotan adalah aturan di Kanada yang melindungi industri pengolahan produk susu (dairy). Di Kanada, ada satu aturan yang dalam praktiknya bisa melarang AS untuk mengekspor produk susu ke sana. Aturan ini yang harus diubah bila Kanada ingin mencapai kesepakatan dengan AS.
Namun secara umum, perundingan berlangsung lancar dan positif. Oleh karena itu, pelaku pasar yakin kesepakatan AS-Kanada bisa dihasilkan pada pekan ini.
Kesepakatan AS-Kanada akan menjadi kepingan terakhir yang melengkapi puzzle NAFTA setelah AS berhasil sepaham dengan Meksiko. Sentimen perang dagang di kawasan Amerika Utara pun mereda, dan menjadi penyebab euforia di pasar.
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif. Semoga hal ini bisa menular ke bursa saham Benua Kuning, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua, yang perlu diwaspadai, adalah kembali positifnya data ekonomi AS. Kementerian Pedagangan AS melaporkan, pembacaan kedua atas pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya periode kuartal II-2018 menghasilkan angka 4,2% secara tahunan. Lebih tinggi dibandingkan pembacaan pertama yaitu 4,1%. Ini merupakan laju tercepat sejak 2014.
“Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 mencerminkan kenaikan konsumsi barang dan jasa, investasi pelaku usaha, ekspor, dan belanja pemerintah. Sementara inventori dan investasi properti menurun. Impor, yang menjadi faktor pengurang dalam pertumbuhan ekonomi, juga menurun,” sebut laporan Kementerian Perdagangan AS.
Rilis data ini akan semakin mempertebal keyakinan bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Ini dilakukan untuk sedikit mengerem laju pertumbuhan ekonomi AS agar tidak mengalami overheat, kondisi di mana permintaan melesat jauh meninggalkan penawaran sehingga menciptakan inflasi tinggi yang sebenarnya tidak perlu.
Pelaku pasar memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. Data pertumbuhan ekonomi AS yang direvisi ke atas mempertegas perkiraan tersebut.
Kabar kenaikan suku bunga bisa menjadi obat kuat yang ampuh bagi dolar AS. Sebab, kenaikan suku bunga akan membuat imbalan investasi di AS naik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi. Sebenarnya memegang dolar AS saja sudah menguntungkan, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga melindungi nilai mata uang dari potensi depresiasi.
Sudah aman, menguntungkan pula. Siapa yang tidak mau? Oleh karena itu, ada kemungkinan dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini akan kebanjiran permintaan. Akibatnya, dolar AS bisa terapresiasi terhadap mata uang dunia. Rupiah harus ekstra hati-hati karena terjangan dolar AS bisa datang kapan saja.
Kemudian sentimen ketiga adalah harga minyak yang cenderung naik. Pada pukul 05:22 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,9% sedangkan light sweet naik 0.2%.
Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh kekhawatiran penurunan pasokan. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan, cadangan minyak AS pekan lalu turun 2,6 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan penurunan 686.000 barel.
Selain AS, investor juga mencemaskan pasokan minyak dari Iran yang terus menurun. Ekspor minyak dan produk minyak dari Negeri Persia pada Agustus diperkirakan sekitar 64 juta barel atau 2,06 juta barel/hari. Ini merupakan catatan terendah sejak April 2017.
Hal ini tidak lepas dari bayang-bayang sanksi AS yang menyebabkan produksi minyak Iran terus merosot. Data Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyebutkan, produksi minyak di Iran pada Juni 2018 adalah 3,79 juta barel/hari. Turun 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya.
Presiden Trump berjanji untuk menghukum siapa saja yang berbisnis dengan Iran, yang dituduhnya masih mengembangkan senjata nuklir serta terlibat dalam konflik di beberapa negara Timur Tengah seperti Suriah dan Yaman. Oleh karena itu, sejumlah perusahaan mundur teratur dari Iran karena takut dengan amukan Trump.
Situasi bisnis yang tidak kondusif ini ujungnya membuat produksi minyak tidak optimal. Hasilnya sudah terlihat, produksi minyak di Iran terus menyusut.
Berkurangnya pasokan dari Iran, ditambah dengan penurunan stok minyak AS, tentu menyebabkan harga bergerak ke atas. Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan mendapat lebih banyak apresiasi.
Sentimen keempat, investor mungkin perlu memperhatikan situasi di Argentina. Seperti halnya Turki, Negeri Tango juga mengalami masalah depresiasi nilai tukar yang parah.
Pada perdagangan kemarin, peso Argentina melemah 7,57% terhadap dolar AS dan menjadi pelemahan harian terdalam sejak Desember 2015. Sedangkan sejak awal tahun, peso sudah terdepresiasi 40,9%.
Pelemahan peso memaksa bank sentral Argentina melakukan intervensi besar-besaran, tetapi tetap tidak manjur. Oleh karena itu, Argetina pun berpaling kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina memang sudah menyepakati fasilitas pinjaman sebesar US$ 50 miliar dari lembaga multilateral tersebut.
“Kami sudah sepakat dengan IMF untuk menyediakan dana yang dibutuhkan dan memastikan kepatuhan terhadap program pemulihan. Keputusan ini untuk mengurangi ketidakpastian,” kata Mauricio Macri, Presiden Argentina, dikutip dari Reuters.
Kesepakatan utang dengan IMF tentu ada harganya. Argentina harus mengubah rencana ekonomi yang sudah disusun untuk kemudian diganti dengan saran-saran IMF.
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, sudah menugaskan tim untuk memeriksa rencana program ekonomi Argentina. Nantinya, rencana ini akan dirombak sesuai dengan masukan IMF.
“Pihak-pihak terkait akan bekerja untuk merevisi rencana ekonomi pemerintah dengan fokus untuk membuat Argentina lebih baik dalam tren perubahan pasar keuangan dunia. Termasuk kebijakan fiskal dan moneter yang lebih kuat,” tegas Lagarde, dikutip dari Reuters.
Perkembangan di Argentina dikhawatirkan bisa membuat investor memilih bermain aman dan menghindari negara-negara berkembang. Bila ini sampai terjadi, maka bukan berita baik bagi IHSG dan rupiah. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,37%. Sentimen domestik menjadi faktor penentu laju IHSG di tengah faktor eksternal yang mixed. Sentimen itu adalah dirilisnya aturan B20 (kewajiban pencampuran 20% bahan bakar nabati untuk minyak diesel/solar) yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 41/2018.
"Badan Usaha BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagaimana dimaksud, meliputi: a. Badan Usaha BBM yang memiliki kilang dan menghasilkan BBM jenis minyak solar, dan b. Badan Usaha BBM yang melakukan impor BBM jenis minyak solar," bunyi Pasal 3 ayat (2) peraturan tersebut. Pemerintah menetapkan pengadaan sebanyak 940.407 kiloliter bahan bakar B20 pada periode September-Desember 2018.
Merespons hal tersebut, harga saham emiten-emiten sektor agrikultur, terutama yang bergerak dalam bidang produksi minyak sawit mentah (CPO), melonjak signifikan. TBLA meroket 6,57%, BWPT terdongkrak 6,48%, AALI naik 2,73%, dan LSIP bertambah 2,63%.
Seiring dengan kenaikan harga saham emiten-emiten produsen CPO, indeks sektor agrikultur naik hingga 2,27%. Tertinggi dibandingkan sektor saham penghuni IHSG lainnya.
Dari sisi eksternal, sentimen positif bagi IHSG datang dari optimisme bahwa Amerika Serikat (AS) dan Kanada bisa mencapai kesepakatan terkait perubahan kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). "Masih ada beberapa hal yang belum selesai dengan Kanada. Namun sepertinya bisa diatasi dengan cepat," ujar seorang pejabat senior AS, dikutip dari Reuters.
Sebelum kedatangan delegasi Kanada ke Washington, Presiden AS Donald Trump sudah berbicara dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau melalui sambungan telepon. "Kedua pemimpin sepakat untuk melanjutkan pembicaraan yang produktif," tutur Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, masih mengutip Reuters.
Perkembangan ini sedikit banyak membuat pelaku pasar masih mau mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang. Aliran modal yang masuk ini menjadi pendorong gerak IHSG.
Namun di sisi lain, pelaku pasar juga mencemaskan risiko lanjutan episode perang dagang AS vs China. Investor harap-harap cemas menanti keputusan Presiden Trump yang berencana mengenakan bea masuk baru terhadap impor produk-produk China senilai US$200 miliar.
Kebijakan ini masih menjalani fase dengar pendapat yang dimulai pada 20 Agustus lalu. US Trade Representative melaporkan, sejauh ini dengar pendapat melibatkan 359 orang perwakilan dari dunia usaha. Mayoritas di antara mereka mengeluhkan kebijakan ini akan berdampak pada kenaikan harga produksi karena biaya impor akan naik.
Fase dengar pendapat akan berakhir pada 5 September dan jika mulus, bea masuk baru ini diperkirakan berlaku pada akhir bulan depan. Selain dunia usaha, Trump juga harus mendapatkan restu dari parlemen untuk menggolkan kebijakan ini.
Bila bea masuk ini berlaku, maka berbagai produk asal China akan kena bea masuk 25%. Produk-produk tersebut antara lain ban mobil, furnitur, produk kayu, tas, makanan anjing dan kucing, sarung tangan bisbol, sampai sepeda.
Kalau AS betul-betul menerapkan kebijakan ini, maka kemungkinan besar China pun akan membalas. Aksi 'balas pantun' ini akan terus berlangsung sebelum ada kesepakatan antara dua perekonomian terbesar di bumi tersebut.
Oleh karena itu, investor masih dibuat cemas oleh isu perang dagang AS vs China. Ini membuat pelaku pasar masih cenderung bermain aman, melepas aset-aset berisiko terutama di negara berkembang.
Sentimen eksternal yang mixed ini membuat rupiah tidak bisa menyamai prestasi IHSG. Kemarin, rupiah ditutup melemah 0,23% di hadapan dolar AS. Sentimen B20, yang sejatinya bertujuan untuk menekan impor, belum bisa banyak menolong rupiah. Dari Wall Street, tiga indeks utama masih enggan melemah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,23%, S&P 500 menguat 0,57%, sementara Nasdaq Composite melejit 1,19%.
Saham-saham teknologi menjadi pendorong penguatan Wall Street, sehingga indeks Nasdaq tercatat menjadi yang tercepat. Harga saham Apple naik 1,49%, Amazon melesat 3,38%, Alphabet (induk usaha Google) menguat 1,51%, Microsoft bertambah 1,59%, dan Intel surplus 0,37%.
Kenaikan harga saham teknologi dipicu oleh laporan Morgan Stanley yang menaikkan target harga untuk saham Amazon dan Alphabet. Sentimen positif ini menular ke saham-saham lainnya.
Faktor lain yang menyebabkan solidnya kinerja Wall Street adalah prospek cerah pembicaraan dagang AS-Kanada. Kesepakatan diperkirakan terjadi paling lambat akhir pekan ini
“Mereka (Kanada) ingin mencapai kesepakatan, saya memberi waktu sampai Jumat dan sepertinya berjalan sesuai harapan. Kita lihat saja apa yang akan terjadi, tetapi dalam segala ha semuanya berjalan dengan sangat baik,” kata Presiden Trump, mengutip Reuters.
Optimisme juga merebak di kubu Kanada. PM Trudeau yakin bisa mencapai kesepakatan dengan Negeri Paman Sam pada pekan ini. Namun Trudeau menekankan bahwa kepentingan Kanada harus terlindungi.
“Kami melihat bahwa ada kemungkinan untuk ke sana (tercapainya kesepakatan) pada Jumat, tetapi itu baru kemungkinan karena kami akan melihat pada akhirnya apakah ada keuntungan bagi Kanada atau tidak. Tidak ada kesepakatan NAFTA lebih baik daripada kesepakatan NAFTA yang buruk,” tegasnya, dikutip dari Reuters.
Salah satu isu krusial yang mendapat sorotan adalah aturan di Kanada yang melindungi industri pengolahan produk susu (dairy). Di Kanada, ada satu aturan yang dalam praktiknya bisa melarang AS untuk mengekspor produk susu ke sana. Aturan ini yang harus diubah bila Kanada ingin mencapai kesepakatan dengan AS.
Namun secara umum, perundingan berlangsung lancar dan positif. Oleh karena itu, pelaku pasar yakin kesepakatan AS-Kanada bisa dihasilkan pada pekan ini.
Kesepakatan AS-Kanada akan menjadi kepingan terakhir yang melengkapi puzzle NAFTA setelah AS berhasil sepaham dengan Meksiko. Sentimen perang dagang di kawasan Amerika Utara pun mereda, dan menjadi penyebab euforia di pasar.
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif. Semoga hal ini bisa menular ke bursa saham Benua Kuning, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua, yang perlu diwaspadai, adalah kembali positifnya data ekonomi AS. Kementerian Pedagangan AS melaporkan, pembacaan kedua atas pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya periode kuartal II-2018 menghasilkan angka 4,2% secara tahunan. Lebih tinggi dibandingkan pembacaan pertama yaitu 4,1%. Ini merupakan laju tercepat sejak 2014.
“Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2018 mencerminkan kenaikan konsumsi barang dan jasa, investasi pelaku usaha, ekspor, dan belanja pemerintah. Sementara inventori dan investasi properti menurun. Impor, yang menjadi faktor pengurang dalam pertumbuhan ekonomi, juga menurun,” sebut laporan Kementerian Perdagangan AS.
Rilis data ini akan semakin mempertebal keyakinan bahwa The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Ini dilakukan untuk sedikit mengerem laju pertumbuhan ekonomi AS agar tidak mengalami overheat, kondisi di mana permintaan melesat jauh meninggalkan penawaran sehingga menciptakan inflasi tinggi yang sebenarnya tidak perlu.
Pelaku pasar memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. Data pertumbuhan ekonomi AS yang direvisi ke atas mempertegas perkiraan tersebut.
Kabar kenaikan suku bunga bisa menjadi obat kuat yang ampuh bagi dolar AS. Sebab, kenaikan suku bunga akan membuat imbalan investasi di AS naik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap (fixed income) seperti obligasi. Sebenarnya memegang dolar AS saja sudah menguntungkan, karena kenaikan suku bunga akan menjangkar ekspektasi inflasi sehingga melindungi nilai mata uang dari potensi depresiasi.
Sudah aman, menguntungkan pula. Siapa yang tidak mau? Oleh karena itu, ada kemungkinan dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini akan kebanjiran permintaan. Akibatnya, dolar AS bisa terapresiasi terhadap mata uang dunia. Rupiah harus ekstra hati-hati karena terjangan dolar AS bisa datang kapan saja.
Kemudian sentimen ketiga adalah harga minyak yang cenderung naik. Pada pukul 05:22 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,9% sedangkan light sweet naik 0.2%.
Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh kekhawatiran penurunan pasokan. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan, cadangan minyak AS pekan lalu turun 2,6 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan penurunan 686.000 barel.
Selain AS, investor juga mencemaskan pasokan minyak dari Iran yang terus menurun. Ekspor minyak dan produk minyak dari Negeri Persia pada Agustus diperkirakan sekitar 64 juta barel atau 2,06 juta barel/hari. Ini merupakan catatan terendah sejak April 2017.
Hal ini tidak lepas dari bayang-bayang sanksi AS yang menyebabkan produksi minyak Iran terus merosot. Data Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyebutkan, produksi minyak di Iran pada Juni 2018 adalah 3,79 juta barel/hari. Turun 0,6% dibandingkan bulan sebelumnya.
Presiden Trump berjanji untuk menghukum siapa saja yang berbisnis dengan Iran, yang dituduhnya masih mengembangkan senjata nuklir serta terlibat dalam konflik di beberapa negara Timur Tengah seperti Suriah dan Yaman. Oleh karena itu, sejumlah perusahaan mundur teratur dari Iran karena takut dengan amukan Trump.
Situasi bisnis yang tidak kondusif ini ujungnya membuat produksi minyak tidak optimal. Hasilnya sudah terlihat, produksi minyak di Iran terus menyusut.
Berkurangnya pasokan dari Iran, ditambah dengan penurunan stok minyak AS, tentu menyebabkan harga bergerak ke atas. Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan mendapat lebih banyak apresiasi.
Sentimen keempat, investor mungkin perlu memperhatikan situasi di Argentina. Seperti halnya Turki, Negeri Tango juga mengalami masalah depresiasi nilai tukar yang parah.
Pada perdagangan kemarin, peso Argentina melemah 7,57% terhadap dolar AS dan menjadi pelemahan harian terdalam sejak Desember 2015. Sedangkan sejak awal tahun, peso sudah terdepresiasi 40,9%.
Pelemahan peso memaksa bank sentral Argentina melakukan intervensi besar-besaran, tetapi tetap tidak manjur. Oleh karena itu, Argetina pun berpaling kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina memang sudah menyepakati fasilitas pinjaman sebesar US$ 50 miliar dari lembaga multilateral tersebut.
“Kami sudah sepakat dengan IMF untuk menyediakan dana yang dibutuhkan dan memastikan kepatuhan terhadap program pemulihan. Keputusan ini untuk mengurangi ketidakpastian,” kata Mauricio Macri, Presiden Argentina, dikutip dari Reuters.
Kesepakatan utang dengan IMF tentu ada harganya. Argentina harus mengubah rencana ekonomi yang sudah disusun untuk kemudian diganti dengan saran-saran IMF.
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, sudah menugaskan tim untuk memeriksa rencana program ekonomi Argentina. Nantinya, rencana ini akan dirombak sesuai dengan masukan IMF.
“Pihak-pihak terkait akan bekerja untuk merevisi rencana ekonomi pemerintah dengan fokus untuk membuat Argentina lebih baik dalam tren perubahan pasar keuangan dunia. Termasuk kebijakan fiskal dan moneter yang lebih kuat,” tegas Lagarde, dikutip dari Reuters.
Perkembangan di Argentina dikhawatirkan bisa membuat investor memilih bermain aman dan menghindari negara-negara berkembang. Bila ini sampai terjadi, maka bukan berita baik bagi IHSG dan rupiah. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data penjualan ritel Jepang periode Juli 2018 (06.50 WIB).
- Rilis data indeks Personal Consumption Expenditure (PCE) AS periode Juli 2018 (19.30 WIB).
- Rilis data pengeluaran konsumen AS periode Juli 2018 (19.30 WIB).
- Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 24 Agustus 2018 (19.30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Juli 2018 YoY) | 3.18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2018) | US$ 118.3 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Most Popular