Newsletter

Rupiah Dipayungi Mendung, IHSG Dihantui Profit Taking

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
24 August 2018 05:42
Rupiah Dipayungi Mendung, IHSG Dihantui Profit Taking
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berakhir variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat, tetapi rupiah justru melemah karena tidak mampu menandingi keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat secara global. 

Kemarin, IHSG menguat 0,65% tetapi rupiah melemah 0.34% terhadap dolar AS. Namun di Asia pun kondisinya seragam, bursa saham naik tetapi nilai tukar terdepresiasi. 

Di Jepang, indeks Nikkei 225 bertambah 0,22% tetapi yen melemah 0,31%. Kemudian di China, Shanghai Composite naik 0,22% tetapi yuan terdepresiasi 0,44%. Sementara di Korea Selatan, indeks Kospi menguat 0,41% meski won melemah 0,42%. Lalu di Singapura, indeks Straits Time melesat 1,56 sedangkan dolar Singapura melemah 0,31%. 

Penguatan bursa saham Asia disebabkan oleh penantian investor terhadap negosiasi perdagangan AS-China di Washington. Meski banyak pihak (termasuk Presiden AS Donald Trump) yang menyangsikan pertemuan ini akan menghasilkan sesuatu yang signifikan, tetapi tetap saja bisa menjadi awal bagi dialog yang lebih konstruktif. 

Perang dagang AS vs China yang memanas sejak awal tahun ini adalah sebuah isu besar yang menjadi perhatian pasar. Sebab, perang dagang berisiko menghambat arus perdagangan dan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut. 

Kajian Bank Dunia menyebutkan, perang dagang akan menggerus perekonomian AS, China, dan Uni Eropa sekitar 1%. Sementara negara-negara berkembang akan merasakan dampak yang sedikit lebih besar, yaitu penurunan sekitar 1,1%. 

Sementara untuk pergerakan mata uang, faktor utama depresiasi massal di Asia adalah rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Agustus 2018. Dalam rapat tersebut, Jerome Powell dan sejawat memberi petunjuk yang lebih jelas mengenai kenaikan suku bunga, yang disebut akan dilakukan segera.  

"Para peserta rapat menyatakan bahwa jika data-data ke depan mendukung proyeksi ekonomi, maka sudah saatnya menempuh langkah lanjutan untuk menghilangkan kebijakan yang akomodatif," sebut notulensi itu. 

The Fed melihat perekonomian AS dari sisi pengusaha maupun rumah tangga sedang dalam momentum yang baik. Oleh karena itu, ekonomi akan tumbuh dan menciptakan dampak inflasi. Melihat hal tersebut, The Fed tidak akan lagi menyebut kebijakan moneter sebagai instrumen untuk mendorong perekonomian. 

Merespons rilis tersebut, investor semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,5% mencapai 96%. 

Potensi kenaikan suku bunga acuan menjadi bahan bakar utama penguatan dolar AS. Dengan kenaikan suku bunga, maka berinvestasi di aset-aset berbasis greenback menjadi lebih menguntungkan karena imbalannya naik. Aksi borong ini kemudian membuat dolar AS perkasa di hadapan mata uang dunia.

Dari Wall Street, tiga indeks utama terjerembab di jalur merah. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,3%, S&P 500 turun 0,17%, dan Nasdaq Composite minus 0,14%. 

Penyebab utama koreksi di bursa saham New York adalah diterapkannya bea masuk baru oleh AS dan China. AS mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk-produk China senilai US$ 16 miliar. China pun melakukan kebijakan serupa, bea masuk 25% untuk impor produk-produk made in USA senilai US$ 16 miliar. 

Kebijakan ini sudah dibuat sebelumnya, dan memang aturan menyebutkan mulai berlaku kemarin. Tidak peduli bahwa saat ini Washington-Beijing sedang dalam perundingan dagang. Pengenaan bea masuk baru tersebut sepertinya membuat proses negosiasi semakin alot sehingga membuat pelaku pasar cemas. 

"Sulit untuk memperkirakan kapan ini (perang dagang) akan selesai. Mungkin saja akan lama dan penuh tantangan. Namun positifnya, kedua pihak saat ini sedang dalam perundingan," kata Brendan Erne, Director of Portfolio Implementation di Personal Capital yang berbasis di San Francisco, dikutip dari Reuters. 

Saham-saham emiten industri (apalagi yang mengandalkan China sebagai pasar ekspor utama) berguguran. Boeing turun 0,73%, Caterpillar anjlok 2,03%, dan 3M melemah 0,07%. 

Faktor berikutnya adalah peralihan arus modal ke pasar obligasi dan valas mengantisipasi pertemuan tahunan The Fed, Jackson Hole Meeting. Pelaku pasar ingin mencari kepastian apakah The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga.  

Investor memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun, atau menjadi empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak dari perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali selama 2018. 

Sejauh ini, yang agak terkonfirmasi adalah kenaikan pada September. Kenaikan berikutnya diperkirakan terjadi pada Desember, yang menurut CME Fedwatch punya probabilitas 62,8%. Lumayan tinggi, tetap belum cukup kuat. 

Oleh karena itu, kenaikan keempat masih agak samar-samar. Apalagi ada komentar dari Raphael Bostic, Presiden The Fed Atlanta, yang menyatakan masih ada potensi The Fed hanya akan menaikkan suku bunga kebijakan tiga kali sepanjang 2018. 

"Kami (The Fed) masih punya ruang dengan menaikkan suku bunga acuan tiga kali (sepanjang 2018). Saya masih percaya dengan itu," kata Bostic belum lama ini, mengutip Reuters. 

Oleh karena itu, investor ingin mencari petunjuk lebih lanjut dari pidato Powell di Jackson Hole Meeting. Apabila Powell memberikan kode-kode mengenai kenaikan suku bunga empat kali, maka dolar AS akan lebih menggila. Ini membuat investor meninggalkan pasar saham untuk sementara waktu dan menuju ke pasar valas dan obligasi. 

Di pasar valas, permintaan dolar AS yang tinggi membuat Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,49% pada pukul 04:42 WIB. Sementara maraknya permintaan di pasar obligasi tercermin dari penurunan imbal hasil (yield) yang menandakan harga sedang naik. Pada pukul 04:43 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun 0,4 basis poin menjadi 2,8279%.


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang kurang memuaskan. Koreksi di Wall Street dikhawatirkan bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah kemungkinan dolar AS masih melanjutkan penguatannya. ini tidak lepas dari rilis minutes of meeting Bank Sentral Uni Eropa (ECB) edisi Juli 2018 yang dirilis kemarin petang waktu Indonesia. 

ECB memandang bahwa ekonomi zona Eropa masih berjalan seperti apa yang diperkirakan, sehingga, perubahan kebijakan moneter masih belum dibutuhkan. ECB masih mempertahankan suku bunga acuan dan mengkonfirmasi kembali arah kebijakan moneter yang sudah disebutkan dalam rapat-rapat sebelumnya. 

"Sejak Juni, kondisi pasar keuangan secara umum masih stabil di mana rumah tangga dan dunia usaha tumbuh cukup baik. Arah kebijakan suku bunga ke depan harus seimbang antara ketepatan dengan fleksibilitas. Secara umum, informasi yang diterima masih sesuai dengan perkiraan yang dilakukan pada bulan sebelumnya," sebut notulensi ECB. 

Sebelumnya pada rapat ECB edisi Juni 2018, bank sentral Benua Biru menyepakati pengurangan stimulus moneter mulai bulan depan dan mengakhirinya pada akhir tahun. Kenaikan suku bunga baru akan dibicarakan paling cepat musim panas atau pertengahan tahun depan. 

Tidak adanya kejutan dari ECB membuat pelaku pasar lebih memilih The Fed yang lebih agresif. Artinya, arus modal akan tetap terkonsentrasi ke Negeri Paman Sam dan memperkuat dolar AS. 

Sebagai tambahan, dolar AS juga mendapatkan dukungan dari penurunan jumlah warga yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran sebesar 2.000 orang menjadi 210.000 orang pada pekan lalu Penurunan itu terjadi di kala konsensus Reuters memperkirakan peningkatan sebesar 3.000 orang ke 215.000 orang.  

Solidnya pasar tenaga kerja AS telah menjadi alasan kunci dari kampanye The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. Oleh karena itu, data klaim pengangguran yang positif menjadi lebih dominan, dan mampu menyuntikkan energi bagi greenback

Kala dolar AS terus menguat, maka mata uang lainnya akan menjadi korban. Sepertinya hari ini belum terlalu cerah bagi rupiah. Mata uang Tanah Air kemungkinan masih harus melwati jalan yang penuh liku dan berbatu.


Faktor ketiga adalah perang dagang AS-China. Setelah pemberlakuan bea masuk, investor patut menantikan kabar hasil pertemuan delegasi China dan AS di Washington. Meski delegasi ini hanya melibatkan Wakil Menteri, tetapi bisa menjadi pembuka bagi dialog tingkat tinggi yang lebih menjanjikan. Selain hasil pertemuan di Washington, pelaku pasar juga perlu mewaspadai sikap AS dan China yang sama-sama keras meski negosiasi tengah berlangsung. Jika aksi saling gertak ini terus terjadi, perundingan yang sedang berlangsung bisa balik kanan.  "Mereka (China) tidak akan menyerah begitu saja, pasti akan membalas. Namun pada akhirnya, kami punya lebih banyak peluru. Mereka tahu itu. Kami punya ekonomi yang lebih kuat, dan mereka juga tahu itu," tegas Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, dikutip dari Reuters.  "China secara tegas menolak ini (pengenaan bea masuk). Kami akan terus mengambil langkah balasan yang diperlukan," sebut pernyataan tertulis Kementerian Perdagangan China.  Sentimen keempat adalah dari dalam negeri yaitu ada potensi ambil untung (profit taking) di IHSG. Sejak awal pekan ini, IHSG sudah naik 2,41%. Sementara sejak awal Agustus penguatannya adalah 0,78% dan sejak awal Juli mencapai 3,17%.  Angka-angka ini bisa jadi cukup menggiurkan buat investor untuk segera merealisasikan laba. Apalagi sekarang jelang akhir pekan, saat yang tepat untuk mengambil keuntungan sebelum perdagangan dimulai lagi awal pekan depan.  Di sisi lain, valuasi IHSG sudah lumayan mahal dengan Price to Earnings Ratio (P/E) yang mencapai 16,37 kali. Lebih tinggi ketimbang sejumlah bursa saham negara tetangga seperti Straits Time (11,25 kali), Nikkei 225 (13 kali), Hang Seng (10,52 kali), Shanghai Composite (11,79 kali), atau Kospi (12,1 kali). Ini membuat IHSG rentan mengalami tekanan jual karena valuasinya agak terlalu mahal sehingga pelaku pasar perlu waspada. Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi Jerman kuartal II-2018 (13.00 WIB).
  • Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode Juli 2018 (17:00 WIB).
  • Pidato Gubernur The Fed Jerome Powell pada Simposium Kebijakan Ekonomi Jackson Hole (21:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX)RUPSLB09:30
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Juli 2018 YoY)3.18%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Juli 2018)US$ 118.3 miliar
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular