Newsletter

Turki Terus Dimonitor, Jangan Kasih Kendor

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 August 2018 05:52
Turki Terus Dimonitor, Jangan Kasih Kendor
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani saat yang buruk perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terperosok dalam, bahkan menjadi salah satu yang terparah di Asia. 

Kemarin, IHSG ditutup amblas 3,55%. Ini merupakan koreksi harian terdalam setelah November 2016. Nilai transaksi tercatat Rp 7,95 triliun dengan volume 8,94 miliar unit saham, sementara frekuensi perdagangan adalah 374.729 kali. 

Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham Asia lainnya. Namun IHSG mengalami koreksi yang paling tajam. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,98%, Shanghai Composite turun 0,32%, Hang Seng jatuh 1,52%, Kospi berkurang 1,5%, dan Straits Time melemah 1,2%. 

Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup dalam memaksa investor melakukan aksi jual besar-besaran. Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset berbasis rupiah pun jadi tidak menguntungkan. Sampai akhir perdagangan, rupiah melemah 0,83% terhadap dolar AS dan menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam kedua di Asia. 

Faktor internal dan eksternal menekan pasar keuangan Indonesia. Dari dalam negeri, investor merespons negatif data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB).  

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar di periode April-Juni 2018. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta. 

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimnya sokongan devisa. 

Dari sisi eksternal, tekanan datang dari gejolak ekonomi yang terjadi di Turki. Sejak akhir pekan lalu, lira melemah tajam di hadapan dolar AS. Kejatuhan lira terjadi pasca Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50% dan aluminium sebesar 20%.  

"Saya telah menyetujui penggandaan tarif bea masuk untuk baja dan aluminium kepada Turki, karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS kami yang begitu kuat! Hubungan kami dengan Turki tidak baik pada saat ini!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter, akhir pekan lalu. 

Kebijakan Trump ini merupakan balasan terhadap langkah Turki yang menahan seorang pastur asal AS, Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding Brunson sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi nasibnya masih terkatung-katung. 

Upaya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk meredakan tekanan terhadap lira dengan menyuruh masyarakatnya menukarkan dolar AS dan emas ke lira tak direspons positif oleh pelaku pasar. Pada perdagangan kemarin, lira kembali merosot sebesar 6,33%. 

Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal pun tidak bisa diabaikan.  

Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri.   

Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko.

Investor pun berbondong-bondong mengalihkan asetnya ke instrumen safe haven, seperti mata uang yen Jepang atau franc Swiss.
 Namun dalam kadar tertentu, dolar AS pun bisa berlaku sebagai safe haven karena dinilai aman dan juga menjanjikan imbal hasil tinggi akibat potensi kenaikan suku bunga acuan.

Alhasil, mata uang Negeri Paman Sam pun masih superior pada perdagangan kemarin. Rupiah yang memang tidak didukung secara fundamental dalam negeri semakin menjadi bulan-bulanan. 

Dari Wall Street, koreksi yang terjadi pada akhir pekan lalu masih berlanjut. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,5%, S&P 500 berkurang 0,4%, dan Nasdaq Composite minus 0,1%.

Wall Street terperosok, tetapi tidak sedalam bursa saham Asia. Meski demikian, cerita di balik koreksi di Wall Street sama seperti Asia yaitu karena Turki.

Saham-saham perbankan ramai dilepas, karena khawatir sektor keuangan Negeri Paman Sam terdampak potensi default perusahaan-perusahaan Negeri Kebab. Menurut catatan Bank for Internasional Settlements (BIS), utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$ 18 miliar. Jika sampai terjadi default (semoga tidak), maka kerugian yang dialami perbankan bisa sampai sebesar itu. 

Harga saham Citigroup amblas 1,56%. Kemudian Bank of America Merril Lynch anjlok 2,28%, Wells Fargo melemah 0,76%, JPMorgan Chase jatuh 1,59%, dan Goldman Sachs ambrol 1,19%. Secara keseluruhan, indeks sektor keuangan di DJIA terkoreksi 1,21%. 

Selain itu, aura perang dagang juga masih kental. Kali ini korbannya adalah saham Harley-Davidson yang anjlok 4,32% gara-gara ulah Presiden Trump. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pabrikan motor gede (moge) ini akan memindahkan sebagian fasilitas produksinya ke luar AS. Hal ini dilakukan untuk menghindari label made in USA, yang di beberapa negara terkena bea masuk balas dendam.

Namun Trump tidak merestui langkah tersebut. Menurutnya moge Harley-Davidson harus dibuat di AS. Oleh karena itu, Trump menyerukan boikot terhadap Harley-Davidson jika sampai membangun pabrik di luar negeri. 

"Banyak pemilik @harleydavidson berencana untuk melakukan boikot bila perusahaan memindahkan pabrik ke luar negeri. Bagus! Banyak korporasi yang justru datang ke sini, termasuk kompetitor Harley. Langkah yang sangat buruk! AS akan segera menikmati kesetaraan, atau mungkin lebih baik," cuit Trump di Twitter. 

Sementara itu, koreksi minim yang dialami Nasdaq disebabkan masih melesatnya saham-saham teknologi. Harga saham Amazon naik 0,52% dan Apple menguat 0,64%. Laporan keuangan kuartal II-2018 yang solid masih berdampak sampai sekarang. 

"Sekarang semuanya tentang Turki, kemudian masih ada isu perang dagang. Pasar sebenarnya ingin menguat, tetapi ada saja hal-hal yang membebani," keluh Gary Bradshaw, Portfolio Manager di Hodges Funds yang berbasis di Dallas, seperti dikutip Reuters. 


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya koreksi yang terjadi di Wall Street. Dikhawatirkan virus koreksi itu menular dan menjangkiti bursa saham Benua Kuning, termasuk Indonesia. Sebab, biasanya memang dinamika di Wall Street memberi warna yang cukup kental terhadap bursa saham Asia. 

Sentimen kedua adalah masih berlanjutnya kekhawatiran terhadap situasi di Turki. Terbukti dari Wall Street yang terjebak di zona merah karena sentimen ini. Kemarin, Bank Sentral Turki berusaha menenangkan investor global dengan menyatakan bahwa mereka akan menyediakan sebanyak mungkin likuiditas bagi bank-bank dalam negeri. Selain itu, bank sentral juga siap sedia dalam memantau perkembangan dari krisis ekonomi di Negeri Kebab. 

Pernyataan Bank Sentral Turki sedikit menenangkan pelaku pasar. Lira memang masih melemah di kisaran 6%, tetapi ini jauh membaik dibandingkan akhir pekan lalu yang terperosok sampai nyaris 16%. 

Namun, sepertinya investor belum sepenuhnya percaya terhadap prospek ekonomi Turki. Pasalnya, banyak faktor luar yang masuk dan mengintervensi jalannya ekonomi di negara tersebut. 

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan masih dianggap terlalu jauh mencampuri urusan ekonomi. Dia berkali-kali menyebutkan bahwa bank sentral seharusnya menurunkan suku bunga acuan. Erdogan juga menunjuk menantunya, Berat Albayrak, sebagai Menteri Keuangan. 

Belum lagi hubungan Ankara dengan Washington semakin memburuk. Erdogan menyerukan saat ini Turki tengah menghadap perang ekonomi akibat serangan-serangan yang dilancarkan AS.  

"Perkembangan dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan bahwa Turki sedang diserang. Sudah jelas bahwa serangan-serangan ini akan berlanjut untuk beberapa waktu," kata Erdogan dalam rapat bersama para duta besar, dikutip dari Reuters. 

Akan tetapi, klaim Erdogan tersebut mendapat bantahan dari berbagai pihak. Angela Merkel, Kanselir Jerman, menegaskan bahwa tidak ada yang mendapat keuntungan dengan instabilitas ekonomi di Turki. Merkel seolah meminta Turki bercermin bahwa mungkin masalahnya ada di mereka sendiri. 

"Tidak ada yang punya kepentingan tertentu di balik instabilitas ekonomi Turki. Namun ini memang harus diperbaiki, salah satunya dengan menjamin independensi bank sentral. Jerman tentunya ingin melihat Turki yang sejahtera, itulah kepentingan kami," tutur Merkel, mengutip Reuters. 

Situasi di Turki yang masih memanas sepertinya tetap menjadi perhatian utama investor dunia. Namun apakah kadar keparahannya sama dengan kemarin, layak untuk dimonitor. Jangan sampai kendur. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Masih disebabkan oleh perilaku investor yang mencari aman, greenback tetap menjadi primadona dan terus menguat. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif di hadapan enam mata uang utama) masih menguat 0,03%. 

Jika penguatan ini bertahan sepanjang hari, maka bersiaplah menghadapi depresiasi rupiah. Saat rupiah berpotensi melemah, investor pun cenderung menghindar dari bursa saham Indonesia karena mengoleksi aset berbasis mata uang ini tidak membuahkan cuan. Akibatnya, IHSG terancam kembali ke zona merah. 

Sentimen keempat adalah harga minyak yang turun, meski dalam rentang terbatas. Pada pukul 05:09 WIB, harga minyak jenis light sweet turun 0,41% dan brent terkoreksi 0,05%. 

Penurunan light sweet yang lebih dalam dibandingkan brent merupakan akibat dari peningkatan cadangan minyak AS. Mengutip Reuters, cadangan minyak di Cushing (Oklahoma) pada pekan pekan lalu diperkirakan naik 1,7 juta barel.  

Ini karena fasilitas milik Syncrude di Kanada sudah mulai beroperasi terbatas sehingga bisa memasok si emas hitam. Operasi penuh dijadwalkan pada bulan depan. 

Penurunan harga minyak bukan kabar gembira bagi IHSG. Saat harga minyak turun, emiten migas dan pertambangan kurang mendapat apresiasi. Ini bisa mempengaruhi IHSG secara keseluruhan. 


Sentimen kelima adalah dari dalam negeri yaitu rilis data realisasi investasi kuartal II-2018 oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebenarnya rilis ini bisa dibilang agak terlambat, karena gambaran investasi sudah terlihat dalam data pertumbuhan ekonomi.

Pada kuartal II-2018, Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) alias investasi tumbuh 5,87%. Pencapaian ini merupakan yang terlambat sejak kuartal III-2017. 

Sebagai informasi, BKPM mencatat pertumbuhan realisasi investasi pada kuartal I-2018 sebesar 11,76% secara tahunan (year-on-year/YoY). Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tumbuh masing-masing sebesar 12,27% YoY dan 11,05% YoY. Kemudian, pada kuartal II-2017, total investasi mampu tumbuh 12,73% YoY, dengan PMA melonjak 10,56% YoY dan PMDN naik 16,86% YoY.

Apabila, rilis data kuartal II-2018 masih menunjukkan hasil yang positif, apalagi mampu melampaui capaian periode yang sama tahun lalu, maka bisa menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar. Sebaliknya, jika ada perlambatan maka akan menjadi gambaran bahwa ada kelesuan di kalangan dunia usaha. Ekspansi usaha maupun investasi baru yang lesu tentu bukan berita gembira.

Sentimen keenam, masih dari domestik, adalah rilis data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 per akhir Juli. Data ini menjadi penting bagi pelaku pasar untuk mendapatkan gambaran sejauh mana otoritas fiskal berperan dalam mendukung perekonomian.

Hal yang menarik untuk disimak adalah di pos belanja modal. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menginstruksikan agar proyek-proyek infrastruktur non strategis ditunda. Tujuannya untuk mengerem impor barang modal yang sedikit banyak berkontribusi terhadap pelemahan rupiah.

Layak dicermati apakah pemerintah sudah mengeksekusi rencana tersebut. Jika sudah ada pertanda ke arah sana, maka bisa dipastikan otoritas fiskal dan otoritas moneter berdansa mengikuti lagu yang sama yaitu menjadikan stabilitas nilai tukar sebagai prioritas dalam jangka pendek. Meski dengan begitu ada korban bernama pertumbuhan ekonomi.

Berikut sejumlah agenda yang direncanakan berlangsung hari ini:

  • Rilis pembacaan data investasi Indonesia kuartal II-2018 (09:30 WIB).
  • Rilis realisasi APBN KiTa edisi Agustus 2018 (11:30 WIB).
  • Rilis data produksi industri China periode Juli 2018 (09:00 WIB).
  • Rilis data investasi aset tetap China periode Juli 2018 (09:00 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jerman kuartal II-2018 (13:00 WIB).
  • Rilis data indeks pendapatan rata-rata 3 bulanan Inggris kuartal II-2018 (15:30 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Inggris kuartal II-2018 (15:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi Zona Eropa kuartal II-2018 (16:00 WIB).
  • Rilis data indeks harga impor AS periode Juli 2018 (19:30 WIB).

Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

Perusahaan

Jenis Kegiatan

Waktu

PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA)

Earnings Call

17:00

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)

5.27%

Inflasi (Juli 2018 YoY)

3.18%

Defisit anggaran (APBN 2018)

-2.19% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2018)

-3.04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2018)

-US$ 4.31 miliar

Cadangan devisa (Juli 2018)

US$ 118.3 miliar


Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular