
Newsletter
Akankah Trump sang Street Fighter Pengaruhi IHSG?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 August 2018 05:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tajam pada perdagangan kemarin. Sentimen positif dari dalam negeri berhasil melambungkan IHSG di tengah tren koreksi bursa saham Asia.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,56% sementara bursa saham utama Asia cenderung melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,08%, Shanghai Composite terpangkas 1,26%, Kospi melemah 0,05%, Straits Times terkoreksi 0,6%, SET (Thailand) terpeleset 0,93%, dan KLCI (Malaysia) minus 0,02%.
Laju IHSG dimotori oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 yang di atas ekspektasi. Sepanjang kuartal-II, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,27% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,125% YoY. Capaian ini juga mengalahkan posisi kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY dan posisi kuartal-II 2017 yang sebesar 5,01% YoY.
Saham-saham emiten perbankan, utamanya yang masuk dalam kategori BUKU IV, menjadi primadona bagi investor. BBNI naik 3,8%, BNGA naik 2,5%, BBRI naik 2,4%, BBCA naik 1,49%, dan BMRI naik 1,39%. Seiring kenaikan harga saham emiten-emiten perbankan, sektor jasa keuangan melesat hingga 1,73%, menjadikannya kontributor utama bagi penguatan IHSG.
Ketika ekonomi tumbuh kencang, bank-bank di Tanah Air memang menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan, lantaran ada potensi meningkatnya penyaluran kredit. Hal tersebut lantas mengobati kekecewaan investor terhadap penyaluran kredit yang relatif mengecewakan sepanjang semester-I 2018.
Misalnya, pada paruh pertama 2018 total penyaluran kredit BMRI tercatat sebesar Rp 762,5 triliun, naik 11,8% dibandingkan posisi periode yang sama tahun lalu. Sementara pada paruh pertama 2017, penyaluran kredit tumbuh sebesar 11,65% YoY. Ini artinya, pertumbuhan penyaluran kredit hanya naik tipis.
Sementara itu, penyaluran kredit BBNI hanya mampu tumbuh 11,1% YoY sepanjang paruh pertama 2018. Jauh lebih rendah dari capaian di paruh pertama 2017 yang sebesar 15,4% YoY.
Data pertumbuhan ekonomi juga direspons positif di pasar valuta asing. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah menguat 0,17% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di sisi lain, sentimen negatif sebenarnya berbondong-bondong datang bagi bursa saham kawasan Asia. Pertama, langkah People's Bank of China (PBoC) untuk meredam pelemahan yuan yang tidak direspons positif oleh pelaku pasar. Pada akhir pekan lalu, Bank Sentral China tersebut mengumumkan pemberlakuan kembali kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) 20% bagi bank-bank yang menjual dolar AS kepada nasabahnya menggunakan kontrak forward. Akibatnya, biaya untuk melakukan short terhadap yuan menjadi lebih mahal.
Kebijakan ini kali pertama diadopsi pada Oktober 2015. Kala itu, yuan terdepresiasi besar-besaran selepas PBoC dengan sengaja mendevaluasinya. Namun, pada perdagangan kemarin yuan justru melemah 0,18% di pasar spot. Sementara di pasar offshore, yuan melemah 0,14%.
Kedua, perang dagang antara AS dengan China yang semakin memanas juga memberikan tekanan. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Ketiga, sentimen negatif datang dari hubungan AS-Korea Utara yang kembali tak kondusif. Laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri.
Berbagai sentimen negatif tersebut membuat bursa saham utama Asia cenderung berakhir di teritori negatif. IHSG bisa selamat, bahkan melesat, berkat rilis data pertumbuhan ekonomi.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan kinerja positif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,16%, S&P 500 menguat 0,35%, dan Nasdaq bertambah 0,59%.
Laju Wall Street lebih didorong oleh sentimen domestik yaitu kinerja korporasi yang solid. Dari sektor keuangan, kontributor terbesar adalah kenaikan harga saham Berkshire Hathaway yang mencapai 2,34%. Kinerja perusahaan yang dipimpin Warren Buffett ini membukukan kinerja yang solid.
Pendapatan bersih pada kuartal II-2018 meroket 181,92% secara YoY menjadi US$ 12,01 miliar. Salah satu penyebab kenaikan ini adalah pemotongan tarif pajak dari 28,9% menjadi 20%.
Sementara posisi kas dan setara kas pada akhir kuartal II-2018 adalah sebesar US$ 111,1 miliar. Dana ini bisa dipakai untuk melakukan aksi korporasi seperti akuisisi. Berkshire belum lagi melakukan akuisisi besar sejak Januari 2016 kala membeli perusahaan pembuat suku cadang pesawat terbang, Precision Castparts.
Selain Berkshire, kontributor lain terhadap laju Wall Street adalah saham Facebook yang melesat 4,45%. Emiten yang dikomandoi Mark Zuckerberg ini mendapat apresiasi investor setelah The Wall Street Journal melaporkan Facebook telah meminta data nasabah perbankan untuk meningkatkan engagement.
Data-data yang diminta oleh Facebook antara lain transaksi menggunakan kartu dan rekening nasabah. Data ini akan digunakan untuk pengembangan layanan baru. Namun Facebook menegaskan data itu tidak akan dipakai untuk tujuan iklan atau dibagikan kepada pihak ketiga.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif. Diharapkan hal ini bisa membangkitkan gairah dan optimisme bursa saham Asia sehingga mampu bangkit dari teritori negatif.
Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China yang masih dalam mode full throttle. Kali ini China yang membuat suasana memanas. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-sia belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Padahal, perang dagang berdampak buruk bagi China sendiri. AS adalah pasar ekspor terbesar China, sehingga ketika pasar itu sulit dimasuki maka dampaknya akan luar biasa. Akan banyak perusahaan yang merugi, bahkan mungkin terpaksa gulung tikar. Ketika aktivitas bisnis melambat, maka pertumbuhan ekonomi pun akan melandai.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi global pada 2020 berkurang 0,5%. Secara nominal, akan ada potensi yang hilang sebanyak US$ 500 miliar.
"Risiko dalam perang dagang adalah terhadap harga aset dan iklim investasi. Ini adalah risiko terbesar dalam jangka pendek," kata Maury Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, mengutip Reuters.
Perkembangan perang dagang tentu masih harus membuat investor waspada. Dikhawatirkan kewaspadaan ini membuat pelaku pasar menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bila ini sampai terjadi, maka IHSG akan sulit mengulangi pencapaian kemarin. Akankah Trump sang Street Fighter mewarnai laju IHSG?
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah yang tidak kalah tegang. Presiden Iran Hassan Rouhani menolak ajakan AS untuk berunding.
Sebelumnya, Washington memang mengajak Iran untuk bernegosiasi seputar pelucutan program misil dan nuklir. Melalui negosiasi ini diharapkan Iran bisa terhindar dari sanksi.
Namun Rouhani ogah berunding. Menurutnya, Trump tidak tulus dalam perundingan ini karena punya maksud-maksud terselubung.
"Jika Anda menusuk orang dengan pisau dan kemudian ingin mengajaknya bicara, maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencabut pisaunya. Kami selalu terbuka untuk diplomasi dan perundingan, tetapi itu butuh kejujuran. Ajakan Trump hanya untuk konsumsi domestik jelang pemilu dan menciptakan kekacauan di Iran," papar Rouhani dalam sebuah wawancara televisi yang dikutip Reuters.
Rouhani menambakan, saat ini AS sudah dikucilkan oleh dunia karena kebijakan ekonomi mereka yang proteksionistik. Hal itu akan semakin parah jika AS jadi memberikan sanksi kepada Iran.
"AS akan menyesal telah memberikan sanksi kepada kami. Mereka telah dikucilkan dalam pergaulan dunia, dan kini mereka akan memberikan sanksi kepada anak-anak kecil di Iran," kata Rouhani.
Sanksi kepada Iran yang sepertinya sudah di depan mata membuat harga minyak bergerak naik. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis light sweet dan brent masing-masing naik 0,6%. Kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak karena terputusnya pasokan dari Iran membuat harga si emas hitam terkerek ke atas.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh penurunan pasokan dari Arab Saudi. Seorang sumber menyebutkan produksi minyak di Negeri Gurun Pasir pada Juli 2018 adalah 10,29 juta barel/hari. Jumlah ini turun 200.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Saat harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor karena potensi kenaikan laba.
Namun, pelaku pasar juga harus mencermati sentimen keempat yaitu dolar AS yang masih perkasa. Pada pukul 04:56 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,24%.
Hantu penguatan dolar AS masih bergentayangan dan belum mau pulang. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 0,89%. Sementara selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,2% dan sejak awal tahun mencapai 3,3%.
Kali ini, penguatan greenback disokong oleh perang dagang. Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya.
Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam. Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya.
Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Bisa saja rupiah menjadi salah satu korbannya. Saat rupiah melemah, investor (terutama asing) akan cenderung menghindari aset-aset berbasis mata uang ini karena ada potensi penurunan nilai pada kemudian hari. IHSG pun harus berhati-hati.
Kemudian sentimen kelima adalah dari dalam negeri yang memberi optimisme. Bank Indonesia (BI) merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2018 yang sebesar 124,8. IKK memang turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 128,1, tetapi lebih karena faktor musiman yaitu sudah berakhirnya momentum Ramadan-Idul Fitri pada Juli.
Secara YoY, IKK Juli mampu tumbuh 1,13% YoY. Lebih rendah dari pertumbuhan Juli 2017 sebesar 8,06% YoY, tetapi lagi-lagi ini juga dipengaruhi oleh faktor musiman.
Tahun lalu, Ramadan-Idul Fitri terjadi hampir selama sebulan penuh pada Juni. Sementara tahun ini, bulan puasa di tahun ini terbagi dua pada Mei dan Juni.
Alhasil, momentum Ramadan-Idul Fitri pada tahun ini sudah cukup jauh terlewati. Puncak keyakinan konsumen sudah lebih dahulu terekam pada meroketnya IKK Juni yang merupakan pencapaian tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Selain itu, kenaikan IKK Juli 2017 yang lebih tinggi secara YoY disebabkan oleh situasi 2016 yang tidak begitu baik. Saat itu, terjadi kenaikan tarif listrik Rp 8/KwH dan terjadinya tragedi di pintu keluar tol Brebes Timur (Brexit) yang membuat kepercayaan konsumen melorot. Akibatnya, terjadi kenaikan signifikan pada Juli 2017.
Keyakinan konsumen yang masih tumbuh, ditambah lagi dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2018 yang tertinggi sejak 2014, membuat saham-saham sektor barang konsumsi punya modal kuat untuk menguat. Tidak hanya itu, saham-saham yang terkait dengan keyakinan konsumen seperti sektor keuangan, properti, sampai manufaktur pun bisa terkena dampaknya. Bila terjadi, maka ini bisa mendongrak IHSG secara keseluruhan.
Sentimen keenam, masih dari dalam negeri, adalah rilis data cadangan devisa pada hari ini. Sebagai informasi, pada Juni 2018 posisi cadangan devisa Indonesia ada di angka US$ 119,8 miliar. Turun US$ 3,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Jika dihitung sejak akhir 2017, cadangan devisa RI sudah anjok hingga US$ 10,4 miliar.
Cadangan devisa terus terkuras karena menahan nilai tukar rupiah agar tidak terus terperosok. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), nilai tukar rupiah sudah anjlok di kisaran 6,7% terhadap dolar AS.
Apabila cadangan devisa Indonesia kembali tergerus dalam jumlah yang signifikan, maka hal ini mengindikasikan bahwa rupiah masih berada dalam tekanan besar. Indonesia pun akan dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal, dan ini bukan kabar baik. Investor bisa saja meninggalkan pasar keuangan Indonesia, hasilnya adalah pelemahan IHSG dan nilai tukar rupiah.
Kemarin, obat kuat dari dalam negeri yaitu data pertumbuhan ekonomi berhasil menjadi jangkar bagi pasar keuangan Indonesia. Hari ini, apakah hal serupa bisa terjadi kembali?
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,56% sementara bursa saham utama Asia cenderung melemah. Indeks Nikkei 225 turun 0,08%, Shanghai Composite terpangkas 1,26%, Kospi melemah 0,05%, Straits Times terkoreksi 0,6%, SET (Thailand) terpeleset 0,93%, dan KLCI (Malaysia) minus 0,02%.
Laju IHSG dimotori oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 yang di atas ekspektasi. Sepanjang kuartal-II, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,27% secara tahunan (year-on-year/YoY), mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,125% YoY. Capaian ini juga mengalahkan posisi kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% YoY dan posisi kuartal-II 2017 yang sebesar 5,01% YoY.
Saham-saham emiten perbankan, utamanya yang masuk dalam kategori BUKU IV, menjadi primadona bagi investor. BBNI naik 3,8%, BNGA naik 2,5%, BBRI naik 2,4%, BBCA naik 1,49%, dan BMRI naik 1,39%. Seiring kenaikan harga saham emiten-emiten perbankan, sektor jasa keuangan melesat hingga 1,73%, menjadikannya kontributor utama bagi penguatan IHSG.
Ketika ekonomi tumbuh kencang, bank-bank di Tanah Air memang menjadi salah satu pihak yang paling diuntungkan, lantaran ada potensi meningkatnya penyaluran kredit. Hal tersebut lantas mengobati kekecewaan investor terhadap penyaluran kredit yang relatif mengecewakan sepanjang semester-I 2018.
Misalnya, pada paruh pertama 2018 total penyaluran kredit BMRI tercatat sebesar Rp 762,5 triliun, naik 11,8% dibandingkan posisi periode yang sama tahun lalu. Sementara pada paruh pertama 2017, penyaluran kredit tumbuh sebesar 11,65% YoY. Ini artinya, pertumbuhan penyaluran kredit hanya naik tipis.
Sementara itu, penyaluran kredit BBNI hanya mampu tumbuh 11,1% YoY sepanjang paruh pertama 2018. Jauh lebih rendah dari capaian di paruh pertama 2017 yang sebesar 15,4% YoY.
Data pertumbuhan ekonomi juga direspons positif di pasar valuta asing. Hingga akhir perdagangan kemarin, rupiah menguat 0,17% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Di sisi lain, sentimen negatif sebenarnya berbondong-bondong datang bagi bursa saham kawasan Asia. Pertama, langkah People's Bank of China (PBoC) untuk meredam pelemahan yuan yang tidak direspons positif oleh pelaku pasar. Pada akhir pekan lalu, Bank Sentral China tersebut mengumumkan pemberlakuan kembali kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM) 20% bagi bank-bank yang menjual dolar AS kepada nasabahnya menggunakan kontrak forward. Akibatnya, biaya untuk melakukan short terhadap yuan menjadi lebih mahal.
Kebijakan ini kali pertama diadopsi pada Oktober 2015. Kala itu, yuan terdepresiasi besar-besaran selepas PBoC dengan sengaja mendevaluasinya. Namun, pada perdagangan kemarin yuan justru melemah 0,18% di pasar spot. Sementara di pasar offshore, yuan melemah 0,14%.
Kedua, perang dagang antara AS dengan China yang semakin memanas juga memberikan tekanan. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Ketiga, sentimen negatif datang dari hubungan AS-Korea Utara yang kembali tak kondusif. Laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri.
Berbagai sentimen negatif tersebut membuat bursa saham utama Asia cenderung berakhir di teritori negatif. IHSG bisa selamat, bahkan melesat, berkat rilis data pertumbuhan ekonomi.
Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan kinerja positif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,16%, S&P 500 menguat 0,35%, dan Nasdaq bertambah 0,59%.
Laju Wall Street lebih didorong oleh sentimen domestik yaitu kinerja korporasi yang solid. Dari sektor keuangan, kontributor terbesar adalah kenaikan harga saham Berkshire Hathaway yang mencapai 2,34%. Kinerja perusahaan yang dipimpin Warren Buffett ini membukukan kinerja yang solid.
Pendapatan bersih pada kuartal II-2018 meroket 181,92% secara YoY menjadi US$ 12,01 miliar. Salah satu penyebab kenaikan ini adalah pemotongan tarif pajak dari 28,9% menjadi 20%.
Sementara posisi kas dan setara kas pada akhir kuartal II-2018 adalah sebesar US$ 111,1 miliar. Dana ini bisa dipakai untuk melakukan aksi korporasi seperti akuisisi. Berkshire belum lagi melakukan akuisisi besar sejak Januari 2016 kala membeli perusahaan pembuat suku cadang pesawat terbang, Precision Castparts.
Selain Berkshire, kontributor lain terhadap laju Wall Street adalah saham Facebook yang melesat 4,45%. Emiten yang dikomandoi Mark Zuckerberg ini mendapat apresiasi investor setelah The Wall Street Journal melaporkan Facebook telah meminta data nasabah perbankan untuk meningkatkan engagement.
Data-data yang diminta oleh Facebook antara lain transaksi menggunakan kartu dan rekening nasabah. Data ini akan digunakan untuk pengembangan layanan baru. Namun Facebook menegaskan data itu tidak akan dipakai untuk tujuan iklan atau dibagikan kepada pihak ketiga.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif. Diharapkan hal ini bisa membangkitkan gairah dan optimisme bursa saham Asia sehingga mampu bangkit dari teritori negatif.
Sentimen kedua adalah perang dagang AS vs China yang masih dalam mode full throttle. Kali ini China yang membuat suasana memanas. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-sia belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Padahal, perang dagang berdampak buruk bagi China sendiri. AS adalah pasar ekspor terbesar China, sehingga ketika pasar itu sulit dimasuki maka dampaknya akan luar biasa. Akan banyak perusahaan yang merugi, bahkan mungkin terpaksa gulung tikar. Ketika aktivitas bisnis melambat, maka pertumbuhan ekonomi pun akan melandai.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa perang dagang akan membuat pertumbuhan ekonomi global pada 2020 berkurang 0,5%. Secara nominal, akan ada potensi yang hilang sebanyak US$ 500 miliar.
"Risiko dalam perang dagang adalah terhadap harga aset dan iklim investasi. Ini adalah risiko terbesar dalam jangka pendek," kata Maury Obstfeld, Kepala Ekonom IMF, mengutip Reuters.
Perkembangan perang dagang tentu masih harus membuat investor waspada. Dikhawatirkan kewaspadaan ini membuat pelaku pasar menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bila ini sampai terjadi, maka IHSG akan sulit mengulangi pencapaian kemarin. Akankah Trump sang Street Fighter mewarnai laju IHSG?
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah yang tidak kalah tegang. Presiden Iran Hassan Rouhani menolak ajakan AS untuk berunding.
Sebelumnya, Washington memang mengajak Iran untuk bernegosiasi seputar pelucutan program misil dan nuklir. Melalui negosiasi ini diharapkan Iran bisa terhindar dari sanksi.
Namun Rouhani ogah berunding. Menurutnya, Trump tidak tulus dalam perundingan ini karena punya maksud-maksud terselubung.
"Jika Anda menusuk orang dengan pisau dan kemudian ingin mengajaknya bicara, maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencabut pisaunya. Kami selalu terbuka untuk diplomasi dan perundingan, tetapi itu butuh kejujuran. Ajakan Trump hanya untuk konsumsi domestik jelang pemilu dan menciptakan kekacauan di Iran," papar Rouhani dalam sebuah wawancara televisi yang dikutip Reuters.
Rouhani menambakan, saat ini AS sudah dikucilkan oleh dunia karena kebijakan ekonomi mereka yang proteksionistik. Hal itu akan semakin parah jika AS jadi memberikan sanksi kepada Iran.
"AS akan menyesal telah memberikan sanksi kepada kami. Mereka telah dikucilkan dalam pergaulan dunia, dan kini mereka akan memberikan sanksi kepada anak-anak kecil di Iran," kata Rouhani.
Sanksi kepada Iran yang sepertinya sudah di depan mata membuat harga minyak bergerak naik. Pada pukul 04:50 WIB, harga minyak jenis light sweet dan brent masing-masing naik 0,6%. Kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak karena terputusnya pasokan dari Iran membuat harga si emas hitam terkerek ke atas.
Selain itu, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh penurunan pasokan dari Arab Saudi. Seorang sumber menyebutkan produksi minyak di Negeri Gurun Pasir pada Juli 2018 adalah 10,29 juta barel/hari. Jumlah ini turun 200.000 barel/hari dibandingkan bulan sebelumnya.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Saat harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi investor karena potensi kenaikan laba.
Namun, pelaku pasar juga harus mencermati sentimen keempat yaitu dolar AS yang masih perkasa. Pada pukul 04:56 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,24%.
Hantu penguatan dolar AS masih bergentayangan dan belum mau pulang. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 0,89%. Sementara selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,2% dan sejak awal tahun mencapai 3,3%.
Kali ini, penguatan greenback disokong oleh perang dagang. Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya.
Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam. Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya.
Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Bisa saja rupiah menjadi salah satu korbannya. Saat rupiah melemah, investor (terutama asing) akan cenderung menghindari aset-aset berbasis mata uang ini karena ada potensi penurunan nilai pada kemudian hari. IHSG pun harus berhati-hati.
Kemudian sentimen kelima adalah dari dalam negeri yang memberi optimisme. Bank Indonesia (BI) merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2018 yang sebesar 124,8. IKK memang turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 128,1, tetapi lebih karena faktor musiman yaitu sudah berakhirnya momentum Ramadan-Idul Fitri pada Juli.
Secara YoY, IKK Juli mampu tumbuh 1,13% YoY. Lebih rendah dari pertumbuhan Juli 2017 sebesar 8,06% YoY, tetapi lagi-lagi ini juga dipengaruhi oleh faktor musiman.
Tahun lalu, Ramadan-Idul Fitri terjadi hampir selama sebulan penuh pada Juni. Sementara tahun ini, bulan puasa di tahun ini terbagi dua pada Mei dan Juni.
Alhasil, momentum Ramadan-Idul Fitri pada tahun ini sudah cukup jauh terlewati. Puncak keyakinan konsumen sudah lebih dahulu terekam pada meroketnya IKK Juni yang merupakan pencapaian tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Selain itu, kenaikan IKK Juli 2017 yang lebih tinggi secara YoY disebabkan oleh situasi 2016 yang tidak begitu baik. Saat itu, terjadi kenaikan tarif listrik Rp 8/KwH dan terjadinya tragedi di pintu keluar tol Brebes Timur (Brexit) yang membuat kepercayaan konsumen melorot. Akibatnya, terjadi kenaikan signifikan pada Juli 2017.
Keyakinan konsumen yang masih tumbuh, ditambah lagi dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2018 yang tertinggi sejak 2014, membuat saham-saham sektor barang konsumsi punya modal kuat untuk menguat. Tidak hanya itu, saham-saham yang terkait dengan keyakinan konsumen seperti sektor keuangan, properti, sampai manufaktur pun bisa terkena dampaknya. Bila terjadi, maka ini bisa mendongrak IHSG secara keseluruhan.
Sentimen keenam, masih dari dalam negeri, adalah rilis data cadangan devisa pada hari ini. Sebagai informasi, pada Juni 2018 posisi cadangan devisa Indonesia ada di angka US$ 119,8 miliar. Turun US$ 3,1 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Jika dihitung sejak akhir 2017, cadangan devisa RI sudah anjok hingga US$ 10,4 miliar.
Cadangan devisa terus terkuras karena menahan nilai tukar rupiah agar tidak terus terperosok. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), nilai tukar rupiah sudah anjlok di kisaran 6,7% terhadap dolar AS.
Apabila cadangan devisa Indonesia kembali tergerus dalam jumlah yang signifikan, maka hal ini mengindikasikan bahwa rupiah masih berada dalam tekanan besar. Indonesia pun akan dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal, dan ini bukan kabar baik. Investor bisa saja meninggalkan pasar keuangan Indonesia, hasilnya adalah pelemahan IHSG dan nilai tukar rupiah.
Kemarin, obat kuat dari dalam negeri yaitu data pertumbuhan ekonomi berhasil menjadi jangkar bagi pasar keuangan Indonesia. Hari ini, apakah hal serupa bisa terjadi kembali?
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data suku bunga acuan Australia (11.30 WIB).
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode Juli 2018 (tentatif).
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Juli 2018 YoY) | 3.18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2018) | US$ 119.8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular