
Newsletter
IHSG Dikepung Perang Dagang Sampai Pertumbuhan Ekonomi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 August 2018 05:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Namun sepanjang pekan, IHSG masih mampu mencatatkan performa positif.
Akhir pekan lalu, IHSG ditutup melemah tipis 0,07%. Sementara selama sepekan, IHSG masih surplus 0,31%.
Nasib IHSG jauh lebih baik ketimbang bursa saham utama kawasan yang 'terjun bebas'. Secara mingguan, indeks Shanghai Composite amblas 4,63%, Hang Seng jatuh 3,92%, Nikkei 225 terkoreksi 0,82%, Kospi turun 0,32%, dan indeks Strait Times terpangkas 1,78%.
Sentimen negatif dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China menghantui bursa regional. Di tengah tekanan yang terus datang dari pihak AS, China tidak menunjukkan sikap gentar.
"Kami menyarankan AS memperbaiki sikap mereka dan tidak lagi melakukan pemerasan. Itu tidak akan berhasil," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters.
Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Washington malah menggertak balik dengan menyebut mendapat dukungan dari Uni Eropa dan Meksiko untuk membentuk koalisi melawan China. "Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China. Kami juga bergerak mendekati Meksiko," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu. "Kita menang, tapi harus kuat," tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter.
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat. Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pasar saham China memang telah kehilangan status sebagai bursa terbesar kedua di dunia setelah posisinya digeser oleh Jepang, kali pertama dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan kapitalisasi US$ 2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Akibat dari semakin meruncingnya tensi perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia tersebut, investor lantas cenderung bermain defensif dan melepas aset-asetnya di instrumen berisiko seperti saham. Alhasil, bursa regional pun mendapat tekanan yang besar pada perdagangan seminggu terakhir.
Sentimen negatif lainnya datang dari The Federal Reserve/The Fed yang menyuarakan nada optimistis mengenai prospek perekonomian AS, meski mempertahankan suku bunga acuan di 1,75%-2% pada pertemuan pekan lalu.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan tujuan meredam ekspektasi inflasi. Dengan begitu, AS akan terhindar dari overheating.
Namun perkembangan ini lagi-lagi membuat aliran modal tersedot ke AS. Sedangkan Asia hanya kebagian remah-remah, sehingga pasar keuangan Benua Kuning pun terjebak di zona merah.
Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,54%, S&P 500 menguat 0,46%, dan Nasdaq bertambah 0,32%. Sementara secara mingguan, DJIA menguat tipis cenderung datar di 0,04%, SPX naik 0,76%, dan Nasdaq melesat 1,35%.
Penguatan Wall Street didorong oleh kinerja emiten yang cukup memuaskan. Dari 406 emiten yang sudah menyampaikan laporan keuangan, 78,6% di antaranya mampu melampaui ekspektasi pasar.
Saham-saham teknologi menjadi kisah utama di Wall Street pekan lalu. Setelah sempat anjlok, saham-saham ini bangkit dan mampu menjadi kontributor utama bagi laju bursa sahan New York. Apalagi di indeks Nasdaq, yang banyak dihuni oleh saham-saham jenis ini.
Secara mingguan, saham Facebook naik 1,65%, Apple meroket 8,91%, Intel melejit 4,09%, dan Microsoft naik 0,33%. Dalam sepekan, indeks teknologi di DJIA menguat 0,56%, di S&P 500 naik 0,26%.
Apple menjadi emiten pertama yang menyentuh valuasi pasar US$ 1 triliun atau Rp 14.493 triliun dengan kurs saat ini. Valuasi Apple hampir sama dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pada 2017 tercatat Rp 13.588,8 triliun.
Meski Nasdaq relatif imun, tetapi DJIA dan S&P 500 sedikit banyak terimbas isu perang dagang. Saham-saham sektor industri, terutama yang mengandalkan China sebagai pasar sektor utama, melemah lumayan tajam.
Secara mingguan, saham Boeing anjlok 3,38%, Caterpillar amblas 2,84%, dan 3M turun 0,06%. Saat China bersiap mengenakan bea masuk baru, tentu bukan kabar baik bagi perusahaan-perusahaan ini.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif baik pada akhir pekan lalu maupun perdagangan seminggu terakhir. Diharapkan kinerja Wall Street mampu menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perang dagang. Seperti diketahui, China bersiap mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar. Akan ada 5.207 produk yang akan dibebankan bea masuk 5-25%. Pemberlakuan kebijakan ini tergantung langkah AS.
"AS telah berulang kali meningkatkan tensi yang bertentangan dengan kepentingan dunia usaha dan konsumen. China harus mengambil langkah yang diperlukan untuk mempertahankan martabat dan kepentingan rakyat, perdagangan bebas, serta sistem multilateral," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China.
Washington tidak gentar menghadapi ancaman Beijing. "Mereka (China) sebaiknya tidak meremehkan Presiden (Trump). Dia akan bertahan," tegas Kudlow.
AS diperkirakan semakin keras terhadap China mengingat defisit perdagangan mereka yang kian melebar. Pada Juni 2018, neraca perdagangan AS membukukan defisit US$ 46,3 miliar. Angka itu naik 7,3% dan merupakan peningkatan terbesar sejak November 2016. Ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan China naik 0,9% menjadi US$ 33,5 miliar.
Perkembangan perang dagang yang memburuk dikhawatirkan membuat investor memilih bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko di negara-negara berkembang. Bursa saham Asia bisa kehilangan daya tarik sehingga ada kemungkinan untuk kembali berkubang di teritori negatif. Tentu bukan kondisi ideal bagi IHSG.
Sentimen ketiga, masih dari eksternal, adalah hubungan AS-Korea Utara yang kembali tegang. Relasi kedua negara ini sempat mesra usai pertemuan Presiden Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura pada Juni lalu. Mereka menyepakati berbagai hal, salah satunya adalah upaya denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Namun laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri.
"Pemimpin Kim sudah berkomitmen untuk melakukan denuklirisasi. Namun mereka bertindak inkonsisten dengan komitmen itu," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters.
Pyongyang tidak terima dengan segala tuduhan tersebut. Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menegaskan negaranya berkomitmen penuh untuk memenuhi perjanjian yang tercapai di Singapura. Bahkan Ri menyebut AS yang mengada-ada dan ingin kembali ke hubungan yang tegang seperti dulu.
"Republik Rakyat Demokratik Korea menegaskan determinasi dan komitmen untuk melaksanakan kesepakatan dengan AS dengan itikad baik. Namun yang mengkhawatirkan adalah langkah AS yang seakan kembali ke hubungan seperti masa lalu, jauh dari apa yang diharapkan pemimpin kedua negara," tukas Ri, mengutip Reuters.
Apabila tensi ini tereskalasi, maka bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Aura damai di Semenanjung Korea bisa kembali memudar dan satu ketidakpastian besar akan kembali. Ketidakpastian itu bernama instabilitas geopolitik Semenanjung Korea yang bisa kapan saja berujung ke konflik bersenjata. Sesuatu yang tentu sangat tidak kita inginkan.
Keempat, masih dari luar negeri, adalah kemungkinan berlanjutnya keperkasaan dolar AS. Mata uang ini memang sudah keterlaluan, terus-menerus menguat seakan tanpa henti.
Dollar Index (yang mengukur dolar AS di hadapan enam mata uang utama), menguat 0,89% dalam sepekan terakhir. Selama 3 bulan ke belakang, penguatannya mencapai 2,6% dan sejak awal tahun sudah naik 3,3%.
Untuk hari ini, potensi apresiasi greenback bisa berasal dari data ketenagakerjaan AS. Angka pengangguran periode Juli 2018 tercatat sebesar 3,9% atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4%.
Penciptaan lapangan kerja naik 157.000. Sementara jumlah orang yang ingin mencari kerja tetapi tidak mendapatkannya atau yang bekerja paruh waktu karena tidak bisa menemukan pekerjaan penuh waktu turun 0,3 poin persentase menjadi 7,5%, terendah sejak Maret 2001. Kemudian gaji per jam rata-rata naik 0,3% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan.
Data-data ketenagakerjaan yang lumayan bagus ini bisa membuat The Fed kian yakin bahwa AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif. Kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018 semakin besar.
Ditopang potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS tentu mendapat obat kuat. Kenaikan suku bunga akan memancing arus modal berdatangan ke AS, sehingga menopang apresiasi kurs.
Penguatan dolar AS tentunya akan menekan mata uang lain, termasuk rupiah. Ketika rupiah berpotensi melemah, maka investor (terutama asing) akan menghindar karena tidak ingin nilai investasinya turun. Ini tentu semakin membuat IHSG berisiko terjebak di zona merah.
Lalu sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data ini pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 sebesar 5,125% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih cepat dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% YoY maupun kuartal II-2017 yaitu 5,01% YoY.
Momentum Ramadan-Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni diperkirakan menjadi motor pertumbuhan ekonomi RI kuartal lalu. Periode Ramadhan-Idul Fitri memang merupakan puncak dari konsumsi masyarakat Indonesia, dan sangat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,13% dan pada kuartal I-2018 sumbangsihnya naik menjadi 56,8%. Oleh karena itu, pertumbuhan kelompok ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Data pertumbuhan ekonomi kuartal lalu yang mampu melampaui ekspektasi dapat menjadi katalis bagi bursa saham domestik, seiring ada indikasinya perbaikan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, apabila datanya lebih lemah dibandingkan konsensus pasar, maka siap-siap IHSG akan mendapatkan tekanan besar.
Sentimen keenam, juga dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2018 pada hari ini. Bersama dengan data pertumbuhan ekonomi, data ini akan memberikan sinyal terkait perbaikan daya beli masyarakat.
Bank Indonesia (BI) mencatat IKK pada Juni 2018 sebesar 128,1. Naik 2,4% secara bulanan dan 4,66% YoY.
Apabila rilis data IKK menunjukkan angka yang positif, maka membaiknya daya beli masyarakat akan semakin terkonfirmasi. Apalagi, jika data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 juga positif. IHSG bisa mendapatkan suntikan energi, khususnya bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan. Namun jika IKK menunjukkan perlambatan, saham-saham di kedua sektor tadi tampaknya harus rela ditinggal oleh investor.
IHSG sepertinya dikepung banyak sentimen hari ini. Apakah IHSG bisa berakhir hijau, atau malah kembali merah seperti akhir pekan lalu?
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?
Akhir pekan lalu, IHSG ditutup melemah tipis 0,07%. Sementara selama sepekan, IHSG masih surplus 0,31%.
Nasib IHSG jauh lebih baik ketimbang bursa saham utama kawasan yang 'terjun bebas'. Secara mingguan, indeks Shanghai Composite amblas 4,63%, Hang Seng jatuh 3,92%, Nikkei 225 terkoreksi 0,82%, Kospi turun 0,32%, dan indeks Strait Times terpangkas 1,78%.
Sentimen negatif dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China menghantui bursa regional. Di tengah tekanan yang terus datang dari pihak AS, China tidak menunjukkan sikap gentar.
"Kami menyarankan AS memperbaiki sikap mereka dan tidak lagi melakukan pemerasan. Itu tidak akan berhasil," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters.
Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar produk AS. Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan bea masuk kepada US$ 200 miliar produk China. Mengutip Reuters, bea masuk yang akan diterapkan China mencakup gas alam cair hingga pesawat.
Washington malah menggertak balik dengan menyebut mendapat dukungan dari Uni Eropa dan Meksiko untuk membentuk koalisi melawan China. "Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China. Kami juga bergerak mendekati Meksiko," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu. "Kita menang, tapi harus kuat," tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter.
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat. Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pasar saham China memang telah kehilangan status sebagai bursa terbesar kedua di dunia setelah posisinya digeser oleh Jepang, kali pertama dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan kapitalisasi US$ 2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Akibat dari semakin meruncingnya tensi perang dagang antar dua raksasa ekonomi dunia tersebut, investor lantas cenderung bermain defensif dan melepas aset-asetnya di instrumen berisiko seperti saham. Alhasil, bursa regional pun mendapat tekanan yang besar pada perdagangan seminggu terakhir.
Sentimen negatif lainnya datang dari The Federal Reserve/The Fed yang menyuarakan nada optimistis mengenai prospek perekonomian AS, meski mempertahankan suku bunga acuan di 1,75%-2% pada pertemuan pekan lalu.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.
Kenaikan suku bunga acuan dilakukan dengan tujuan meredam ekspektasi inflasi. Dengan begitu, AS akan terhindar dari overheating.
Namun perkembangan ini lagi-lagi membuat aliran modal tersedot ke AS. Sedangkan Asia hanya kebagian remah-remah, sehingga pasar keuangan Benua Kuning pun terjebak di zona merah.
Dari Wall Street, tiga indeks utama menguat pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,54%, S&P 500 menguat 0,46%, dan Nasdaq bertambah 0,32%. Sementara secara mingguan, DJIA menguat tipis cenderung datar di 0,04%, SPX naik 0,76%, dan Nasdaq melesat 1,35%.
Penguatan Wall Street didorong oleh kinerja emiten yang cukup memuaskan. Dari 406 emiten yang sudah menyampaikan laporan keuangan, 78,6% di antaranya mampu melampaui ekspektasi pasar.
Saham-saham teknologi menjadi kisah utama di Wall Street pekan lalu. Setelah sempat anjlok, saham-saham ini bangkit dan mampu menjadi kontributor utama bagi laju bursa sahan New York. Apalagi di indeks Nasdaq, yang banyak dihuni oleh saham-saham jenis ini.
Secara mingguan, saham Facebook naik 1,65%, Apple meroket 8,91%, Intel melejit 4,09%, dan Microsoft naik 0,33%. Dalam sepekan, indeks teknologi di DJIA menguat 0,56%, di S&P 500 naik 0,26%.
Apple menjadi emiten pertama yang menyentuh valuasi pasar US$ 1 triliun atau Rp 14.493 triliun dengan kurs saat ini. Valuasi Apple hampir sama dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pada 2017 tercatat Rp 13.588,8 triliun.
Meski Nasdaq relatif imun, tetapi DJIA dan S&P 500 sedikit banyak terimbas isu perang dagang. Saham-saham sektor industri, terutama yang mengandalkan China sebagai pasar sektor utama, melemah lumayan tajam.
Secara mingguan, saham Boeing anjlok 3,38%, Caterpillar amblas 2,84%, dan 3M turun 0,06%. Saat China bersiap mengenakan bea masuk baru, tentu bukan kabar baik bagi perusahaan-perusahaan ini.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang positif baik pada akhir pekan lalu maupun perdagangan seminggu terakhir. Diharapkan kinerja Wall Street mampu menular ke bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perang dagang. Seperti diketahui, China bersiap mengenakan bea masuk baru bagi importasi produk AS senilai US$ 60 miliar. Akan ada 5.207 produk yang akan dibebankan bea masuk 5-25%. Pemberlakuan kebijakan ini tergantung langkah AS.
"AS telah berulang kali meningkatkan tensi yang bertentangan dengan kepentingan dunia usaha dan konsumen. China harus mengambil langkah yang diperlukan untuk mempertahankan martabat dan kepentingan rakyat, perdagangan bebas, serta sistem multilateral," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China.
Washington tidak gentar menghadapi ancaman Beijing. "Mereka (China) sebaiknya tidak meremehkan Presiden (Trump). Dia akan bertahan," tegas Kudlow.
AS diperkirakan semakin keras terhadap China mengingat defisit perdagangan mereka yang kian melebar. Pada Juni 2018, neraca perdagangan AS membukukan defisit US$ 46,3 miliar. Angka itu naik 7,3% dan merupakan peningkatan terbesar sejak November 2016. Ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan China naik 0,9% menjadi US$ 33,5 miliar.
Perkembangan perang dagang yang memburuk dikhawatirkan membuat investor memilih bermain aman dan meninggalkan instrumen berisiko di negara-negara berkembang. Bursa saham Asia bisa kehilangan daya tarik sehingga ada kemungkinan untuk kembali berkubang di teritori negatif. Tentu bukan kondisi ideal bagi IHSG.
Sentimen ketiga, masih dari eksternal, adalah hubungan AS-Korea Utara yang kembali tegang. Relasi kedua negara ini sempat mesra usai pertemuan Presiden Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura pada Juni lalu. Mereka menyepakati berbagai hal, salah satunya adalah upaya denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Namun laporan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) menyebutkan Korea Utara masih belum menghentikan program nuklir mereka. Satelit mata-mata AS juga merekam aktivitas pengembangan misil balistik yang masih berlangsung. Pyongyang pun ditengarai masih menjual senjata secara ilegal ke luar negeri.
"Pemimpin Kim sudah berkomitmen untuk melakukan denuklirisasi. Namun mereka bertindak inkonsisten dengan komitmen itu," tegas Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, dikutip dari Reuters.
Pyongyang tidak terima dengan segala tuduhan tersebut. Ri Yong Ho, Menteri Luar Negeri Korea Utara, menegaskan negaranya berkomitmen penuh untuk memenuhi perjanjian yang tercapai di Singapura. Bahkan Ri menyebut AS yang mengada-ada dan ingin kembali ke hubungan yang tegang seperti dulu.
"Republik Rakyat Demokratik Korea menegaskan determinasi dan komitmen untuk melaksanakan kesepakatan dengan AS dengan itikad baik. Namun yang mengkhawatirkan adalah langkah AS yang seakan kembali ke hubungan seperti masa lalu, jauh dari apa yang diharapkan pemimpin kedua negara," tukas Ri, mengutip Reuters.
Apabila tensi ini tereskalasi, maka bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan. Aura damai di Semenanjung Korea bisa kembali memudar dan satu ketidakpastian besar akan kembali. Ketidakpastian itu bernama instabilitas geopolitik Semenanjung Korea yang bisa kapan saja berujung ke konflik bersenjata. Sesuatu yang tentu sangat tidak kita inginkan.
Keempat, masih dari luar negeri, adalah kemungkinan berlanjutnya keperkasaan dolar AS. Mata uang ini memang sudah keterlaluan, terus-menerus menguat seakan tanpa henti.
Dollar Index (yang mengukur dolar AS di hadapan enam mata uang utama), menguat 0,89% dalam sepekan terakhir. Selama 3 bulan ke belakang, penguatannya mencapai 2,6% dan sejak awal tahun sudah naik 3,3%.
Untuk hari ini, potensi apresiasi greenback bisa berasal dari data ketenagakerjaan AS. Angka pengangguran periode Juli 2018 tercatat sebesar 3,9% atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4%.
Penciptaan lapangan kerja naik 157.000. Sementara jumlah orang yang ingin mencari kerja tetapi tidak mendapatkannya atau yang bekerja paruh waktu karena tidak bisa menemukan pekerjaan penuh waktu turun 0,3 poin persentase menjadi 7,5%, terendah sejak Maret 2001. Kemudian gaji per jam rata-rata naik 0,3% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan.
Data-data ketenagakerjaan yang lumayan bagus ini bisa membuat The Fed kian yakin bahwa AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif. Kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018 semakin besar.
Ditopang potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS tentu mendapat obat kuat. Kenaikan suku bunga akan memancing arus modal berdatangan ke AS, sehingga menopang apresiasi kurs.
Penguatan dolar AS tentunya akan menekan mata uang lain, termasuk rupiah. Ketika rupiah berpotensi melemah, maka investor (terutama asing) akan menghindar karena tidak ingin nilai investasinya turun. Ini tentu semakin membuat IHSG berisiko terjebak di zona merah.
Lalu sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data ini pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 sebesar 5,125% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih cepat dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% YoY maupun kuartal II-2017 yaitu 5,01% YoY.
Momentum Ramadan-Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni diperkirakan menjadi motor pertumbuhan ekonomi RI kuartal lalu. Periode Ramadhan-Idul Fitri memang merupakan puncak dari konsumsi masyarakat Indonesia, dan sangat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,13% dan pada kuartal I-2018 sumbangsihnya naik menjadi 56,8%. Oleh karena itu, pertumbuhan kelompok ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Data pertumbuhan ekonomi kuartal lalu yang mampu melampaui ekspektasi dapat menjadi katalis bagi bursa saham domestik, seiring ada indikasinya perbaikan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, apabila datanya lebih lemah dibandingkan konsensus pasar, maka siap-siap IHSG akan mendapatkan tekanan besar.
Sentimen keenam, juga dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2018 pada hari ini. Bersama dengan data pertumbuhan ekonomi, data ini akan memberikan sinyal terkait perbaikan daya beli masyarakat.
Bank Indonesia (BI) mencatat IKK pada Juni 2018 sebesar 128,1. Naik 2,4% secara bulanan dan 4,66% YoY.
Apabila rilis data IKK menunjukkan angka yang positif, maka membaiknya daya beli masyarakat akan semakin terkonfirmasi. Apalagi, jika data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 juga positif. IHSG bisa mendapatkan suntikan energi, khususnya bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan. Namun jika IKK menunjukkan perlambatan, saham-saham di kedua sektor tadi tampaknya harus rela ditinggal oleh investor.
IHSG sepertinya dikepung banyak sentimen hari ini. Apakah IHSG bisa berakhir hijau, atau malah kembali merah seperti akhir pekan lalu?
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2018 (11.00 WIB).
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia periode Juli 2018 (tentatif).
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Multi Agro Gemilang Plantation Tbk (MAGP) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT MNC Land Tbk (KPIG) | RUPS Tahunan | 14:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Juli 2018 YoY) | 3.18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Juni 2018) | US$ 119.8 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular