
Newsletter
Kemarin Masih Jet Lag, Bagaimana IHSG Hari Ini?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 June 2018 05:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjatuh pada perdagangan perdana seusai libur panjang Idul Fitri. Sepertinya pasar keuangan domestik masih jet lag setelah libur lebih dari sepekan.
Pada perdagangan kemarin, IHSG anjlok 1,83% ke 5.884,04. Dari sisi eksternal, sentimen negatif datang dari potensi kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed yang lebih agresif. Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali sepanjang tahun ini kian terbuka.
Sentimen ini datang kala perdagangan sedang libur. Ketika perdagangan dilanjutkan kemarin, barulah investor diberi kesempatan untuk mencerna.
Penguatan dolar AS juga membuat investor berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia. Meski pasar valas domestik kemarin masih ditutup, tetapi pasar sepertinya berekspektasi rupiah akan melemah karena greenback yang terlalu perkasa.
Akibat tren penguatan dolar AS, investor asing pun cenderung keluar dari Indonesia. Kemarin, investor asing mencatatkan jual bersih mencapai Rp 2,04 triliun.
Jet lag di pasar Indonesia begitu terlihat karena bursa saham Asia kebanyakan menikmati penguatan yang signifikan. Indeks Nikkei 225 lompat 1,24%, Shanghai Composite naik 0,31%, Hang Seng bertambah 0,77%, Kospi melonjak 1,02%, dan Straits Times melaju 0,44%.
Meredanya sentimen perang dagang AS vs China memberi kesempatan bursa saham regional untuk mengambil nafas. Sebelumnya, bursa saham Benua Kuning sempat babak belur karena AS dan China yang 'berbalas pantun', saling mengenakan bea masuk untuk memproteksi perdagangannya.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,17%, S&P 500 naik 0,17%, dan Nasdaq bertambah 0,73%.
Investor di bursa saham New York sepertinya masih bergerak hati-hati. Ini terlihat dari volume perdagangan yang tercatat melibatkan 6,63 miliar unit saham, di bawah rata-rata 20 hari terakhir yaitu 6,98%.
Isu perang dagang masih membayangi benak pelaku pasar. Akibatnya, saham-saham emiten yang banyak mengekspor produknya ke China masih cenderung dilepas. Seperti saham Oracle, pembuat perangkat lunak (software), yang anjlok sampai 7,5%.
Tidak hanya China, Uni Eropa juga sudah mengibarkan panji perang dagang dengan AS. Uni Eropa akan memberlakukan bea masuk 25% bagi berbagai produk AS karena Presiden Donald Trump telah mengenakan kebijakan serupa untuk baja dan aluminium dari Benua Biru.
Produk-produk asal AS yang akan terkena bea masuk adalah jagung manis, kacang, jins, minuman bourbon, sampai sepeda motor. Nilai perdagangan produk-produk ini mencapai US$ 3,2 miliar (Rp 45,2 triliun).
"Kami tidak menginginkan hal ini. Namun sikap AS membuat kami tidak punya pilihan lain," tegas Cecilia Malmstrom, Komisioner Perdagangan Uni Eropa, dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar masih agak ragu-ragu. Hantu perang dagang masih bergentayangan, belum sepenuhnya pergi.
Namun di sisi lain, Wall Street yang sudah cukup lama terkoreksi membuat harga aset menjadi terjangkau dan menarik untuk diborong. Beberapa saham perusahaan top terlihat diminati oleh pelaku pasar sehingga harganya naik signifikan.
Misalnya saham Boeing, yang tertekan dalam beberapa hari terakhir, mampu menguat 0,5%. Saham-saham teknologi juga mencatatkan kenaikan, seperti Facebook yang melonjak 2,3%.
Situasi ini membuat Wall Street berakhir variatif. Di satu sisi kekhawatiran perang dagang masih membekas, tetapi di sisi lain harga saham yang sudah murah menggoda untuk diborong.
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah sentimen yang perlu diperhatikan pelaku pasar. Pertama adalah perang dagang yang belum benar-benar selesai, bahkan semakin parah karena Uni Eropa sudah masuk ke gelanggang pertarungan.
Perkembangan ini bisa membuat investor tidak nyaman. Sebab, perang dagang akan mengancam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Kedua, investor juga patut mewaspadai dolar AS yang terus menguat. Pada pukul 04:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama), masih menguat 0,05%.
Kali ini, bahan bakar laku dolar AS berasal dari komentar Gubernur The Fed Jerome Powell. Berbicara dalam forum ekonomi European Central Bank (ECB) di Sintra, Portugal, Powell kembali menegaskan komitmen bank sentral untuk menaikkan suku bunga secara gradual.
"Dengan ekonomi AS yang semakin kuat, maka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap tetap kuat. Meski pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih," kata Powell, dikutip dari Reuters.
Selain itu, perang dagang juga menjadi faktor yang membuat dolar AS terapresiasi. Untuk menjaga ekspor China tetap kompetitif di tengah perang dagang, Bank Sentral Negeri Tirai Bambu menurunkan titik tengah yuan ke 6,4586 per dolar AS. Ini adalah posisi terlemah sejak 12 Januari.
Nilai tukar yang lemah membuat harga produk China menjadi lebih terjangkau di pasar global, sehingga mendukung kinerja ekspor. 'Pelemahan' yuan membuat dolar AS semakin perkasa.
Selain itu, perang dagang juga membuat harga barang-barang China yang masuk ke pasar AS menjadi mahal karena terkena bea masuk. Bila yang masuk adalah bahan baku dan barang modal, maka biaya produksi tentu akan naik dan ujungnya adalah kenaikan harga produk akhir yang dibeli konsumen. Inflasi di AS pun akan semakin tinggi.
Saat inflasi AS melaju, maka semakin kuat alasan bagi The Fed untuk lebih memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan efektif menjangkar ekspektasi inflasi.
Jika peluang pengetatan moneter yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat.
Tren penguatan dolar AS yang belum berhenti akan menjadi kabar buruk bagi mata uang lainnya, termasuk rupiah. Sepertinya rupiah bisa tertekan pada perdagangan hari ini.
Pelemahan rupiah akan membuat investasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) bisa kembali terjadi dan berdampak negatif bagi IHSG.
Harga minyak yang kembali turun juga bisa menjadi sentimen negatif. Koreksi harga minyak disebabkan oleh potensi peningkatan pasokan yang sepertinya semakin mendekati kenyataan.
Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) akan melakukan pertemuan di Wina, Austria, pada akhir pekan ini. Pelaku pasar memperkirakan salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan ini adalah rencana pengurangan pemotongan produksi.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara-negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk memotong produksi untuk mengatrol harga si emas hitam yang sempat jatuh ke level US$ 30/barel. Langkah ini terbukti ampuh dan mampu membuat harga minyak naik sampai lebih dari dua kali lipat.
Namun kini sejumlah negara ingin kebijakan itu ditinjau ulang. Setelah Arab Saudi dan Rusia, kini giliran Iran yang bersuara.
"Kepatuhan, atau harus saya katakan kepatuhan yang berlebihan, karena mencapai 150% dalam bulan-bulan terakhir. Rasanya tidak perlu sampai sebesar itu," ungkap Bijan Zanganeh, Menteri Perminyakan Iran, dalam wawancara dengan CNN.
Ke depan, sepertinya pasokan minyak akan bertambah sehingga harga terseret turun. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi.
Sementara dari dalam negeri, kode dari Bank Indonesia (BI) seputar potensi kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut sepertinya belum mendapat respons dari pelaku pasar.
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 27-28 Juni 2018 yang akan datang," sebut pernyataan BI beberapa hari lalu.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga acuan, yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan.
Kenaikan suku bunga bisa dinilai positif maupun negatif. Positifnya, BI akan dianggap responsif alias ahead the curve dalam menyikapi perkembangan global, terutama kebijakan The Fed. Dengan menaikkan suku bunga, BI tidak akan ketinggalan kereta karena The Fed juga sudah menaikkan bunga.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan karena memberikan imbalan yang lebih. Ini bisa menjadi pemanis (sweetener) bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia, sehingga pada akhirnya aliran modal ini bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga acuan juga bisa membawa dampak negatif. Kenaikan suku bunga acuan berarti sikap (stance) kebijakan moneter BI mengarah ke bias ketat. Padahal, sepertinya perekonomian Indonesia belum butuh pengetatan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 bisa dibilang mengecewakan, karena hanya 5,06%. Untuk mencapai target 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sepertinya hampir mustahil. Jika suku bunga naik, maka mencapai target ini dipastikan mustahil.
Hari ini, kemungkinan pasar akan mulai mencerna petunjuk dari BI tersebut. Apakah akan direspons positif atau negatif, layak dinantikan. Investor perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Pada perdagangan kemarin, IHSG anjlok 1,83% ke 5.884,04. Dari sisi eksternal, sentimen negatif datang dari potensi kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed yang lebih agresif. Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali sepanjang tahun ini kian terbuka.
Sentimen ini datang kala perdagangan sedang libur. Ketika perdagangan dilanjutkan kemarin, barulah investor diberi kesempatan untuk mencerna.
Penguatan dolar AS juga membuat investor berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia. Meski pasar valas domestik kemarin masih ditutup, tetapi pasar sepertinya berekspektasi rupiah akan melemah karena greenback yang terlalu perkasa.
Akibat tren penguatan dolar AS, investor asing pun cenderung keluar dari Indonesia. Kemarin, investor asing mencatatkan jual bersih mencapai Rp 2,04 triliun.
Jet lag di pasar Indonesia begitu terlihat karena bursa saham Asia kebanyakan menikmati penguatan yang signifikan. Indeks Nikkei 225 lompat 1,24%, Shanghai Composite naik 0,31%, Hang Seng bertambah 0,77%, Kospi melonjak 1,02%, dan Straits Times melaju 0,44%.
Meredanya sentimen perang dagang AS vs China memberi kesempatan bursa saham regional untuk mengambil nafas. Sebelumnya, bursa saham Benua Kuning sempat babak belur karena AS dan China yang 'berbalas pantun', saling mengenakan bea masuk untuk memproteksi perdagangannya.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,17%, S&P 500 naik 0,17%, dan Nasdaq bertambah 0,73%.
Investor di bursa saham New York sepertinya masih bergerak hati-hati. Ini terlihat dari volume perdagangan yang tercatat melibatkan 6,63 miliar unit saham, di bawah rata-rata 20 hari terakhir yaitu 6,98%.
Isu perang dagang masih membayangi benak pelaku pasar. Akibatnya, saham-saham emiten yang banyak mengekspor produknya ke China masih cenderung dilepas. Seperti saham Oracle, pembuat perangkat lunak (software), yang anjlok sampai 7,5%.
Tidak hanya China, Uni Eropa juga sudah mengibarkan panji perang dagang dengan AS. Uni Eropa akan memberlakukan bea masuk 25% bagi berbagai produk AS karena Presiden Donald Trump telah mengenakan kebijakan serupa untuk baja dan aluminium dari Benua Biru.
Produk-produk asal AS yang akan terkena bea masuk adalah jagung manis, kacang, jins, minuman bourbon, sampai sepeda motor. Nilai perdagangan produk-produk ini mencapai US$ 3,2 miliar (Rp 45,2 triliun).
"Kami tidak menginginkan hal ini. Namun sikap AS membuat kami tidak punya pilihan lain," tegas Cecilia Malmstrom, Komisioner Perdagangan Uni Eropa, dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar masih agak ragu-ragu. Hantu perang dagang masih bergentayangan, belum sepenuhnya pergi.
Namun di sisi lain, Wall Street yang sudah cukup lama terkoreksi membuat harga aset menjadi terjangkau dan menarik untuk diborong. Beberapa saham perusahaan top terlihat diminati oleh pelaku pasar sehingga harganya naik signifikan.
Misalnya saham Boeing, yang tertekan dalam beberapa hari terakhir, mampu menguat 0,5%. Saham-saham teknologi juga mencatatkan kenaikan, seperti Facebook yang melonjak 2,3%.
Situasi ini membuat Wall Street berakhir variatif. Di satu sisi kekhawatiran perang dagang masih membekas, tetapi di sisi lain harga saham yang sudah murah menggoda untuk diborong.
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah sentimen yang perlu diperhatikan pelaku pasar. Pertama adalah perang dagang yang belum benar-benar selesai, bahkan semakin parah karena Uni Eropa sudah masuk ke gelanggang pertarungan.
Perkembangan ini bisa membuat investor tidak nyaman. Sebab, perang dagang akan mengancam arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global.
Kedua, investor juga patut mewaspadai dolar AS yang terus menguat. Pada pukul 04:25 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama), masih menguat 0,05%.
Kali ini, bahan bakar laku dolar AS berasal dari komentar Gubernur The Fed Jerome Powell. Berbicara dalam forum ekonomi European Central Bank (ECB) di Sintra, Portugal, Powell kembali menegaskan komitmen bank sentral untuk menaikkan suku bunga secara gradual.
"Dengan ekonomi AS yang semakin kuat, maka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan secara bertahap tetap kuat. Meski pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih," kata Powell, dikutip dari Reuters.
Selain itu, perang dagang juga menjadi faktor yang membuat dolar AS terapresiasi. Untuk menjaga ekspor China tetap kompetitif di tengah perang dagang, Bank Sentral Negeri Tirai Bambu menurunkan titik tengah yuan ke 6,4586 per dolar AS. Ini adalah posisi terlemah sejak 12 Januari.
Nilai tukar yang lemah membuat harga produk China menjadi lebih terjangkau di pasar global, sehingga mendukung kinerja ekspor. 'Pelemahan' yuan membuat dolar AS semakin perkasa.
Selain itu, perang dagang juga membuat harga barang-barang China yang masuk ke pasar AS menjadi mahal karena terkena bea masuk. Bila yang masuk adalah bahan baku dan barang modal, maka biaya produksi tentu akan naik dan ujungnya adalah kenaikan harga produk akhir yang dibeli konsumen. Inflasi di AS pun akan semakin tinggi.
Saat inflasi AS melaju, maka semakin kuat alasan bagi The Fed untuk lebih memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga. Sebab, kenaikan suku bunga akan efektif menjangkar ekspektasi inflasi.
Jika peluang pengetatan moneter yang lebih agresif semakin besar, maka itu akan menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Kenaikan suku bunga akan membuat investor semakin tertarik dengan instrumen berbasis dolar AS karena menjanjikan keuntungan lebih. Greenback pun akan mendapat pijakan untuk menguat.
Tren penguatan dolar AS yang belum berhenti akan menjadi kabar buruk bagi mata uang lainnya, termasuk rupiah. Sepertinya rupiah bisa tertekan pada perdagangan hari ini.
Pelemahan rupiah akan membuat investasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) bisa kembali terjadi dan berdampak negatif bagi IHSG.
Harga minyak yang kembali turun juga bisa menjadi sentimen negatif. Koreksi harga minyak disebabkan oleh potensi peningkatan pasokan yang sepertinya semakin mendekati kenyataan.
Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) akan melakukan pertemuan di Wina, Austria, pada akhir pekan ini. Pelaku pasar memperkirakan salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan ini adalah rencana pengurangan pemotongan produksi.
Sejak awal 2017, OPEC dan negara-negara produsen minyak non-OPEC sepakat untuk memotong produksi untuk mengatrol harga si emas hitam yang sempat jatuh ke level US$ 30/barel. Langkah ini terbukti ampuh dan mampu membuat harga minyak naik sampai lebih dari dua kali lipat.
Namun kini sejumlah negara ingin kebijakan itu ditinjau ulang. Setelah Arab Saudi dan Rusia, kini giliran Iran yang bersuara.
"Kepatuhan, atau harus saya katakan kepatuhan yang berlebihan, karena mencapai 150% dalam bulan-bulan terakhir. Rasanya tidak perlu sampai sebesar itu," ungkap Bijan Zanganeh, Menteri Perminyakan Iran, dalam wawancara dengan CNN.
Ke depan, sepertinya pasokan minyak akan bertambah sehingga harga terseret turun. Penurunan harga minyak bukan berita baik buat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi.
Sementara dari dalam negeri, kode dari Bank Indonesia (BI) seputar potensi kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut sepertinya belum mendapat respons dari pelaku pasar.
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) 27-28 Juni 2018 yang akan datang," sebut pernyataan BI beberapa hari lalu.
Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga acuan, yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan.
Kenaikan suku bunga bisa dinilai positif maupun negatif. Positifnya, BI akan dianggap responsif alias ahead the curve dalam menyikapi perkembangan global, terutama kebijakan The Fed. Dengan menaikkan suku bunga, BI tidak akan ketinggalan kereta karena The Fed juga sudah menaikkan bunga.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan karena memberikan imbalan yang lebih. Ini bisa menjadi pemanis (sweetener) bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia, sehingga pada akhirnya aliran modal ini bisa membuat nilai tukar rupiah lebih stabil.
Namun, kenaikan suku bunga acuan juga bisa membawa dampak negatif. Kenaikan suku bunga acuan berarti sikap (stance) kebijakan moneter BI mengarah ke bias ketat. Padahal, sepertinya perekonomian Indonesia belum butuh pengetatan.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 bisa dibilang mengecewakan, karena hanya 5,06%. Untuk mencapai target 5,4% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sepertinya hampir mustahil. Jika suku bunga naik, maka mencapai target ini dipastikan mustahil.
Hari ini, kemungkinan pasar akan mulai mencerna petunjuk dari BI tersebut. Apakah akan direspons positif atau negatif, layak dinantikan. Investor perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Indo Straits Tbk (PTIS) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Primarindo Asia Infrastructure Tbk (BIMA) | RUPS Tahunan | 11:00 |
PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) | RUPSLB | 11:00 |
PT Danayasa Arthatama Tbk (SCBD) | RUPS Tahunan | 13:00 |
PT Electronic City Indonesia Tbk (ECII) | RUPS Tahunan | 14:00 |
PT Jakarta International Hotels & Development Tbk (JIHD) | RUPS Tahunan | 15:00 |
PT Malacca Trust Wuwungan Insurance Tbk (MTWI) | RUPS Tahunan | 15:00 |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 5,884.04 | (1.83) | (7.42) |
DJIA | 24,657.80 | (0.17) | (0.25) |
CSI300 | 3,635.82 | 0.41 | (9.81) |
Hang Seng | 29,696.17 | 0.77 | (0.75) |
Nikkei 225 | 22,555.43 | 1.24 | (0.92) |
Straits Times | 3,315.90 | 0.44 | (2.56) |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 13,925 | 0.00 | 4.82 |
EUR/USD | 1.16 | (0.12) | 3.66 |
GBP/USD | 1.32 | (0.02) | 4.01 |
USD/CHF | 0.99 | 0.21 | 2.43 |
USD/CAD | 1.33 | 0.20 | (0.18) |
USD/JPY | 110.38 | 0.31 | (0.90) |
AUD/USD | 0.74 | (0.17) | (2.40) |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak Light Sweet (US$/barel) | 65.95 | 1.24 | 55.06 |
Minyak Brent (US$/barel) | 74.40 | (0.99) | 65.86 |
Emas (US$/troy ons) | 1,269.52 | (0.44) | 1.86 |
CPO (MYR/ton) | 2,261.00 | (0.13) | (12.60) |
Batu bara (US$/ton) | 107.80 | (1.58) | 35.68 |
Tembaga (US$/pound) | 3.05 | (0.10) | 17.52 |
Nikel (US$/ton) | 14,891.50 | 0.00 | 66.34 |
Timah (US$/ton) | 20,375.00 | (0.63) | 4.49 |
Karet (JPY/kg) | 160.80 | 2.88 | (18.38) |
Kakao (US$/ton) | 2,540,00 | 2.92 | 41.62 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 7.07 |
10Y | 7.31 |
15Y | 7.71 |
20Y | 7.69 |
30Y | 7.90 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (Mei 2018 YoY) | 3.23 |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (Mei 2018) | US$ 122.9 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau Trump Saja Bisa Kena Covid, Apa Kabar Kita-kita?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular