Newsletter

Banjir Sentimen Positif, Keterlaluan Kalau IHSG Merah Lagi

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 May 2018 05:50
Banjir Sentimen Positif, Keterlaluan Kalau IHSG Merah Lagi
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah pada perdagangan kemarin. Di tengah situasi kondusif di bursa regional, IHSG seakan melemah sendirian. 

Pada perdagangan kemarin, IHSG melemah 0,86%. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,7 triliun dengan volume sebanyak 9 miliar saham dan frekuensi perdagangan 364.503 kali. 

Sektor jasa keuangan menjadi kontributor terbesar bagi pelemahan IHSG. Sektor ini melemah hingga 1,88% dan berkontribusi sebesar 30,7 poin dari total koreksi IHSG yang sebesar 49,5 poin. 

Dilepasnya saham-saham bank kategori BUKU IV oleh investor menjadi motor utama pelemahan sektor jasa keuangan. BBRI anjlok 6,12%, BBNI melemah 3,63%, BMRI turun 1,84%, BNGA minus 1,04%, dan BBCA terkoreksi 0,23%. 

Aksi jual atas saham-saham bank BUKU IV didorong oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Sampai dengan akhir perdagangan, rupiah melemah 0,21%. Rupiah bahkan sempat menyentuh titik terlemahnya di level Rp 14.200/US$. 

Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin ke 4,5% belum ampuh untuk meredam pelemahan nilai tukar. Sentimen eksternal, yaitu laju penguatan dolar Amerika Serikat (AS), ternyata lebih dominan dalam mewarnai pergerakan mata uang Tanah Air.  

Investor memang sedang melirik dolar AS. Sebab, pasar tengah menantikan rilis ikhtisar (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi April 2018 yang akan keluar pada Kamis dini hari waktu Indonesia.   

Bulan lalu, The Fed memang masih menahan suku bunga acuan di 1,5-1,75%. Namun investor ingin mencari petunjuk soal arah kebijakan moneter Negeri Paman Sam.  

Pelaku pasar ingin memastikan apakah The Fed benar-benar akan menempuh kenaikan suku bunga yang lebih agresif atau masih sesuai dengan perkiraan. Sembari menunggu, investor nampaknya sudah mulai ambil posisi dengan mengoleksi dolar AS.  

Sentimen ini begitu kuat sehingga menutup kebijakan kenaikan suku bunga acuan oleh BI. Lagipula sepertinya kenaikan ini sudah agak terlambat, BI mungkin sudah behind the curve.  

Pasalnya, berbagai sentimen negatif eksternal sudah semakin bertambah dan menumpuk. Pengetatan moneter di AS, kenaikan imbal hasil (yield) obligasi Negeri Paman Sam, tren apresiasi greenback, perang dagang AS-China (dan kini Jepang dikabarkan akan ikut terlibat), perjanjian nuklir Iran yang terancam kolaps, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena antreannya terlalu panjang.  

Sikap BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan sejak September 2017 dan tidak ada pertanda untuk menaikkan, sebelum pernyataan Gubernur BI Agus DW Martowardojo pada akhir April, membuat modal asing terus keluar karena tidak ada jaminan kenaikan suku bunga. Akhirnya saat kenaikan suku bunga benar-benar dieksekusi, semua sudah terlambat. 

Sebagai tambahan, investor juga nampaknya menganggap kenaikan suku bunga acuan justru berpotensi menekan perekonomian domestik yang sebenarnya belum pulih. Lebih lanjut, pelemahan rupiah yang semakin menjadi-jadi telah menimbulkan persepsi bahwa BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan sebesar 25 basis poin lagi akan sangat mungkin ikut mengerek suku bunga kredit naik. 

Masalahnya, penyaluran kredit saat ini masih lesu. Dalam kondisi suku bunga acuan yang lebih rendah seperti kemarin saja pertumbuhan kredit baru di kisaran 8%. Jika suku bunga kredit naik, maka konsumen dan pelaku usaha akan berpikir ribuan kali sebelum mengajukan pinjaman ke bank. Akibatnya, profitabilitas bank menjadi taruhannya. 

IHSG menjadi indeks saham yang seolah melemah sendirian di tengah bursa regional yang menghijau. Indeks Nikkei 225 naik 0,31%, SSEC menguat 0,66%, Hang Seng bertambah 0,6%, Kospi plus 0,2%, dan Straits Times terapresiasi 0,53%. 

AS dan China akhirnya mencapai kesepakatan terkait perdagangan. Dalam pernyataan bersama, China menyatakan bahwa mereka akan secara signifikan meningkatkan pembelian barang dan jasa dari AS. Hal ini dipercayai akan mendorong laju perekonomian dan penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam. 

Ekspor AS ke China yang akan digenjot adalah produk pertanian dan energi. Selain itu, kedua negara juga menyepakati pentingnya meningkatkan perdagangan di sektor manufaktur dan jasa. 

Walaupun belum menyebutkan angka pasti, pernyataan ini berhasil memberikan kelegaan bagi pelaku pasar dan mendorong bursa saham kawasan Asia menguat. Setidaknya ntuk beberapa waktu ke depan, isu perang dagang bisa dibuang dulu dari benak investor. 

Terlebih, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin menyebut bahwa perang dagang dengan China kini sedang ditangguhkan. Kedua negara disebutnya telah setuju untuk tidak menerapkan ancaman pengenaan bea masuk sementara keduanya membicarakan kesepakatan perdagangan yang lebih luas. 

Dari Wall Street, tiga indeks saham utama naik cukup signifikan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 1,21%, S&P 500 menguat 0,74%, dan Nasdaq bertambah 0,54%. 

'Gencatan senjata' AS-China dalam perang dagang menjadi faktor utama positifnya kinerja Wall Street. Sentimen perang dagang, yang awalnya menjadi kekhawatiran besar, kini mungkin sudah boleh dilupakan. 

"Kami menahan diri untuk tidak melakukan perang dagang. Saat ini, kami sepakat untuk tidak lagi saling menaikkan tarif selagi pembahasan kerangka kerja yang lebih substansial," ungkap Mnuchin akhir pekan lalu, seperti dikutip dari Reuters. 

Presiden AS Donald Trump juga menyambut baik itikad China yang ingin meningkatkan pembelian produk-prodk Negeri Adidaya. Eks taipan properti tersebut mengatakan langkah China akan membantu rakyat AS. 

"China sepakat untuk membeli tambahan produk pertanian dalam jumlah besar. Ini akan menjadi hal terbaik yang terjadi dalam kehidupan para petani kami!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter. 

Beijing pun sudah tidak lagi panas. Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menyatakan kesepakatan kedua negara merupakan solusi yang terbaik. 

"China tidak pernah mengharapkan peningkatan tensi dengan AS, baik dalam perdagangan atau bidang lainnya," sebut Lu. 


Untuk perdagangan hari ini, solidnya kinerja Wall Street bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Biasanya performa Wall Street akan memberi warna kepada bursa saham Asia, sehingga diharapkan virus penguatan ini bisa menular sampai ke Indonesia. 

Meredanya tensi perang dagang AS-China juga bisa menjadi katalis penggerak IHSG ke zona hijau. Ketika AS-China sudah berdamai, maka arus perdagangan dunia tidak akan terhambat. Dengan begitu, ekspor Indonesia pun bisa tetap lancar. Ini tentu bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. 

Seiring kekhawatiran perang dagang yang semakin sirna, investor pun mulai kembali berani bermain dengan aset-aset berisiko seperti saham. Aset-aset di negara berkembang, termasuk Indonesia, juga bisa menjadi pilihan.  

Lagipula, harga aset di Indonesia sudah cukup murah sehingga siap untuk diborong. Sampai kemarin, IHSG sudah anjlok 9,78% sejak awal tahun sehingga membuat harga aset menjadi lebih terjangkau. Bila aksi borong terjadi, maka bisa menjadi obat kuat bagi IHSG. 

Risk appetite yang mulai muncul juga membuat investor berpaling dari dolar AS. Akibatnya, tren penguatan greenback pun berhenti. Dollar Index yang sampai kemarin masih perkasa kini mulai lesu dengan mencatatkan koreksi 0,12%.  

Jika minat investor terhadap aset-aset di negara berkembang kembali pulih, maka dolar AS akan semakin ditinggalkan sehingga nilainya terdepresiasi. Rupiah bisa memanfaatkan peluang ini untuk kembali menguat. 

Penguatan rupiah, bila terjadi, akan berdampak positif bagi IHSG. Memegang aset berbasis rupiah akan menguntungkan saat mata uang ini terapresiasi, karena nilainya naik.  

Investor, terutama asing, berpotensi kembali masuk ketika rupiah menguat. Masuknya investor asing tentu diharapkan bisa mendongkrak IHSG ke teritori positif. 

Kemudian, faktor lain yang bisa menjadi doping penguatan IHSG adalah kenaikan harga minyak. Harga si emas hitam saat ini naik sampai lebih dari 1% ke titik tertinggi sejak 2014. 

Penyebabnya adalah perkembangan di Venezuela, setelah Nicolas Maduro kembali terpilih sebagai presiden. AS menyatakan tidak merestui rezim Maduro untuk kembali berkuasa selama 6 tahun ke depan. 

Oleh karena itu, Reuters mengabarkan bahwa Trump sudah menandatangani perintah larangan kepada warga negara AS untuk membeli aset-aset Venezuela. Hal ini bertujuan untuk membatasi ruang korupsi, sesuatu yang dituduhkan AS kepada pemerintahan Maduro. 

Jika Venezuela kesulitan memperoleh akses pembiayaan, maka akan semakin menekan perekonomian negara tersebut, yang saat ini pun sudah jatuh ke lembah krisis. Dampaknya adalah produksi dan distribusi minyak akan terganggu. 

Padahal Venezuela adalah negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Negeri yang banyak melahirkan Miss Universe ini punya cadangan minyak mencapai 300,88 miliar barel. Jumlah tersebut adalah sekitar 25% dari total cadangan Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). 

Oleh karena itu, saat produksi Venezuela terganggu maka dampaknya adalah pasokan minyak ke pasar global pun akan seret. Persepsi inilah yang menyebabkan harga minyak bergerak ke atas. 

Namun kenaikan harga minyak akan berdampak positif kepada IHSG. Biasanya emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik. 

Melimpahnya sentimen positif di pasar membuat IHSG berpotensi untuk rebound dan kembali ke zona hijau. Kalau masih terkoreksi juga, itu namanya keterlaluan... 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rapat Dengar Pendapat Laporan Inflasi Inggris antara Bank of England (BoE) dan Monetary Policy Committee (16:00).
Investor juga perlu mencermati aksi perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Multi Indocitra Tbk (MICE)RUPS Tahunan09:00
PT Bank Bukopin Tbk (BBKP)RUPS Tahunan13:00
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP)RUPS Tahunan14:00
PT Siwani Makmur Tbk (SIMA)RUPS Tahunan14:00
PT Alkindo Naratama Tbk (ALDO)RUPS Tahunan15:30
  
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:

Indeks

Close

% Change

% YTD

IHSG

5,733.85

(0.86)

(9.78)

LQ45

906.90

(1.30)

(15.98)

DJIA

24,013.29

1.21

1.19

CSI300

3,921.41

0.47

(2.72)

Hang Seng

31,234.35

0.60

4.40

NIKKEI

23,002.37

0.31

1.04

Strait Times

3,548.23

0.54

4.27


 Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang: 

Mata Uang Close% Change % YoY
USD/IDR14,180.000.216.62
EUR/USD1.180.164.95
GBP/USD1.34(0.29)3.39
USD/CHF0.99(0.07)2.44
USD/CAD1.28(0.76)(5.26)
USD/JPY111.010.250.09
AUD/USD0.760.971.52

Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:   

Komoditas Close % Change % YoY
Minyak WTI (USD/barel)72.281.4942.47
Minyak Brent (USD/barel)79.391.1547.37
Emas (USD/troy ons)1,293.310.072.63
CPO (MYR/ton)2,433.000.00(16.10)
Batu bara (USD/ton)103.35(0.72)38.17
Tembaga (USD/pound)3.081.1119.00
Nikel (USD/ton)14,688.501.1057.07
Timah (USD/ton)20,780.000.631.46
Karet (JPY/kg)183.502.23(40.71)
Kakao (USD/ton)2,615.00(2.35)28.50

Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
  
Tenor Yield (%)
 5Y7.02
10Y7.44
15Y7.82
20Y7.96
30Y7.93
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (April 2018 YoY)3.41%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (April 2018)US$ 124.9 miliar
    
TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular