Newsletter

Lagi-lagi Perang Dagang

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 March 2018 06:08
Lagi-lagi Perang Dagang
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
  • IHSG melemah 0,47% pada perdagangan kemarin.
  • Bursa utama Asia cenderung terkoreksi.
  • Wall Street berakhir di zona merah.
  • Investor mencemaskan potensi perang dagang AS vs China. 
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada perdagangan kemarin, koreksi sudah terjadi dua hari berturut-turut. Kini risiko baru sudah menanti yaitu perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China.

IHSG ditutup melemah 0,47% ke 6.382,62 poin pada perdagangan kemarin. Delapan sektor saham berakhir di zona merah, dipimpin oleh sektor pertambangan yang anjlok hingga 2,01%.
 

Koreksi indeks pertambangan didorong oleh anjloknya harga saham emiten batu bara. Keputusan pemerintah yang membatalkan sifat berlaku surut atas kontrak baru antara pengusaha dan PLN tak berhasil mendorong harga saham-saham emiten batu bara naik.  

Di pasar internasional, harga batu bara masih belum mampu menguat. Pada perdagangan kemarin, harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman bulan ini tercatat mendatar di kisaran US$ 98/ton. Jika dibandingkan dari titik tertingginya tahun ini, harga batu bara sudah terkoreksi 10,09%. 

Investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 597,01 miliar di seluruh pasar. SCMA (Rp 102,94 miliar), ASII (Rp 64,08 miliar), UNTR (Rp 63,24 miliar), BMRI (Rp 58,21 miliar), dan TLKM (Rp 57,69 miliar) merupakan saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing. 

Pelemahan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham regional yang juga ditutup terkoreksi. Indeks Nikkei 225 melemah 0,87%, Shanghai Composite turun 0,57%, Hang Seng terkoreksi 0,53%, Straits Time minus 0,4%, dan Kospi berkurang 0,34%. 

Dari sisi eksternal, tekanan bagi bursa saham regional datang dari kembali munculnya ketakutan atas perang dagang baru. Setelah isu bea masuk baja dan aluminium selesai, kini Presiden AS Donald Trump dilaporkan akan mengenakan bea masuk baru yang menyasar senilai US$ 60 miliar barang-barang impor dari China.  

Barang-barang yang akan dikenakan bea masuk tersebut adalah yang terkait dengan sektor teknologi, telekomunikasi, dan pakaian. Langkah ini diambil guna 'menghukum' China atas pencuriaan kekayaan intelektual yang dimiliki oleh korporasi asal AS. Tak sampai di situ, pemerintahan Trump juga dikabarkan berniat membatasi investasi oleh perusahaan-perusahaan asal China di AS. 

Kemudian, arah kebijakan luar negeri pemerintahan AS menjadi tak pasti seusai Trump memecat Menteri Luar Negeri Rex Tillerson dan menggantikannya dengan Mike Pompeo, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Badan Intelejen Pusat (CIA). Perlu diingat, pergantian Menteri Luar Negeri ini terjadi kala Trump dijadwalkan bertemu pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un dalam waktu dekat. Sementara Wall Street, terjadi koreksi di tiga indeks utama. Dow Jones Industrial Average turun 1%, S&P 500 melemah 0,57%, dan Nasdaq berkurang 0,19%. 

Wacana kebijakan bea masuk untuk produk-produk China demi melindungi kekayaan intelektual mulai berdampak luas, kali ini menghempas Wall Street. investor mulai mencemaskan potensi perang dagang antara Negeri Paman Sam vs Negeri Tirai Bambu. 

Investor pun melepas saham-saham emiten yang dinilai akan terdampak dari perang dagang ini. Contohnya Boeing, yang mengalami tekanan jual hingga harganya anjlok 2,5%. 

Pasar semakin cemas kala Larry Kudlow, calon Kepala Dewan Ekonomi Gedung Putih, menyatakan China pantas mendapat perlakuan keras dalam hal perdagangan. Calon pengganti Gary Cohn ini menilai China selama ini telah bermain curang. 

"Sejak lama China sudah tidak mematuhi aturan. Saya harus katakan, China perlu mendapat respons keras," tegasnya dalam wawancara dengan CNBC. 

Ketika perang dagang terjadi, maka yang paling terluka adalah ekspor AS karena dipersulit masuk ke China. Sedangkan China adalah mitra dagang utama AS. Pada 2017, China menduduki peringkat pertama di daftar mitra dagang AS dengan nilai US$ 636 miliar. 

Trump memang ingin memangkas defisit perdagangan AS dengan China yang tahun lalu mencapai US$ 375 miliar. Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, menyatakan pemerintah AS menargetkan mengurangi defisit perdagangan sebesar US$ 100 miliar.  

Caranya dengan meminta China lebih banyak membeli produk AS seperti kedelai atau pesawat terbang. Atau China mesti membuat perubahan dalam kebijakan perdagangan mereka seperti memotong subsidi kepada BUMN atau mengurangi produksi baja dan aluminium. 

Rilis data ekonomi terbaru juga membebani Wall Street. Penjualan ritel AS periode Februari 2018 tercatat turun 0,1% secara month to month, tidak sesuai dengan ekspektasi pasar yaitu tumbuh 0,3%. Penurunan ini disebabkan oleh penjualan kendaraan bermotor dan bagiannya yang lebih rendah. 

Sudah tiga bulan berturut-turut penjualan ritel AS minus secara bulanan. Ini menandakan aktivitas ekonomi di sana belum pulih sepenuhnya. Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi AS tidak sebaik perkiraan.

Dengan berakhirnya musim laporan keuangan (earnings season) di Wall Street, maka perhatian investor kini tertuju pada perkembangan di luar bursa. Data-data ekonomi maupun kebijakan pemerintah benar-benar menjadi sorotan. Untuk perdagangan hari ini, sentimen dari Wall Street akan menjadi kabar yang kurang sedap bagi bursa Asia, termasuk Indonesia. Koreksi di Wall Street bisa menjadi virus yang menular ke Asia. 

Potensi perang dagang AS-China juga bukan hal positif bagi IHSG. Kala produk China sulit masuk ke AS, maka akan menghambat produksinya. Meski targetnya adalah produk made in China, bukan tidak mungkin bahan baku produk tersebut berasal dari banyak negara termasuk Indonesia. Rantai pasok dunia (global supply chain) pun akan terganggu dan bisa menjadi sentimen negatif buat IHSG. 

Risiko ambil untung alias profit taking juga masih harus diwaspadai. Meski terkoreksi selama 2 hari perdagangan berturut-turut, IHSG masih menyimpan "tabungan" penguatan 0,42% sejak awal tahun. Masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor kapan saja.

Pasar juga menantikan rilis data perdagangan internasional periode Februari 2018 yang akan dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, pertumbuhan ekspor Februari 2018 diperkirakan 12,35% year on year (YoY) sementara impor naik 25,19% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan diramalkan mengalami defisit US$ 111,8 juta.

Bila ini terealisasi, maka neraca perdagangan Indonesia sudah defisit selama tiga bulan berturut-turut. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG, dan juga nilai tukar rupiah.

Sementara sentimen positif yang bisa membuat IHSG kembali ke jalur hijau adalah perkembangan harga minyak. Harga si emas hitam mulai merangkak naik setelah terkoreksi akibat kekhawatiran melimpahnya pasokan minyak AS. Ini bisa menjadi angin segar bagi emiten pertambangan yang tengah mengalami tekanan jual. 

Namun kenaikan harga minyak masih rapuh, karena bagaimanapun pasokan minyak AS cukup melimpah. Pada pekan kedua Maret, cadangan minyak Negeri Paman Sam bertambah 5 juta barel, lebih tinggi dari estimasi pasar yaitu 2 juta barel. 

Kinerja emiten yang masih solid juga bisa mendukung kenaikan IHSG. Laba bersih WEGE naik 104,3% menjadi Rp 287,09 miliar pada akhir 2017. Sementara laba TLKM naik 14,41% ke Rp 22,15 triliun. 

Kemudian, IHSG sudah terjerembab di zona merah selama dua hari terakhir. Harga aset yang lebih murah bisa mendorong aksi borong yang menaikkan IHSG.

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pertemuan dengan pimpinan perbankan nasional (09.00 WIB).
  • Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) WOMF (09.00 WIB).
  • Komisi XI DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan membahas penerimaan negara (10.00 WIB).
  • Rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2018 (11.00 WIB).
  • Rilis data indeks manufaktur AS periode Maret 2018 (19.30).
  • Rilis data klaim pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 9 Maret (19.30).
Berikut perkembangan sejumlah bursa utama dunia:
Lagi-lagi Perang Dagang
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Lagi-lagi Perang Dagang
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Lagi-lagi Perang Dagang
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Lagi-lagi Perang Dagang
Berikut sejumlah indikator perekonomian Indonesia:
Lagi-lagi Perang Dagang

(aji/aji) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular