
Polling CNBC Indonesia
Konsensus: Neraca Perdagangan Februari Defisit US$ 111,8 Juta
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 March 2018 15:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2018 diperkirakan masih mengalami defisit. Jika ini terealisasi, maka defisit neraca perdagangan sudah terjadi selama tiga bulan berturut-turut.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional periode Februari 2018 esok hari. Menurut konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia, pelaku pasar memperkirakan ekspor tumbuh 12,35% secara year on year (YoY) dan impor tumbuh 25,19% YoY. Akibat pertumbuhan impor yang jauh melampaui ekspor, maka neraca perdagangan diperkirakan mengalami defisit tipis US$ 111,8 juta.
Pada dua bulan sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami defisit. Neraca perdagangan Desember 2017 membukukan defisit US$ 270 juta, dan bulan lalu defisit perdagangan melebar menjadi US$ 680 juta.
Fakhrul Fulvian, Ekonom Trimegah Sekuritas, mengatakan ekspor memang belum melaju kencang pada awal tahun. Namun di sisi lain impor justru sudah tinggi mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang membaik tahun ini.
Meski impor tumbuh tinggi, lanjut Fakhrul, tetapi lajunya tertahan karena perkembangan harga minyak. Pada Februari lalu, harga minyak memang cenderung menurun.
"Aktivitas perdagangan memang biasanya belum kencang pada Februari. Namun harga minyak yang agak turun pada bulan lalu membantu neraca perdagangan agar tidak defisit terlalu dalam," sebut Fakhrul.
Perlu Diwaspadai
Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan neraca perdagangan akan kembali mengalami defisit. Agus DW Martowardojo, Gubernur BI, mengatakan impor (terutama bahan baku) sudah meningkat sejak akhir tahun lalu.
"Sejak Desember, impor sudah tinggi dan banyak dikontribusikan oleh bahan baku. Ini akan terus meningkat dan diperkirakan Februari neraca perdagangan kita defisit, tapi tidak sebesar Januari," papar Agus.
Tingginya impor, lanjut Agus, disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2018. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5,1-5,5%, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,07%.
Akibatnya, defisit transaksi berjalan akan melebar. Pada 2017, defisit transaksi berjalan tercatat 1,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan tahun diperkirakan naik menjadi 2,1% PDB.
"Ini sesuatu yang perlu diwaspadai," tegas Agus.
Tingginya impor menjadi salah satu faktor yang menekan nilai tukar rupiah, karena keluarnya devisa ke luar negeri. Secara point to point, rupiah melemah 2,29% selama Februari 2018.
Penyakit
Indonesia memiliki "penyakit" yang belum kunjung sembuh. Setiap kali laju pertumbuhan ekonomi terakselerasi, selalu saja diikuti oleh lonjakan impor. Ini menyebabkan neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan mengalami defisit, dan bahkan cenderung melebar.
Situasi seperti ini pernah terjadi pada 2013. Pertumbuhan ekonomi 2013 cukup moncer, pada akhir tahun mencapai 5,78%. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh harga komoditas yang naik seiring kenaikan harga minyak dunia.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan pasokan bahan baku dan barang modal agar dunia usaha bisa menaikkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Namun ini belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri sehingga impor pun melonjak. Tingginya impor membuat neraca perdagangan rentan mengalami defisit, dan kemudian menular ke transaksi berjalan.
Pada kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$ 10,1 miliar atau 4,4% dari PDB. Defisit di transaksi berjalan menandakan devisa yang keluar dari Indonesia lebih banyak ketimbang yang masuk.
Minimnya sokongan devisa membuat rupiah melemah cukup dalam. Pada awal 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di kisaran Rp 9.800/US$. Rupiah terus melemah dan pada akhir tahun nyaris mencapai Rp 12.200/US$.
Pelajaran yang bisa dipetik adalah Indonesia perlu melirik kembali industrialisasi, terutama industri substitusi impor. Ini perlu dilakukan agar setiap kali ekonomi tumbuh Indonesia tidak perlu mengimpor ini-itu yang menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/wed)
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional periode Februari 2018 esok hari. Menurut konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia, pelaku pasar memperkirakan ekspor tumbuh 12,35% secara year on year (YoY) dan impor tumbuh 25,19% YoY. Akibat pertumbuhan impor yang jauh melampaui ekspor, maka neraca perdagangan diperkirakan mengalami defisit tipis US$ 111,8 juta.
Pada dua bulan sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami defisit. Neraca perdagangan Desember 2017 membukukan defisit US$ 270 juta, dan bulan lalu defisit perdagangan melebar menjadi US$ 680 juta.
![]() |
Meski impor tumbuh tinggi, lanjut Fakhrul, tetapi lajunya tertahan karena perkembangan harga minyak. Pada Februari lalu, harga minyak memang cenderung menurun.
![]() |
Perlu Diwaspadai
Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan neraca perdagangan akan kembali mengalami defisit. Agus DW Martowardojo, Gubernur BI, mengatakan impor (terutama bahan baku) sudah meningkat sejak akhir tahun lalu.
"Sejak Desember, impor sudah tinggi dan banyak dikontribusikan oleh bahan baku. Ini akan terus meningkat dan diperkirakan Februari neraca perdagangan kita defisit, tapi tidak sebesar Januari," papar Agus.
Tingginya impor, lanjut Agus, disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2018. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5,1-5,5%, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,07%.
Akibatnya, defisit transaksi berjalan akan melebar. Pada 2017, defisit transaksi berjalan tercatat 1,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan tahun diperkirakan naik menjadi 2,1% PDB.
"Ini sesuatu yang perlu diwaspadai," tegas Agus.
Tingginya impor menjadi salah satu faktor yang menekan nilai tukar rupiah, karena keluarnya devisa ke luar negeri. Secara point to point, rupiah melemah 2,29% selama Februari 2018.
![]() |
Penyakit
Indonesia memiliki "penyakit" yang belum kunjung sembuh. Setiap kali laju pertumbuhan ekonomi terakselerasi, selalu saja diikuti oleh lonjakan impor. Ini menyebabkan neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan mengalami defisit, dan bahkan cenderung melebar.
Situasi seperti ini pernah terjadi pada 2013. Pertumbuhan ekonomi 2013 cukup moncer, pada akhir tahun mencapai 5,78%. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh harga komoditas yang naik seiring kenaikan harga minyak dunia.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan pasokan bahan baku dan barang modal agar dunia usaha bisa menaikkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Namun ini belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri sehingga impor pun melonjak. Tingginya impor membuat neraca perdagangan rentan mengalami defisit, dan kemudian menular ke transaksi berjalan.
Pada kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$ 10,1 miliar atau 4,4% dari PDB. Defisit di transaksi berjalan menandakan devisa yang keluar dari Indonesia lebih banyak ketimbang yang masuk.
Minimnya sokongan devisa membuat rupiah melemah cukup dalam. Pada awal 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di kisaran Rp 9.800/US$. Rupiah terus melemah dan pada akhir tahun nyaris mencapai Rp 12.200/US$.
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/wed)
Tags
Related Articles
Most Popular
Recommendation
