
Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: Suku Bunga Acuan Diperkirakan Masih 4,25%
Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 February 2018 13:51

Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia (BI) dijadwalkan mengumumkan suku bunga acuan pada esok hari. Pasar memperkirakan BI masih mempertahankan suku bunga acuan di 4,25%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia mengungkapkan pelaku pasar berekspektasi BI 7 days reverse repo rate belum akan diubah. Dari 16 ekonom dan analis yang terlibat, seluruhnya kompak memperkirakan suku bunga acuan masih dipertahankan 4,25%.
Bila BI memutuskan menahan suku bunga, maka angka 4,25% sudah bertahan sejak September 2017. Sejak BI 7 days reverse repo rate diperkenalkan menggantikan BI Rate, suku bunga acuan sudah dipangkas 125 basis poin.
“Pertemuan bank sentral di Indonesia kemungkinan besar tidak akan memberikan kejutan. Bank sentral diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan,” sebut Joey Cuyugkeng, Ekonom ING.
Angela Hsieh, Ekonom Barclays, menyebutkan belum ada kebutuhan untuk mengubah BI 7 days reverse repo rate. Suku bunga saat ini masih memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjangkar ekspektasi inflasi.
“Kami memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan. Sejauh ini ekonomi masih tumbuh dan inflasi masih moderat,” kata Hsieh.
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS, menambahkan ruang pelonggaran moneter di Indonesia sudah semakin sempit. Apalagi BI juga dihadapkan pada volatilitas di pasar keuangan, sehingga nilai tukar rupiah perlu menjadi pertimbangan dalam penentuan suku bunga.
“Meski tekanan inflasi relatif lunak pada awal tahun, BI tetap akan mewaspadai risiko ke depan. Terutama koreksi dalam di pasar keuangan,” tuturnya.
Eugenia Fabon Victorino, Ekonom ANZ, mengemukakan pendapat senada. Bahkan dia menilai sikap (stance) kebijakan BI tetap akan netral dalam waktu yang cukup lama.
“Kami perkirakan BI masih akan menahan suku bunga acuan pada Kamis pekan ini. Stance kebijakan BI yang netral bahkan kemungkinan masih dipertahankan sepanjang 2018,” sebutnya.
Katrina Ell, Ekonom Moody’s, mengatakan pilihan menahan suku bunga acuan adalah yang paling tepat dalam situasi saat ini. Indonesia masih dihadapkan pada risiko inflasi, terutama bahan pangan sehingga praktis sulit menempuh pelonggaran moneter.
“Harga beras, komoditas pangan terpenting di Indonesia, naik 6,1% dalam beberapa bulan terakhir. Ada kemungkinan inflasi bisa meleset dari target yang ditetapkan bank sentral,” sebut Ell.
Selain faktor domestik, lanjut Ell, ada pula tekanan dari eksternal yang menyebabkan manuver suku bunga acuan menjadi terbatas. Tekanan itu adalah potensi kenaikan suku bunga global yang membuat ruang pelonggaran moneter sangat sempit.
“Risiko eksternal terlalu berat bagi Indonesia untuk melonggarkan kebijakan moneter. Rupiah sudah cukup mendapat tekanan,” tegasnya.
Ruang Sempit
Sebelumnya, BI mengakui bahwa ruang pelonggaran moneter memang sudah semakin sempit. Hal ini dikatakan langsung oleh sang gubernur Agus DW Martowardojo.
“Kami lihat, meneruskan easing sudah sangat terbatas. Saya katakan, potensi untuk melanjutkan easing sudah tipis,” ungkapnya pekan lalu.
Bagi BI, lanjut Agus, kebijakan yang masih bisa dilakukan adalah di bidang makroprudensial. Hal ini sudah dilakukan pada 2016 dengan melonggarkan aturan uang muka rumah. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan suku bunga yang sekarang, Agus menilai Indonesia masih menarik di mata investor. Sehingga tidak perlu ada kekhawatiran arus modal keluar (capital outflow).
“Indonesia masih menjadi negara atraktif untuk Foreign Direct Investment (FDI). Jadi ini adalah ekspresi kepercayaan atas ekonomi Indonesia,” katanya.
Sementara di tingkat global, tren kenaikan suku bunga sepertinya sudah di depan mata. Pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju menyebabkan bank sentral cepat atau lambat akan mengetatkan kebijakan moneter. Bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga tiga kali pada tahun ini.
Namun Presiden The Fed New York William Dudley mengungkapkan perekonomian Negeri Paman Sam pulih cukup kuat di atas perkiraan. Oleh karena itu, Dudley membuka kemungkinan untuk kenaikan yang lebih besar lagi.
Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, memperkirakan suku bunga acuan AS naik 50-75 basis poin pada tahun ini. Ekspektasi ini mendorong aksi jual di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, Josua memandang suku bunga acuan 4,25 masih relevan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI juga punya amunisi lain untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi selain suku bunga, yaitu kebijakan makroprudensial dan Giro Wajib Minimum (GWM).
“Mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan AS, yang diikuti dengan pengurangan stimulus moneter di Jepang dan Eropa, BI 7 days reverse repo rate kami perkirakan tetap 4,25% hingga akhir tahun ini,” sebut Josua.
(aji/aji)
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia mengungkapkan pelaku pasar berekspektasi BI 7 days reverse repo rate belum akan diubah. Dari 16 ekonom dan analis yang terlibat, seluruhnya kompak memperkirakan suku bunga acuan masih dipertahankan 4,25%.
Bila BI memutuskan menahan suku bunga, maka angka 4,25% sudah bertahan sejak September 2017. Sejak BI 7 days reverse repo rate diperkenalkan menggantikan BI Rate, suku bunga acuan sudah dipangkas 125 basis poin.
![]() |
“Pertemuan bank sentral di Indonesia kemungkinan besar tidak akan memberikan kejutan. Bank sentral diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan,” sebut Joey Cuyugkeng, Ekonom ING.
Angela Hsieh, Ekonom Barclays, menyebutkan belum ada kebutuhan untuk mengubah BI 7 days reverse repo rate. Suku bunga saat ini masih memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjangkar ekspektasi inflasi.
“Kami memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan. Sejauh ini ekonomi masih tumbuh dan inflasi masih moderat,” kata Hsieh.
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS, menambahkan ruang pelonggaran moneter di Indonesia sudah semakin sempit. Apalagi BI juga dihadapkan pada volatilitas di pasar keuangan, sehingga nilai tukar rupiah perlu menjadi pertimbangan dalam penentuan suku bunga.
“Meski tekanan inflasi relatif lunak pada awal tahun, BI tetap akan mewaspadai risiko ke depan. Terutama koreksi dalam di pasar keuangan,” tuturnya.
Eugenia Fabon Victorino, Ekonom ANZ, mengemukakan pendapat senada. Bahkan dia menilai sikap (stance) kebijakan BI tetap akan netral dalam waktu yang cukup lama.
“Kami perkirakan BI masih akan menahan suku bunga acuan pada Kamis pekan ini. Stance kebijakan BI yang netral bahkan kemungkinan masih dipertahankan sepanjang 2018,” sebutnya.
Katrina Ell, Ekonom Moody’s, mengatakan pilihan menahan suku bunga acuan adalah yang paling tepat dalam situasi saat ini. Indonesia masih dihadapkan pada risiko inflasi, terutama bahan pangan sehingga praktis sulit menempuh pelonggaran moneter.
“Harga beras, komoditas pangan terpenting di Indonesia, naik 6,1% dalam beberapa bulan terakhir. Ada kemungkinan inflasi bisa meleset dari target yang ditetapkan bank sentral,” sebut Ell.
Selain faktor domestik, lanjut Ell, ada pula tekanan dari eksternal yang menyebabkan manuver suku bunga acuan menjadi terbatas. Tekanan itu adalah potensi kenaikan suku bunga global yang membuat ruang pelonggaran moneter sangat sempit.
“Risiko eksternal terlalu berat bagi Indonesia untuk melonggarkan kebijakan moneter. Rupiah sudah cukup mendapat tekanan,” tegasnya.
Ruang Sempit
Sebelumnya, BI mengakui bahwa ruang pelonggaran moneter memang sudah semakin sempit. Hal ini dikatakan langsung oleh sang gubernur Agus DW Martowardojo.
“Kami lihat, meneruskan easing sudah sangat terbatas. Saya katakan, potensi untuk melanjutkan easing sudah tipis,” ungkapnya pekan lalu.
Bagi BI, lanjut Agus, kebijakan yang masih bisa dilakukan adalah di bidang makroprudensial. Hal ini sudah dilakukan pada 2016 dengan melonggarkan aturan uang muka rumah. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan suku bunga yang sekarang, Agus menilai Indonesia masih menarik di mata investor. Sehingga tidak perlu ada kekhawatiran arus modal keluar (capital outflow).
“Indonesia masih menjadi negara atraktif untuk Foreign Direct Investment (FDI). Jadi ini adalah ekspresi kepercayaan atas ekonomi Indonesia,” katanya.
Sementara di tingkat global, tren kenaikan suku bunga sepertinya sudah di depan mata. Pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju menyebabkan bank sentral cepat atau lambat akan mengetatkan kebijakan moneter. Bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga tiga kali pada tahun ini.
Namun Presiden The Fed New York William Dudley mengungkapkan perekonomian Negeri Paman Sam pulih cukup kuat di atas perkiraan. Oleh karena itu, Dudley membuka kemungkinan untuk kenaikan yang lebih besar lagi.
Josua Pardede, Ekonom Bank Permata, memperkirakan suku bunga acuan AS naik 50-75 basis poin pada tahun ini. Ekspektasi ini mendorong aksi jual di pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, Josua memandang suku bunga acuan 4,25 masih relevan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI juga punya amunisi lain untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi selain suku bunga, yaitu kebijakan makroprudensial dan Giro Wajib Minimum (GWM).
“Mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan AS, yang diikuti dengan pengurangan stimulus moneter di Jepang dan Eropa, BI 7 days reverse repo rate kami perkirakan tetap 4,25% hingga akhir tahun ini,” sebut Josua.
(aji/aji)
Tags
Related Articles
Most Popular
Recommendation
