
Polling CNBC Indonesia
Konsensus Pasar: Inflasi Januari 0,71% MtM, 3,36% YoY
Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
31 January 2018 16:17

Jakarta, CNBC Indonesia – Kenaikan harga pangan diperkirakan mewarnai inflasi Januari 2018. Meski terjadi inflasi, tetapi kebijakan moneter dinilai belum perlu diubah.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan angka inflasi Januari 2018 pada esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Januari 2018 sebesar 0,71% secara bulanan (month to month/MtM) dan 3,36% secara tahunan (year on year/YoY). Untuk inflasi inti, secara tahunan diperkirakan 2,8%.
“Kami memperkirakan tekanan inflasi masih cukup besar pada Januari 2018 disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan misalnya beras, cabai merah, daging ayam, telur ayam, daging sapi, tepung gandum, dan susu,” papar Juniman, Ekonom Maybank Indonesia, Rabu (31/1/2018).
Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga beras medium sepanjang Januari 2018 naik 1,26% secara nasional. Sementara harga cabai merah naik 7,49%.
Selain harga pangan, lanjut Juniman, inflasi juga disumbangkan barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered prices). Di antaranya adalah kenaikan tarif cukai rokok dan tarif jalan tol.
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS, menyatakan inflasi harga pangan kemungkinan akan terjadi selama kuartal I-2018. Cuaca yang kurang bersahabat dengan curah hujan yang cukup tinggi bisa mengganggu produksi dan distribusi bahan pangan.
Meski demikian, ada beberapa faktor yang menahan laju inflasi. Juniman mencontohkan tarif angkutan udara dan kereta api turun selepas musim liburan Natal dan Tahun Baru. Gundy juga menyebut pernyataan pemerintah mengenai tidak adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik ikut menjaga ekspektasi inflasi.
Kebijakan Moneter
Fakhrul Fulvian, Ekonom Trimegah Sekuritas, menggarisbawahi mengenai inflasi inti. Menurutnya, perkembangan inflasi inti belum mencerminkan pemulihan ekonomi yang stabil.
“Kita menunggu sign perbaikan ekonomi dari core inflation yang seharusnya sudah meningkat,” tegasnya. Oleh karena itu, Fakhrul menilai belum ada urgensi bagi Bank Indonesia untuk mengubah posisi kebijakan moneter.
Inflasi inti Indonesia memang terus dalam tren menurun. Bahkan kini inflasi inti melambat ke kisaran 2%, dari level 3% pada tahun-tahun sebelumnya.
Inflasi inti menunjukkan pergerakan harga barang dan jasa yang persisten (sulit naik-turun). Salah satu fenomena yang bisa dipotret dari perlambatan inflasi inti adalah lemahnya daya beli masyarakat.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus DW Martowardojo memperkirakan inflasi Januari 2018 sebesar 0,73% bulanan dan 3,38% tahunan. Dia juga mengakui bahwa ruang pelonggaran moneter sudah semakin sempit.
“Ruang pelonggaran policy rate sudah tipis dan tidak besar. Kami bisa respons dengan kebijakan makroprudensial,” ungkap Agus pekan lalu.
Saat ini suku bunga acuan yang digunakan adalah BI 7 days reverse repo rate. Suku bunga ini mulai diterapkan pada Agustus 2016 menggantikan BI Rate.
Sejak diperkenalkan, BI 7 days repo rate bergerak cenderung menurun. Kini posisi suku bunga acuan adalah 4,25%, bertahan sejak September 2017.
Bank sentral menilai bahwa suku bunga acuan 4,25% sudah sejalan dengan tujuan menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi. Kebijakan BI tetap netral, dan peluang untuk pelonggaran moneter semakin menipis.
Bila BI hendak mendorong daya beli, maka semestinya langkah yang ditempuh memang pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan. Namun peluang ini sangat terbatas.
Selain menjaga inflasi, BI juga diberi mandat mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah. Suku bunga sangat terkait dengan kurs.
Jika suku bunga diturunkan, maka Indonesia menjadi kurang kompetitif karena tren kenaikan suku bunga global sudah di depan mata. Ketika suku bunga di Amerika Serikat (AS), Jepang, atau Eropa naik sementara di Indonesia turun, maka aliran modal akan keluar dari Indonesia karena dinilai kurang menarik. Pasokan valas di dalam negeri bisa berkurang, dan menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah.
Oleh karena itu, BI memilih kebijakan makroprudensial untuk mendorong daya beli. Misalnya dengan kebijakan loan to value atau uang muka kredit perumahan. Awalnya, uang muka yang harus dibayar konsumen untuk rumah pertama adalah 20% dan kemudian diturunkan menjadi 15%.
(aji/aji)
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan angka inflasi Januari 2018 pada esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Januari 2018 sebesar 0,71% secara bulanan (month to month/MtM) dan 3,36% secara tahunan (year on year/YoY). Untuk inflasi inti, secara tahunan diperkirakan 2,8%.
![]() |
“Kami memperkirakan tekanan inflasi masih cukup besar pada Januari 2018 disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan misalnya beras, cabai merah, daging ayam, telur ayam, daging sapi, tepung gandum, dan susu,” papar Juniman, Ekonom Maybank Indonesia, Rabu (31/1/2018).
Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga beras medium sepanjang Januari 2018 naik 1,26% secara nasional. Sementara harga cabai merah naik 7,49%.
![]() |
Selain harga pangan, lanjut Juniman, inflasi juga disumbangkan barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered prices). Di antaranya adalah kenaikan tarif cukai rokok dan tarif jalan tol.
Gundy Cahyadi, Ekonom DBS, menyatakan inflasi harga pangan kemungkinan akan terjadi selama kuartal I-2018. Cuaca yang kurang bersahabat dengan curah hujan yang cukup tinggi bisa mengganggu produksi dan distribusi bahan pangan.
Meski demikian, ada beberapa faktor yang menahan laju inflasi. Juniman mencontohkan tarif angkutan udara dan kereta api turun selepas musim liburan Natal dan Tahun Baru. Gundy juga menyebut pernyataan pemerintah mengenai tidak adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik ikut menjaga ekspektasi inflasi.
Kebijakan Moneter
Fakhrul Fulvian, Ekonom Trimegah Sekuritas, menggarisbawahi mengenai inflasi inti. Menurutnya, perkembangan inflasi inti belum mencerminkan pemulihan ekonomi yang stabil.
“Kita menunggu sign perbaikan ekonomi dari core inflation yang seharusnya sudah meningkat,” tegasnya. Oleh karena itu, Fakhrul menilai belum ada urgensi bagi Bank Indonesia untuk mengubah posisi kebijakan moneter.
Inflasi inti Indonesia memang terus dalam tren menurun. Bahkan kini inflasi inti melambat ke kisaran 2%, dari level 3% pada tahun-tahun sebelumnya.
Inflasi inti menunjukkan pergerakan harga barang dan jasa yang persisten (sulit naik-turun). Salah satu fenomena yang bisa dipotret dari perlambatan inflasi inti adalah lemahnya daya beli masyarakat.
![]() |
Sebelumnya, Gubernur BI Agus DW Martowardojo memperkirakan inflasi Januari 2018 sebesar 0,73% bulanan dan 3,38% tahunan. Dia juga mengakui bahwa ruang pelonggaran moneter sudah semakin sempit.
“Ruang pelonggaran policy rate sudah tipis dan tidak besar. Kami bisa respons dengan kebijakan makroprudensial,” ungkap Agus pekan lalu.
Saat ini suku bunga acuan yang digunakan adalah BI 7 days reverse repo rate. Suku bunga ini mulai diterapkan pada Agustus 2016 menggantikan BI Rate.
Sejak diperkenalkan, BI 7 days repo rate bergerak cenderung menurun. Kini posisi suku bunga acuan adalah 4,25%, bertahan sejak September 2017.
![]() |
Bank sentral menilai bahwa suku bunga acuan 4,25% sudah sejalan dengan tujuan menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi. Kebijakan BI tetap netral, dan peluang untuk pelonggaran moneter semakin menipis.
Bila BI hendak mendorong daya beli, maka semestinya langkah yang ditempuh memang pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan. Namun peluang ini sangat terbatas.
Selain menjaga inflasi, BI juga diberi mandat mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah. Suku bunga sangat terkait dengan kurs.
Jika suku bunga diturunkan, maka Indonesia menjadi kurang kompetitif karena tren kenaikan suku bunga global sudah di depan mata. Ketika suku bunga di Amerika Serikat (AS), Jepang, atau Eropa naik sementara di Indonesia turun, maka aliran modal akan keluar dari Indonesia karena dinilai kurang menarik. Pasokan valas di dalam negeri bisa berkurang, dan menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah.
Oleh karena itu, BI memilih kebijakan makroprudensial untuk mendorong daya beli. Misalnya dengan kebijakan loan to value atau uang muka kredit perumahan. Awalnya, uang muka yang harus dibayar konsumen untuk rumah pertama adalah 20% dan kemudian diturunkan menjadi 15%.
(aji/aji)