
Wawancara Pefindo: Buka-bukaan Soal Asing Incar Bisnis Rating
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
28 January 2019 09:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Penerbitan obligasi korporasi menjadi salah satu strategi alternatif bagi perusahaan guna mendanai ekspansi bisnis, selain mengandalkan kas dan pinjaman bank.
Posisi lembaga rating menjadi krusial karena sebelum surat utang (obligasi) ditawarkan, mesti mendapat rating dari perusahaan pemeringkat, apakah masuk kategori layak investasi (investment grade) atau berpotensi gagal bayar (default).
Rating menjadi patokan bagi penerbit dalam menetapkan kupon obligasi yang ditawarkan kepada investor. Bagi investor, rating jadi pertimbangan untuk membeli atau tidak obligasi tersebut.
Di Indonesia, salah satu lembaga rating yang menjadi rujukan adalah PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Tahun ini, Pefindo memprediksi pasar obligasi korporasi cenderung stagnan. Bagaimana prospek penerbitan obligasi tahun ini dan seberapa menarik bisnis pemeringkatan?
Untuk lebih jelasnya, jurnalis CNBC Indonesia, Yanurisa Ananta mewawancarai Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra di kantornya, Kamis, 3 Januari 2019. Berikut wawancaranya:
Tahun lalu, penerbitan obligasi korporasi turun drastis menjadi Rp 113 triliun. Padahal 2017 tembus Rp 166 triliun. Apa faktornya?
Penurunan terutama karena tingkat suku bunga naik. Peak penerbitan itu, dari segi kupon, memang di awal-awal tahun, first quarter. Semester satu masih bagus. Tapi karena suku bunga Bank Indonesia, BI 7-Day Repo Rate, yang menjadi benchmark itu, menyebabkan kupon obligasi akhirnya naik, bisa sampai 2% atau 200 basis poin (bps).
Bila kupon obligasi naik, minat perusahaan terbitkan bond berkurang?
Selalu, yang namanya kupon naik itu akan mengurangi minat emiten untuk menerbitkan obligasi karena mereka akan terkena kupon yang lebih tinggi untuk masa tenor dari obligasi. Jadi mereka akhirnya mungkin menunda atau beralih dulu ke kredit bank, kalau memang butuh dana. Ya kalau mereka maksain terbitkan obligasi, ya suku bunganya tinggi.
Sejak kapan pasar obligasi mulai lesu?
Semester satu tahun lalu sebenarnya oke. Semester kedua agak jauh penerbitannya. Termasuk di akhir tahun. Biasanya di akhir tahun ramai, peak, karena untuk penerbitan obligasi baru biasanya mereka pakai buku laporan keuangan Juni atau Desember dan isunya [menerbitkan obligasi] 6 bulan setelahnya. Misalnya, pakai lapkeu Desember itu paling terakhir batas rilis obligasi di Juni. Kalau pakai lapkeu Juni itu, maka paling maksimal rilis di Desember. Tapi tahun 2018 enggak terjadi.
Jadi polanya itu Juni dan Desember mestinya ramai?
Kalau dulu, peak penerbitan obligasi itu di Juni dan Desember. Namun belakangan karena ada mekanisme PUB [Penawaran Umum Berkelanjutan], secara periode, penerbitan sedikit merata. Dengan PUB, penerbit enggak harus menunggu pernyataan efektif dari OJK [Otoritas Jasa Keuangan], mereka bisa langsung terbitkan.
Tapi siklus akhir tahun tetap ramai ya?
Akhir Juni dan Desember itu adalah kombinasi dari penerbitan baru dengan skema PUB. Yang obligasi baru itu maksudnya bukan perusahaan menerbitkan obligasi baru, tapi obligasi yang mereka sudah minta persetujuan sebelumnya dari OJK untuk penerbitan obligasi [skema PUB]. Jadi kalau PUB, mereka hanya merealisasikan obligasi yang sudah disetujui OJK, jadi biasanya memang Juni dan Desember lebih tinggi. Biasanya juga Desember lebih tinggi dari Juni, jika stabil tingkat suku bunga.
Apa faktor eksternal yang pengaruhi obligasi korporasi dalam negeri?
Secara tidak langsung, jika bank sentral AS atau The Fed menaikan suku bunga, kurs rupiah akan tertekan. Salah satu caranya, BI akan menaikan suku bunga supaya kurs terjaga. Akibatnya memang tidak secara langsung karena investor obligasi korporasi di Indonesia masih domestik. Jadi tidak terpengaruh oleh behaviour investor asing, tapi pengaruhnya adalah benchmark. Dan yang menjadi benchmark pasar obligasi dalam negeri itu adalah yield obligasi pemerintah atau SUN [surat utang negara] yang naiknya lumayan banyak, hampir 2%.
Memang berapa porsi investor domestik di pasar surat utang korporasi kita?
Kalau dari segi investor dalam negeri, sebagian besar institusi. Paling besar itu institusi reksa dana, dana pensiun (dapen), asuransi, dan perbankan. Mungkin perbankan kedua setelah reksa dana. Reksa dana itu 27,2%. Jadi, obligasi korporasi yang beredar di Indonesia itu dimiliki reksa dana 27,2%, dapen 21,0%, perbankan 19,1%, asuransi 10%. Asing hanya 7,7%, masih kecil sekali asing.
[Bandingkan dengan pembeli obligasi negara Indonesia di mana asing dominan. Per 8 Januari 2019, asing pegang 37,81% dari total SBN beredar Rp 2.386 triliun].
Kalau suku bunga naik, investor lebih memilih mana?
Nah ini, otomatis kalau tingkat suku bunga naik, bunga deposito naik, maka investor punya pilihan investasi, mau obligasi atau menempatkan investasi di bank lewat deposito. Kalau bunga deposito naik otomatis, kupon obligasi ikut naik ya mereka enggak akan beli.
Sejauh mana tingkat suku bunga menekan pasar obligasi korporasi kita?
Dampaknya jauh menurun. Sampai Juni 2018 pelaku pasar masih oke, masih optimistis, tapi setelah itu kenaikan suku bunga cukup drastis sehingga langsung turun.
Posisi lembaga rating menjadi krusial karena sebelum surat utang (obligasi) ditawarkan, mesti mendapat rating dari perusahaan pemeringkat, apakah masuk kategori layak investasi (investment grade) atau berpotensi gagal bayar (default).
Rating menjadi patokan bagi penerbit dalam menetapkan kupon obligasi yang ditawarkan kepada investor. Bagi investor, rating jadi pertimbangan untuk membeli atau tidak obligasi tersebut.
Di Indonesia, salah satu lembaga rating yang menjadi rujukan adalah PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Tahun ini, Pefindo memprediksi pasar obligasi korporasi cenderung stagnan. Bagaimana prospek penerbitan obligasi tahun ini dan seberapa menarik bisnis pemeringkatan?
Untuk lebih jelasnya, jurnalis CNBC Indonesia, Yanurisa Ananta mewawancarai Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra di kantornya, Kamis, 3 Januari 2019. Berikut wawancaranya:
Tahun lalu, penerbitan obligasi korporasi turun drastis menjadi Rp 113 triliun. Padahal 2017 tembus Rp 166 triliun. Apa faktornya?
Penurunan terutama karena tingkat suku bunga naik. Peak penerbitan itu, dari segi kupon, memang di awal-awal tahun, first quarter. Semester satu masih bagus. Tapi karena suku bunga Bank Indonesia, BI 7-Day Repo Rate, yang menjadi benchmark itu, menyebabkan kupon obligasi akhirnya naik, bisa sampai 2% atau 200 basis poin (bps).
Bila kupon obligasi naik, minat perusahaan terbitkan bond berkurang?
Selalu, yang namanya kupon naik itu akan mengurangi minat emiten untuk menerbitkan obligasi karena mereka akan terkena kupon yang lebih tinggi untuk masa tenor dari obligasi. Jadi mereka akhirnya mungkin menunda atau beralih dulu ke kredit bank, kalau memang butuh dana. Ya kalau mereka maksain terbitkan obligasi, ya suku bunganya tinggi.
Sejak kapan pasar obligasi mulai lesu?
Semester satu tahun lalu sebenarnya oke. Semester kedua agak jauh penerbitannya. Termasuk di akhir tahun. Biasanya di akhir tahun ramai, peak, karena untuk penerbitan obligasi baru biasanya mereka pakai buku laporan keuangan Juni atau Desember dan isunya [menerbitkan obligasi] 6 bulan setelahnya. Misalnya, pakai lapkeu Desember itu paling terakhir batas rilis obligasi di Juni. Kalau pakai lapkeu Juni itu, maka paling maksimal rilis di Desember. Tapi tahun 2018 enggak terjadi.
Jadi polanya itu Juni dan Desember mestinya ramai?
Kalau dulu, peak penerbitan obligasi itu di Juni dan Desember. Namun belakangan karena ada mekanisme PUB [Penawaran Umum Berkelanjutan], secara periode, penerbitan sedikit merata. Dengan PUB, penerbit enggak harus menunggu pernyataan efektif dari OJK [Otoritas Jasa Keuangan], mereka bisa langsung terbitkan.
Tapi siklus akhir tahun tetap ramai ya?
Akhir Juni dan Desember itu adalah kombinasi dari penerbitan baru dengan skema PUB. Yang obligasi baru itu maksudnya bukan perusahaan menerbitkan obligasi baru, tapi obligasi yang mereka sudah minta persetujuan sebelumnya dari OJK untuk penerbitan obligasi [skema PUB]. Jadi kalau PUB, mereka hanya merealisasikan obligasi yang sudah disetujui OJK, jadi biasanya memang Juni dan Desember lebih tinggi. Biasanya juga Desember lebih tinggi dari Juni, jika stabil tingkat suku bunga.
Apa faktor eksternal yang pengaruhi obligasi korporasi dalam negeri?
Secara tidak langsung, jika bank sentral AS atau The Fed menaikan suku bunga, kurs rupiah akan tertekan. Salah satu caranya, BI akan menaikan suku bunga supaya kurs terjaga. Akibatnya memang tidak secara langsung karena investor obligasi korporasi di Indonesia masih domestik. Jadi tidak terpengaruh oleh behaviour investor asing, tapi pengaruhnya adalah benchmark. Dan yang menjadi benchmark pasar obligasi dalam negeri itu adalah yield obligasi pemerintah atau SUN [surat utang negara] yang naiknya lumayan banyak, hampir 2%.
Memang berapa porsi investor domestik di pasar surat utang korporasi kita?
Kalau dari segi investor dalam negeri, sebagian besar institusi. Paling besar itu institusi reksa dana, dana pensiun (dapen), asuransi, dan perbankan. Mungkin perbankan kedua setelah reksa dana. Reksa dana itu 27,2%. Jadi, obligasi korporasi yang beredar di Indonesia itu dimiliki reksa dana 27,2%, dapen 21,0%, perbankan 19,1%, asuransi 10%. Asing hanya 7,7%, masih kecil sekali asing.
Kalau suku bunga naik, investor lebih memilih mana?
Nah ini, otomatis kalau tingkat suku bunga naik, bunga deposito naik, maka investor punya pilihan investasi, mau obligasi atau menempatkan investasi di bank lewat deposito. Kalau bunga deposito naik otomatis, kupon obligasi ikut naik ya mereka enggak akan beli.
Sejauh mana tingkat suku bunga menekan pasar obligasi korporasi kita?
Dampaknya jauh menurun. Sampai Juni 2018 pelaku pasar masih oke, masih optimistis, tapi setelah itu kenaikan suku bunga cukup drastis sehingga langsung turun.
Next Page
Meneropong Obligasi Korporasi 2019
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular