
Special Interview
Permintaan Kredit Infrastruktur Naik, Likuiditas Tambah Ketat
Gita Rossiana & Roy Franedya, CNBC Indonesia
14 August 2018 10:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada tahun politik ini perbankan dihadapkan pada dua tantangan sulit. Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini membuat Bank Indonesia (BI) memilih kebijakan hawkish yang agresif menaikkan suku bunga acuan.
Belakangan muncul kasus krisis mata uang lira Turki yang menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Rupiah kembali tertekan.
Kedua, likuiditas. Saat ini loan to deposit ratio (LDR) sudah mencapai 92%. Artinya ruang likuiditas bank sudah semakin terbatas, sebesar 8%.
Lalu, bagaimanakah Jahja memandang situasi ekonomi yang terjadi saat ini dan dampaknya terhadap kondisi perbankan Indonesia. Simak wawancara Jurnalis CNBC Indonesia Gita Rossiana dan Roy Franedya dengan Jahja Setiaatmadja berikut:
Bagaimana Anda melihat krisis mata uang lira Turki yang jadi sentimen negatif pada rupiah?
Artinya saat ini, kaitan moneter dan makro tidak bisa lepas dari pergerakan global. Kalau misalnya dari jumat lalu bank sentral Turki bahkan menaikkan suku bunga sampai 1000 bps atau 10% ke 17,5% untuk menjaga mata uangnya. Namun di balik kepanikan itu, apabila menaikkan sebegitu tinggi, tetap harus dilihat sejauh mana keyakinannya.
Indonesia dulu pada 1998, suku bunga pernah naik sampai 60%, tetapi tidak menolong, nilai tukar rupiah lari ke Rp 16 ribu. Sehingga tetap harus dicari akar masalahnya, apakah dengan Erdogan secara drastis mengganti pemerintah untuk menyetop ketidakpercayaan secara keseluruhan.
Buat rupiah, pada setiap regional memang ada titik-titik paling lemah. Di Asia Tenggara, Filipina dan Indonesia dibandingkan Malaysia, Singapura dan Thailand, grade-nya di bawah itu. Bahwa bukan salahnya Indonesia, atau rupiah, memang bukan salahnya, tapi kita kena dampak. Gempa bumi kalau tidak ada apa-apa , kita juga kena. Itu yang harus amati, mudah-mudahan investor lokal masih bersikap tenang, mudah-mudahahan pengaruhnya tidak terlalu negatif.
Jadi bulan ini BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan?
Amerika bercita-cita menaikkan suku bunga pada September, Desember, kemudian tahun depan, jadi total sekitar 2-3 kali lagi naikkan suku bunga. Kalau naikkan 4 kali atau 0,25%, berarti kan 1 %. Kalau lihat basisnya, basis kita kan 4,25%, Amerika 1,5%, jadi gearing ratio bisa 1 berbanding 2 atau 1 berbanding 3.
Kalau mereka naik 1%, kita minimum naik 2%. Kalau naik 1%, ekuivalensinya sekarang di sana 25 basis poin, berarti kita 50 basis poin. Memang tidak enak untuk ekonomi yang inginnya suku bunga rendah. Tapi kita terdesak naikkan suku bunga, kalau tidak kurs bisa lari-lari tidak terkendali. Jadi seperti buah simalakama, sehingga dipilih the best among the worst.
Kalau dibandingkan bunga sama kurs, kurs itu lebih bahaya, kalau kurs tidak terkendali, bayangkan dampaknya ke nilai tukar, transportasi dan operasional pabrik bisa naik. Dari sisi barang impor dan bahan baku impor, itu dua hal yang bisa kena. Bisa kebayang kan, kecuali perusahaan menaikkan harga.
Karena kalau tidak dinaikkan, profit bisa turun, pajak turun. Namun kalau naikkan harga, masyarakat yang kena, inflasi juga kena. Kalau inflasi naik tinggi, ujung-ujungnya bunga naik. Jadi lebih baik, bunga aja dulu yang naik, daripada kalau kurs sudah naik, susah turunnya. Tindakan preventif lebih baik daripada represif.
Kira-kira kapan sebaiknya bunga acuan naik?
Paling tidak, iramanya seperti Amerika. Kalau mereka naik duluan, kita bisa terlambat. Kita butuh naik 50 basis poin, jadi bisa 25 bps sebelum The Fed diumumkan, atau 25 bps setelah diumumkan atau begitu diumumkan, kita naik 50 basis poin.
Lalu, apakah suku bunga acuan bisa sampai 9% seperti tahun 2008?
Susah ditebak kalau mengenai kurs dan suku bunga. Amerika naikkan 1%, kalau dihitung kasar, bunga acuan kita 5,25% jadi minimal 7,25%. Kalau gearing ratio-nya 1:3, jadi 8,25%. Tapi itu hitungan kasar, namun ini kan bukan matematika.
Kalau sampai lebih dari 9%, mungkin tidak, tapi bisa 8%. Lagipula kasus Turki kan di luar skenario, yang begini-begini bisa mengacaukan bahkan negara Asia lain bisa kena.
Kemarin ada pengumuman CAD, apakah terpengaruh juga?
Begini sebetulnya, bicara current account defisit, harus dilihat dari sisi bahwa memang kebutuhan impor relatif banyak. Kemarin menurut saya, karena ini hari raya. Itu sudah biasa, setiap kalau hari raya, kebutuhan impor meningkat, karena kebutuhan masyarakat akan makanan, baju, fasilitas libur, pengguna jasa ada pesawat juga ada unsur Dolar AS.
Menurut saya, itu setiap tahun dialami tinggal bagaimana mengawal exchange rate supaya stabil. Kalau bisa dikawal, ekspor bisa dijaga, mudah-mudahan CAD bisa teratasi.
Dolar AS sudah menyentuh Rp 14.600. Bagaimana dampaknya terhadap bank?
Kalau saya lebih khawatir sektor riil, karena sejak 1998, bank main aman. Di BCA, dulu kalau bicara neraca dolar, itu konten dolar 20%, sekarang sudah di bawah 8%, relatif kecil sekali. Sejak dari tahun 1998, kita sangat menjaga, kecuali bank yang spekulasi, beli dolarnya banyak, kalau begini matilah.
Kalau kita kan jaga, dari nasabah kita lepas kredit sekian. Bank malah jauh lebih siap saat ini. Kalau di riil sektor, semua barang dikirim pakai transportasi. Kedua ongkos bahan baku itu yang mempengaruhi struktur cost (biaya) pabrik itu.
Dia bisa dorong ke pembeli, bahayanya inflasi, kalau tidak bisa dorong, profit akan turun, jadi dampaknya kepada sektor riil.
Apakah dampak dari sektor riil bisa ke perbankan?
Bisa saja, sejak setahun terakhir sangat tergantung bank. Kalau asal kasih kredit, pasti kena. Secara umum, banyak perusahaan bermasalah 1 atau 2 pasti ada. Tetapi kalau kita amati, perusahaan yang jadi nasabah di BCA, mereka sudah makan asam garam sejak 1998, jadi tidak semata ditawarkan pinjaman dolar tanpa hasil.
Kalaupun terjadi sesuatu, dampaknya ke NPL tidak langsung, kecuali bunga naik seperti di turki, kita repot, karena sampai 10-15%. Tapi kalau 3-4% masih bisa diadopsi oleh nasabah.
Apakah kondisinya sekarang sama seperti 2015 yang terlihat panik dengan banyaknya relaksasi dari regulator?
Sebenarnya tidak bisa dibilang kepanikan, karena sepanjang ada gejola di luar, otoritas moneter tidak bisa kalem tanpa mempelajari sehingha perlu tindakam preventif. Kalau ada kebakaran, begitu ada kejadian, jadi lebih repot.
Dari otoritas moneter ada hal yang dianggap bisa mengurangi beban, apakah dari perbankan atau dari hal lain. Untuk nasabah yang punya pinjaman dolar untuk memudahkan fixing rate, swap facility bisa saja dikasih. Jadi jangan dianggap kepanikan, harus ada langkah preventif untuk menghadapi worst scenario.
Lalu relaksasi seperti apa yang dibutuhkan saat ini?
Fasilitas swap supaya nasabah bisa segera masuk ke kontrak swap untuk menjaga jatuh tempo supaya tetap predicted. Kalau dilepaskan ke pasar kita kan tidak tau sehingga kalau di-swap ada kepastian.
Biaya swap yang mahal bagaimana?
Pertama dipahami dulu fundamentalnya, bagaimana cost swap. Cost swap itu sederhana, berapa bunga dolar dan rupiah plus margin yang tipis dari bank, itu disebut premi swap. Tetapi jangan lupa, hukum ekonomi, yakni antara suplai dan demand.
Dalam kondisi normal, suplai dan demand ada. Pada saat tertentu, begitu banyak nasabah yang mau masuk swap, banyak yang menyediakan fasilitas sehingga harga naik. Ini tercemin dari premi melebar, begitu kebutuhan turun, bisa back to normal.
Nasabah harus mengantisipasi, dan mereka harus siap preventif. Karena kalau harus bayar cost mahal, kalau represif. Bisakah nilai tukar kita saat ini bisa turun di bawah Rp 14.600/US$?
Bisa saja berandai-andai. Kalau impor menurun drastis dan ekspor masih normal. Supaya ekspor bisa bagus, antisipasi secara benar dan bisa masuk ke pasar dengan benar.
China sekarang ada kesulitan, masuk ke Amerika, Eropa dan negara yang [terlibat] trade war (perang dagang). Sebenarnya kesempatan, kalau itu bisa ditingkatkan, ekspor jadi bagus. Bicara teori, realisasi tidak tahu nanti. Impor turun, ekspor naik. Suplai dolar akan lebih banyak dari demand dolar, dolar melemah rupiah menguat.
Tapi ekonomi tidak sesimpel itu, kalau investasi ditarik keluar sami mawon. Ekspor-impor yang lain ceteris paribus harusnya menguat. Kalau ditanya bisa menguat lagi, bisa tergantung kondisi tercipta atau memang menciptakan.
Kalau suplai dolar melemah, rupiah paling bagus, ekuitas market (pasar modal), kurang bagus tapi prospek bagus rupiah harusnya menguat, potensi ada. Ekonomi tidak ada yang pasti.
Lalu bagaimana dengan relaksasi LTV?
Sebagai tindakah preventif, ini ada peperangan, BI itu memberikan senjata kepada pasukan. Macam-macam senjatanya, pada saat pasukan bertempur, musuh patut dilawan atua tidak, kalau patut dipakai, kalau tidak jangan dulu. kebebasan bukan dimonitor moneter, tapi diberikan kepada bank.
Ada yang berpikir, saya baru keluarkan obligasi ada dana jangka panjang, geber KPR dia pakai itu, supaya KPR naik. Lalu, KPR saya sudah banyak, interest [suku bunga acuan] naik, patok harga, kasih LTV 0 atau 5%, permintaan banyak, tapi bunga [kredit] belum naik, sebentar lagi saya tenggelam.
Sekarang diberikan kebijakan masing-masing. Bank asing atau siapapun, kebijakan seperti itu disesuaikan. Kalau tidak diturunkan tidak dilarang juga. Relaksasi ATMR bagaimana pak?
Menurut saya, kemudahan-kemudahan itu preventif, mengembangkan kredit, kalau kredit modal kerja, omset perdagangan belum bisa meningkat, biarupun turun, kredit tidak ngefek.
Kredit konsumen seperti KPR KKB, begitu bunga turun, [permintaan] konsumen naik. Bunga ada gejala mau naik, otoritas moneter mencari tindakan preventif, LTV dilonggarkan, risk [risiko] diperlonggar supaya ada appetied bank supaya bisa fight (bertahan). Tapi kembali lagi mau fight atau tidak, tergantung bank.
Ibarat jangan berantem pakai bambu runcing, ukuran mengukur kemampuan lawan tergantung masing-masing.
LTV bisa tidak efektif, kalau BI menaikkan suku bunga?
Harus dibedakan, bank sentral sudah tahu tidak bisa tidak menaikkan suku bunga. Kalau suku bunga tidak dinaikkan, exchange rate (nilai tukar) bisa terpacu. Mesti habisin cadangan devisa, kalau mau dibanjirin terus berapa lama.
Kalau tahu interest bakal naik, bank yang mau naikkan appetied kredit dikasih amunisi, dikasih LTV. Bukan berarti 0% tidak guna, karena bunga akan naik, dikasih alat, sesuai struktur cost mau pakai atau tidak. Kalau semuanya rigid makin matilah bank. Kita lihat saya mau kebetulan ada satu developer tertentu, LTV saya bisa longgarkan, dapat diskon developer ini.
Apakah BCA akan manfaatkannya?
Bunga sudah murah, KPR kami juga sudah tinggi, tidak sangagup manfaatkan LTV lagi, karena bunga bakal naik. Lock sekarang, orang banjir datang sehingga kami belum pakai senjata itu. Begitu ada stabilize awal tahun depan, Amerika naikkan suku bunga, tinggal dipakai, tidak serta merata dipakai sejak dikeluarkan.
Suku bunga acuan akan naik dan bunga kredit pasti mengikuti, lalu daya beli masyarakat bagaimana?
Sekarang kami sampaikan juga, kalau tidak ikuti itu, bank rugi, investor asing lari. Capital market, market cap besar, top tier itu. Kalau tidak ikutin, profit terjun bebas, kaya interrelated, tidak ada yang [berada di] kotak ekstrem. Lalu juga nanti asing melihat, mana ada yang bagus di Indonesia. Market cap jatuh, capital outflow, investor keluar, dolar bisa kemana-mana.
Lalu, apakah NIM harus dijaga?
Kami tidak pernah bilang harus jaga NIM, karena kalau kasih kredit reasonable, jaga NIM tidak gampang. Suku bunga deposito jelas tenornya. Kalau kredit kombnasi, waited average, KPR KKB tenornya macam-macam, beda-beda semua. Small, korporasi, komersial per nasabah beda-beda, tidak bisa diatur. Month by month dijagalah.
NIM agak berkurang, cost of fund mana yang bisa di-balance, jangka panjang tidak bisa diatur, harus ikutin industri.
Lalu bagaimana dengan permasalahan likuditas pak?
Kami paling bagus. LFR 77%, dibandingkan industri 90-92%. Bank asing bahkan di atas 100%. Saya sih jadi presdir di sana tidak nyaman, likuiditas dijaga terus. Di BCA LFR 77% paling tinggi 82%, sekarang masih oke.
Saya kira, buat industri dalam suasana permintaan kredit normal-normal masih lebih dari cukup. Kalau tiba-tiba sektor korporasi tertentu, infrastuktur permintaan meningkat pesat, agak shortage, harus ada dari luar, finance dari luar. BCA 77%, bahkan kami punya kredit growth rata-rata di atas industri.
Dana di masyarakat apakah tidak ada, apakah mereka menahan diri dan menyimpan uang di bank?
Kalau dilihat setahun lalu, interest rupiah sliding down. Investor yang punya duit punya pilihan dengan interest menarik, taruh di deposito, atau yang menarik, atau tidak cari capital market.
Lumayan loh walaupun ada hal negatif, sempat 6.000. Dananya menghasilkan, itu yang menyebabkan bahwa mungkin dari segi DPK tetap growth, tapi tidak bisa seperti dulu. Bunga 8%, dari deposito tanpa ada tambahan dana baru, 8% nambahnya.
Kalau bunga 5%, berarti kenaikan dari bunga 5%. Ke depan, dalam suasana seperti apa nanti. Harus rupiah lebih tinggi, stabil. DPK bisa lebih kencang.
Kondisi likuiditas apakah saat ini ketat?
Paslah, asal jangan ada infrastruktur besar-besaran bakal kesedot cepat.
Apakah berarti mengurangi proyek infrastruktur?
BI tidak bisa hindarkan, infrastruktur ada proyek dan pipeline. Kalau itu dilaksanakan, kita harapkan, ada juga support dari luar pinjaman dari luar untuk bantu. Sepenuhnya dari bank dalam negeri tidak mampu, proyek itu besar sekali.
Lalu, bagaimana dengan fenomena undisbursed loan?
Gede, kita kalau kasih pinjamam KPR KKB, kalau kita turunkan bunga, pinjaman naik. Kalau pinjaman perusahaan komersial atau SME, kita sediakan Rp 100 miliar, namun omset turun, dipakainya hanya 50 miliar. Kapan dimanfatkannya, ya pas lebaran. Ketika habis lebaran, diturunkan.
Modal kerja itu seasonal, natalan lebaran pasti naik dia pakai. Titik-titik itu undisbursed loan berkurang, hasil penjualan udah balik semua buat apa, turun lagi undisbursed loan tinggi lagi.
Dari sisi infrastruktur juga, ketika, plafon udah oke, tapi karena ada urusan tanah, perizinan, belum bisa dimulai dulu. Pakai modal sendiru, kalau shortage baru ke bank, jadi unused juga.
Likuditas mengetat apakah karena jor-joran infrastruktur?
Saya tidak bilang ketat, sekarang ini pas. Ke depan bisa ketat, kalau jadi ketat pencairan infrastruktur makin tinggi, permintaan korporasi, normal. Infrastruktur meningkat, korporasi menurun, juga oke. Tidak bisa formulasikan ataupun didefinisikan dengan pasti. Kita tidak tau.
Sekarang KPR dan KKB turun, ada juga masalah daya beli, interest rate kenaikan. Di GIIAS kemarin dibandingkan tahun lalu, ini jauh lebih turun permintaan. Ini kombinasi, karena interest, kita tidak bisa ngomong hanya dari daya beli atau suku bunga. Yang jelas kredit konsumen sensitif price. Ada skala pemerataan tapi kalau konsumen naik, korporasi infrastuktur naik, likuiditas tidak cukup.
(roy) Next Article Destry Damayanti, Timing Turunnya Bunga Acuan BI & Peluang RI
Belakangan muncul kasus krisis mata uang lira Turki yang menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Rupiah kembali tertekan.
Kedua, likuiditas. Saat ini loan to deposit ratio (LDR) sudah mencapai 92%. Artinya ruang likuiditas bank sudah semakin terbatas, sebesar 8%.
![]() |
Bagaimana Anda melihat krisis mata uang lira Turki yang jadi sentimen negatif pada rupiah?
Artinya saat ini, kaitan moneter dan makro tidak bisa lepas dari pergerakan global. Kalau misalnya dari jumat lalu bank sentral Turki bahkan menaikkan suku bunga sampai 1000 bps atau 10% ke 17,5% untuk menjaga mata uangnya. Namun di balik kepanikan itu, apabila menaikkan sebegitu tinggi, tetap harus dilihat sejauh mana keyakinannya.
Indonesia dulu pada 1998, suku bunga pernah naik sampai 60%, tetapi tidak menolong, nilai tukar rupiah lari ke Rp 16 ribu. Sehingga tetap harus dicari akar masalahnya, apakah dengan Erdogan secara drastis mengganti pemerintah untuk menyetop ketidakpercayaan secara keseluruhan.
Buat rupiah, pada setiap regional memang ada titik-titik paling lemah. Di Asia Tenggara, Filipina dan Indonesia dibandingkan Malaysia, Singapura dan Thailand, grade-nya di bawah itu. Bahwa bukan salahnya Indonesia, atau rupiah, memang bukan salahnya, tapi kita kena dampak. Gempa bumi kalau tidak ada apa-apa , kita juga kena. Itu yang harus amati, mudah-mudahan investor lokal masih bersikap tenang, mudah-mudahahan pengaruhnya tidak terlalu negatif.
Jadi bulan ini BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan?
Amerika bercita-cita menaikkan suku bunga pada September, Desember, kemudian tahun depan, jadi total sekitar 2-3 kali lagi naikkan suku bunga. Kalau naikkan 4 kali atau 0,25%, berarti kan 1 %. Kalau lihat basisnya, basis kita kan 4,25%, Amerika 1,5%, jadi gearing ratio bisa 1 berbanding 2 atau 1 berbanding 3.
Kalau mereka naik 1%, kita minimum naik 2%. Kalau naik 1%, ekuivalensinya sekarang di sana 25 basis poin, berarti kita 50 basis poin. Memang tidak enak untuk ekonomi yang inginnya suku bunga rendah. Tapi kita terdesak naikkan suku bunga, kalau tidak kurs bisa lari-lari tidak terkendali. Jadi seperti buah simalakama, sehingga dipilih the best among the worst.
Kalau dibandingkan bunga sama kurs, kurs itu lebih bahaya, kalau kurs tidak terkendali, bayangkan dampaknya ke nilai tukar, transportasi dan operasional pabrik bisa naik. Dari sisi barang impor dan bahan baku impor, itu dua hal yang bisa kena. Bisa kebayang kan, kecuali perusahaan menaikkan harga.
Karena kalau tidak dinaikkan, profit bisa turun, pajak turun. Namun kalau naikkan harga, masyarakat yang kena, inflasi juga kena. Kalau inflasi naik tinggi, ujung-ujungnya bunga naik. Jadi lebih baik, bunga aja dulu yang naik, daripada kalau kurs sudah naik, susah turunnya. Tindakan preventif lebih baik daripada represif.
Kira-kira kapan sebaiknya bunga acuan naik?
Paling tidak, iramanya seperti Amerika. Kalau mereka naik duluan, kita bisa terlambat. Kita butuh naik 50 basis poin, jadi bisa 25 bps sebelum The Fed diumumkan, atau 25 bps setelah diumumkan atau begitu diumumkan, kita naik 50 basis poin.
Lalu, apakah suku bunga acuan bisa sampai 9% seperti tahun 2008?
Susah ditebak kalau mengenai kurs dan suku bunga. Amerika naikkan 1%, kalau dihitung kasar, bunga acuan kita 5,25% jadi minimal 7,25%. Kalau gearing ratio-nya 1:3, jadi 8,25%. Tapi itu hitungan kasar, namun ini kan bukan matematika.
Kalau sampai lebih dari 9%, mungkin tidak, tapi bisa 8%. Lagipula kasus Turki kan di luar skenario, yang begini-begini bisa mengacaukan bahkan negara Asia lain bisa kena.
Kemarin ada pengumuman CAD, apakah terpengaruh juga?
Begini sebetulnya, bicara current account defisit, harus dilihat dari sisi bahwa memang kebutuhan impor relatif banyak. Kemarin menurut saya, karena ini hari raya. Itu sudah biasa, setiap kalau hari raya, kebutuhan impor meningkat, karena kebutuhan masyarakat akan makanan, baju, fasilitas libur, pengguna jasa ada pesawat juga ada unsur Dolar AS.
Menurut saya, itu setiap tahun dialami tinggal bagaimana mengawal exchange rate supaya stabil. Kalau bisa dikawal, ekspor bisa dijaga, mudah-mudahan CAD bisa teratasi.
Dolar AS sudah menyentuh Rp 14.600. Bagaimana dampaknya terhadap bank?
Kalau saya lebih khawatir sektor riil, karena sejak 1998, bank main aman. Di BCA, dulu kalau bicara neraca dolar, itu konten dolar 20%, sekarang sudah di bawah 8%, relatif kecil sekali. Sejak dari tahun 1998, kita sangat menjaga, kecuali bank yang spekulasi, beli dolarnya banyak, kalau begini matilah.
Kalau kita kan jaga, dari nasabah kita lepas kredit sekian. Bank malah jauh lebih siap saat ini. Kalau di riil sektor, semua barang dikirim pakai transportasi. Kedua ongkos bahan baku itu yang mempengaruhi struktur cost (biaya) pabrik itu.
Dia bisa dorong ke pembeli, bahayanya inflasi, kalau tidak bisa dorong, profit akan turun, jadi dampaknya kepada sektor riil.
Apakah dampak dari sektor riil bisa ke perbankan?
Bisa saja, sejak setahun terakhir sangat tergantung bank. Kalau asal kasih kredit, pasti kena. Secara umum, banyak perusahaan bermasalah 1 atau 2 pasti ada. Tetapi kalau kita amati, perusahaan yang jadi nasabah di BCA, mereka sudah makan asam garam sejak 1998, jadi tidak semata ditawarkan pinjaman dolar tanpa hasil.
Kalaupun terjadi sesuatu, dampaknya ke NPL tidak langsung, kecuali bunga naik seperti di turki, kita repot, karena sampai 10-15%. Tapi kalau 3-4% masih bisa diadopsi oleh nasabah.
Apakah kondisinya sekarang sama seperti 2015 yang terlihat panik dengan banyaknya relaksasi dari regulator?
Sebenarnya tidak bisa dibilang kepanikan, karena sepanjang ada gejola di luar, otoritas moneter tidak bisa kalem tanpa mempelajari sehingha perlu tindakam preventif. Kalau ada kebakaran, begitu ada kejadian, jadi lebih repot.
Dari otoritas moneter ada hal yang dianggap bisa mengurangi beban, apakah dari perbankan atau dari hal lain. Untuk nasabah yang punya pinjaman dolar untuk memudahkan fixing rate, swap facility bisa saja dikasih. Jadi jangan dianggap kepanikan, harus ada langkah preventif untuk menghadapi worst scenario.
Lalu relaksasi seperti apa yang dibutuhkan saat ini?
Fasilitas swap supaya nasabah bisa segera masuk ke kontrak swap untuk menjaga jatuh tempo supaya tetap predicted. Kalau dilepaskan ke pasar kita kan tidak tau sehingga kalau di-swap ada kepastian.
Biaya swap yang mahal bagaimana?
Pertama dipahami dulu fundamentalnya, bagaimana cost swap. Cost swap itu sederhana, berapa bunga dolar dan rupiah plus margin yang tipis dari bank, itu disebut premi swap. Tetapi jangan lupa, hukum ekonomi, yakni antara suplai dan demand.
Dalam kondisi normal, suplai dan demand ada. Pada saat tertentu, begitu banyak nasabah yang mau masuk swap, banyak yang menyediakan fasilitas sehingga harga naik. Ini tercemin dari premi melebar, begitu kebutuhan turun, bisa back to normal.
Nasabah harus mengantisipasi, dan mereka harus siap preventif. Karena kalau harus bayar cost mahal, kalau represif. Bisakah nilai tukar kita saat ini bisa turun di bawah Rp 14.600/US$?
Bisa saja berandai-andai. Kalau impor menurun drastis dan ekspor masih normal. Supaya ekspor bisa bagus, antisipasi secara benar dan bisa masuk ke pasar dengan benar.
China sekarang ada kesulitan, masuk ke Amerika, Eropa dan negara yang [terlibat] trade war (perang dagang). Sebenarnya kesempatan, kalau itu bisa ditingkatkan, ekspor jadi bagus. Bicara teori, realisasi tidak tahu nanti. Impor turun, ekspor naik. Suplai dolar akan lebih banyak dari demand dolar, dolar melemah rupiah menguat.
Tapi ekonomi tidak sesimpel itu, kalau investasi ditarik keluar sami mawon. Ekspor-impor yang lain ceteris paribus harusnya menguat. Kalau ditanya bisa menguat lagi, bisa tergantung kondisi tercipta atau memang menciptakan.
Kalau suplai dolar melemah, rupiah paling bagus, ekuitas market (pasar modal), kurang bagus tapi prospek bagus rupiah harusnya menguat, potensi ada. Ekonomi tidak ada yang pasti.
Lalu bagaimana dengan relaksasi LTV?
Sebagai tindakah preventif, ini ada peperangan, BI itu memberikan senjata kepada pasukan. Macam-macam senjatanya, pada saat pasukan bertempur, musuh patut dilawan atua tidak, kalau patut dipakai, kalau tidak jangan dulu. kebebasan bukan dimonitor moneter, tapi diberikan kepada bank.
Ada yang berpikir, saya baru keluarkan obligasi ada dana jangka panjang, geber KPR dia pakai itu, supaya KPR naik. Lalu, KPR saya sudah banyak, interest [suku bunga acuan] naik, patok harga, kasih LTV 0 atau 5%, permintaan banyak, tapi bunga [kredit] belum naik, sebentar lagi saya tenggelam.
Sekarang diberikan kebijakan masing-masing. Bank asing atau siapapun, kebijakan seperti itu disesuaikan. Kalau tidak diturunkan tidak dilarang juga. Relaksasi ATMR bagaimana pak?
Menurut saya, kemudahan-kemudahan itu preventif, mengembangkan kredit, kalau kredit modal kerja, omset perdagangan belum bisa meningkat, biarupun turun, kredit tidak ngefek.
Kredit konsumen seperti KPR KKB, begitu bunga turun, [permintaan] konsumen naik. Bunga ada gejala mau naik, otoritas moneter mencari tindakan preventif, LTV dilonggarkan, risk [risiko] diperlonggar supaya ada appetied bank supaya bisa fight (bertahan). Tapi kembali lagi mau fight atau tidak, tergantung bank.
Ibarat jangan berantem pakai bambu runcing, ukuran mengukur kemampuan lawan tergantung masing-masing.
LTV bisa tidak efektif, kalau BI menaikkan suku bunga?
Harus dibedakan, bank sentral sudah tahu tidak bisa tidak menaikkan suku bunga. Kalau suku bunga tidak dinaikkan, exchange rate (nilai tukar) bisa terpacu. Mesti habisin cadangan devisa, kalau mau dibanjirin terus berapa lama.
Kalau tahu interest bakal naik, bank yang mau naikkan appetied kredit dikasih amunisi, dikasih LTV. Bukan berarti 0% tidak guna, karena bunga akan naik, dikasih alat, sesuai struktur cost mau pakai atau tidak. Kalau semuanya rigid makin matilah bank. Kita lihat saya mau kebetulan ada satu developer tertentu, LTV saya bisa longgarkan, dapat diskon developer ini.
Apakah BCA akan manfaatkannya?
Bunga sudah murah, KPR kami juga sudah tinggi, tidak sangagup manfaatkan LTV lagi, karena bunga bakal naik. Lock sekarang, orang banjir datang sehingga kami belum pakai senjata itu. Begitu ada stabilize awal tahun depan, Amerika naikkan suku bunga, tinggal dipakai, tidak serta merata dipakai sejak dikeluarkan.
Suku bunga acuan akan naik dan bunga kredit pasti mengikuti, lalu daya beli masyarakat bagaimana?
Sekarang kami sampaikan juga, kalau tidak ikuti itu, bank rugi, investor asing lari. Capital market, market cap besar, top tier itu. Kalau tidak ikutin, profit terjun bebas, kaya interrelated, tidak ada yang [berada di] kotak ekstrem. Lalu juga nanti asing melihat, mana ada yang bagus di Indonesia. Market cap jatuh, capital outflow, investor keluar, dolar bisa kemana-mana.
Lalu, apakah NIM harus dijaga?
Kami tidak pernah bilang harus jaga NIM, karena kalau kasih kredit reasonable, jaga NIM tidak gampang. Suku bunga deposito jelas tenornya. Kalau kredit kombnasi, waited average, KPR KKB tenornya macam-macam, beda-beda semua. Small, korporasi, komersial per nasabah beda-beda, tidak bisa diatur. Month by month dijagalah.
NIM agak berkurang, cost of fund mana yang bisa di-balance, jangka panjang tidak bisa diatur, harus ikutin industri.
Lalu bagaimana dengan permasalahan likuditas pak?
Kami paling bagus. LFR 77%, dibandingkan industri 90-92%. Bank asing bahkan di atas 100%. Saya sih jadi presdir di sana tidak nyaman, likuiditas dijaga terus. Di BCA LFR 77% paling tinggi 82%, sekarang masih oke.
Saya kira, buat industri dalam suasana permintaan kredit normal-normal masih lebih dari cukup. Kalau tiba-tiba sektor korporasi tertentu, infrastuktur permintaan meningkat pesat, agak shortage, harus ada dari luar, finance dari luar. BCA 77%, bahkan kami punya kredit growth rata-rata di atas industri.
Dana di masyarakat apakah tidak ada, apakah mereka menahan diri dan menyimpan uang di bank?
Kalau dilihat setahun lalu, interest rupiah sliding down. Investor yang punya duit punya pilihan dengan interest menarik, taruh di deposito, atau yang menarik, atau tidak cari capital market.
Lumayan loh walaupun ada hal negatif, sempat 6.000. Dananya menghasilkan, itu yang menyebabkan bahwa mungkin dari segi DPK tetap growth, tapi tidak bisa seperti dulu. Bunga 8%, dari deposito tanpa ada tambahan dana baru, 8% nambahnya.
Kalau bunga 5%, berarti kenaikan dari bunga 5%. Ke depan, dalam suasana seperti apa nanti. Harus rupiah lebih tinggi, stabil. DPK bisa lebih kencang.
Kondisi likuiditas apakah saat ini ketat?
Paslah, asal jangan ada infrastruktur besar-besaran bakal kesedot cepat.
Apakah berarti mengurangi proyek infrastruktur?
BI tidak bisa hindarkan, infrastruktur ada proyek dan pipeline. Kalau itu dilaksanakan, kita harapkan, ada juga support dari luar pinjaman dari luar untuk bantu. Sepenuhnya dari bank dalam negeri tidak mampu, proyek itu besar sekali.
Lalu, bagaimana dengan fenomena undisbursed loan?
Gede, kita kalau kasih pinjamam KPR KKB, kalau kita turunkan bunga, pinjaman naik. Kalau pinjaman perusahaan komersial atau SME, kita sediakan Rp 100 miliar, namun omset turun, dipakainya hanya 50 miliar. Kapan dimanfatkannya, ya pas lebaran. Ketika habis lebaran, diturunkan.
Modal kerja itu seasonal, natalan lebaran pasti naik dia pakai. Titik-titik itu undisbursed loan berkurang, hasil penjualan udah balik semua buat apa, turun lagi undisbursed loan tinggi lagi.
Dari sisi infrastruktur juga, ketika, plafon udah oke, tapi karena ada urusan tanah, perizinan, belum bisa dimulai dulu. Pakai modal sendiru, kalau shortage baru ke bank, jadi unused juga.
Likuditas mengetat apakah karena jor-joran infrastruktur?
Saya tidak bilang ketat, sekarang ini pas. Ke depan bisa ketat, kalau jadi ketat pencairan infrastruktur makin tinggi, permintaan korporasi, normal. Infrastruktur meningkat, korporasi menurun, juga oke. Tidak bisa formulasikan ataupun didefinisikan dengan pasti. Kita tidak tau.
Sekarang KPR dan KKB turun, ada juga masalah daya beli, interest rate kenaikan. Di GIIAS kemarin dibandingkan tahun lalu, ini jauh lebih turun permintaan. Ini kombinasi, karena interest, kita tidak bisa ngomong hanya dari daya beli atau suku bunga. Yang jelas kredit konsumen sensitif price. Ada skala pemerataan tapi kalau konsumen naik, korporasi infrastuktur naik, likuiditas tidak cukup.
(roy) Next Article Destry Damayanti, Timing Turunnya Bunga Acuan BI & Peluang RI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular