Beban Struktural di Balik Ambisi Transformasi Digital Indonesia
Industri telekomunikasi memegang peran strategis dalam pembangunan nasional Indonesia. Jaringan seluler, serat optik, pusat data, dan infrastruktur digital lainnya menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi digital, layanan pemerintahan berbasis elektronik, pendidikan jarak jauh, layanan kesehatan digital, hingga konektivitas wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Namun di balik peran vital tersebut, industri telekomunikasi Indonesia masih dibayangi tantangan struktural berupa tingginya regulatory cost yang berpotensi menghambat percepatan transformasi digital nasional.
Regulatory cost-atau biaya kepatuhan terhadap regulasi-merupakan seluruh beban finansial yang wajib ditanggung operator akibat kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Dalam konteks Indonesia, besarnya regulatory cost telah menjadi salah satu faktor utama yang menekan profitabilitas operator dan mempersempit ruang investasi jangka panjang, di tengah tuntutan pembangunan jaringan yang semakin masif dan merata.
Struktur Regulatory Cost yang Berlapis
Industri telekomunikasi menghadapi struktur biaya regulasi yang kompleks dan berlapis. Di tingkat nasional, operator dibebani oleh Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, iuran Universal Service Obligation (USO), serta berbagai kewajiban pajak sektoral dan non-sektoral. Di tingkat daerah, masih terdapat biaya perizinan menara, retribusi penggalian, sewa aset daerah, hingga pungutan right of way yang besarannya dan mekanismenya berbeda-beda antarwilayah.
Akumulasi kewajiban tersebut menciptakan struktur biaya yang tinggi dan relatif kaku, sementara pendapatan operator justru mengalami tekanan akibat persaingan tarif dan tren penurunan Average Revenue Per User (ARPU), khususnya pada layanan seluler.
BHP Frekuensi: Beban Tetap di Tengah Tekanan Bisnis
Frekuensi radio merupakan sumber daya terbatas milik negara yang penggunaannya wajib memberikan kontribusi kepada penerimaan negara. Namun skema BHP frekuensi di Indonesia masih didominasi pendekatan fixed cost. Kewajiban pembayaran tetap harus dipenuhi setiap tahun, terlepas dari kondisi pasar, utilisasi spektrum, maupun kemampuan operator dalam memonetisasi layanan.
Di sisi lain, kebutuhan belanja modal (CAPEX) untuk modernisasi jaringan-mulai dari perluasan 4G, persiapan 5G, hingga penguatan jaringan backbone-terus meningkat. Ketidakseimbangan ini menjadikan BHP frekuensi sebagai beban struktural yang secara langsung mengurangi ruang investasi jaringan baru, terutama di wilayah non-komersial.
USO: Tujuan Pemerataan yang Perlu Evaluasi Implementasi
Iuran Universal Service Obligation (USO) dirancang untuk mendukung pemerataan akses telekomunikasi di wilayah yang secara ekonomi kurang menarik. Operator diwajibkan menyisihkan persentase tertentu dari pendapatan kotor untuk mendanai pembangunan infrastruktur tersebut.
Namun dalam praktiknya, iuran USO kerap dipersepsikan sebagai beban tambahan. Keterlibatan operator dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek USO relatif terbatas, sementara transparansi dan efektivitas pemanfaatan dana USO masih menjadi perhatian industri. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai optimalisasi dana USO dalam mendorong pemerataan jaringan secara berkelanjutan.
Permendagri 7/2024: Regulasi Ada, Implementasi Belum Merata
Pemerintah pusat sebenarnya telah berupaya menurunkan beban regulatory cost di daerah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2024 yang mengatur kemudahan perizinan dan penataan infrastruktur telekomunikasi di daerah. Regulasi ini bertujuan menciptakan kepastian hukum, standardisasi perizinan, serta menekan biaya non-teknis yang selama ini menjadi keluhan utama operator.
Namun hingga kini, implementasi Permendagri 7/2024 masih belum berjalan optimal di banyak pemerintah daerah dan pemerintah kota. Di lapangan, operator masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari pungutan yang tidak sejalan dengan semangat regulasi, proses perizinan yang panjang, hingga belum adanya penyesuaian peraturan daerah dan kebijakan teknis turunan.
Ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan praktik di daerah ini menyebabkan tujuan utama Permendagri 7/2024-yakni efisiensi biaya dan percepatan pembangunan jaringan-belum sepenuhnya tercapai.
Fragmentasi Regulasi Daerah yang Berkelanjutan
Belum optimalnya implementasi regulasi pusat memperkuat masalah fragmentasi kebijakan daerah. Setiap daerah masih menerapkan interpretasi dan mekanisme perizinan masing-masing, sehingga menciptakan ketidakpastian usaha bagi operator. Padahal, jaringan telekomunikasi bersifat lintas wilayah dan merupakan infrastruktur strategis nasional yang mendukung pelayanan publik.
Fragmentasi ini berkontribusi signifikan terhadap tingginya regulatory cost dan memperlambat rollout jaringan, terutama pembangunan serat optik dan densifikasi jaringan seluler.
Dampak terhadap Investasi dan Masyarakat
Tingginya regulatory cost berdampak langsung pada kemampuan industri dalam melakukan investasi jaringan. Di sisi lain, masyarakat berpotensi menghadapi kualitas layanan yang tidak merata antar wilayah, keterlambatan pembangunan jaringan di daerah tertentu, serta terbatasnya inovasi layanan digital.
Jika kondisi ini terus berlanjut, target pemerataan akses digital dan percepatan ekonomi digital nasional akan sulit tercapai secara optimal.
Peran Pemerintah sebagai Enabler
Pemerintah memegang peran kunci dalam memastikan regulasi berjalan efektif hingga tingkat daerah. Selain menyusun kebijakan, diperlukan pengawasan, harmonisasi, dan penegakan implementasi Permendagri 7/2024 agar semangat efisiensi benar-benar dirasakan oleh industri.
Peninjauan formula BHP frekuensi, penguatan transparansi USO, serta konsistensi penerapan regulasi pusat di daerah menjadi langkah strategis agar regulatory cost tidak menjadi penghambat pembangunan nasional.
Penutup
Telekomunikasi bukan sekadar industri komersial, melainkan infrastruktur strategis nasional. Reformasi regulatory cost harus diikuti dengan konsistensi implementasi kebijakan hingga ke daerah. Tanpa itu, regulasi yang baik di atas kertas akan kehilangan maknanya di lapangan.
Jika Indonesia ingin mempercepat transformasi digital dan pemerataan konektivitas, maka penyelarasan kebijakan pusat dan daerah menjadi kunci utama keberhasilan
(miq/miq)