Pilkada Melalui DPRD Langkah Mundur Demokrasi di Indonesia
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Wacana pengembalian mekanisme pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat di penghujung tahun 2025. Dimulai dari usulan Partai Golkar yang kemudian disambut baik oleh Partai Gerindra, argumen utama yang dikedepankan adalah efisiensi anggaran dan pengurangan biaya politik yang mahal.
Namun, jika kita menilik lebih dalam, langkah ini bukan sekadar upaya "penghematan", melainkan sebuah ancaman serius bagi kedaulatan rakyat dan kualitas demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998.
Mematikan Hak Warga Negara
Argumen bahwa anggaran pilkada 2024 yang mencapai lebih dari Rp37 triliun lebih baik dialokasikan untuk program produktif adalah logika yang menggiurkan namun menyesatkan. Demokrasi memang mahal, karena ia adalah investasi jangka panjang untuk memastikan pemimpin memiliki legitimasi kuat dari rakyat yang mereka pimpin.
Menghapus hak pilih langsung rakyat dengan alasan anggaran adalah jalan pintas yang mengubur paksa hak konstitusional warga negara. Efisiensi seharusnya dilakukan melalui perbaikan sistem kampanye, digitalisasi pemungutan suara, atau penyederhanaan birokrasi pemilu, bukan dengan memangkas hak rakyat untuk menentukan nasib daerahnya sendiri.
Jika efisiensi adalah standar utama, mengapa kita tidak mempertanyakan besarnya anggaran untuk kabinet yang kian membengkak atau fasilitas mewah para pejabat? Menjadikan hak politik rakyat sebagai tumbal efisiensi adalah ketidakadilan yang nyata.
Risiko Politik "Dagang Sapi"
Salah satu dampak paling berbahaya dari pemilihan melalui DPRD adalah kembalinya era politik "dagang sapi". Dalam sistem pilkada langsung, calon kepala daerah harus turun ke bawah, mendengar keluhan petani di sawah, atau pedagang di pasar untuk mendapatkan suara. Legitimasi mereka berasal dari rakyat.
Sebaliknya, jika dipilih oleh DPRD, medan tempur politik berpindah dari lapangan terbuka ke ruang-ruang gelap di gedung dewan. Calon tidak lagi perlu meyakinkan konstituen, melainkan cukup meyakinkan segelintir elite partai di tingkat daerah.
Hal ini akan menyuburkan praktik politik transaksional antar-partai. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang kompeten, kita justru berisiko mendapatkan pemimpin yang utang budinya hanya tertuju pada struktur legislatif, bukan pada kepentingan publik.
Memutus Rantai Akuntabilitas
Dampak sistemik lainnya adalah hilangnya mekanisme kontrol langsung masyarakat terhadap kepala daerah. Dalam pilkada langsung, rakyat memiliki kontrak sosial yang jelas. Jika seorang gubernur atau bupati gagal memenuhi janjinya, rakyat bisa menghukum mereka di kotak suara pada periode berikutnya.
Jika dipilih DPRD, akuntabilitas ini diamputasi. Kepala daerah akan lebih takut kehilangan dukungan fraksi di dewan daripada kehilangan kepercayaan rakyat. Hal demikian menciptakan potensi kolusi antara eksekutif dan legislatif yang sangat tinggi. Fungsi pengawasan DPRD akan melemah karena kepala daerah adalah hasil "rekayasa" mereka sendiri.
Tanpa adanya checks and balances yang sehat, potensi korupsi justru akan meningkat, di mana korupsi berpindah dari biaya kampanye menjadi biaya "setoran" kepada oknum-oknum di legislatif agar terpilih atau dipertahankan.
Kemunduran Demokrasi
Kita tidak boleh lupa bahwa pilkada langsung adalah salah satu capaian terbesar dari gerakan reformasi. Menyerahkan kembali pemilihan ke DPRD adalah langkah mundur yang membawa kita kembali ke pola pikir Orde Baru. Perlu dipertegas lebih jauh, demokrasi bukan hanya soal hasil, tetapi soal proses partisipasi.
Partisipasi politik masyarakat adalah roh dari sebuah negara demokrasi. Dengan menutup akses rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung, pemerintah secara perlahan sedang melakukan desentralisasi kekuasaan hanya di tingkat elite (elitisme).
Masyarakat akan merasa terasing dari proses pembangunan karena mereka tidak lagi merasa memiliki andil dalam menentukan siapa yang memimpin daerahnya.
Bahaya Polarisasi dan Stabilitas
Partai pendukung wacana ini mengklaim bahwa pemilihan lewat DPRD akan mengurangi polarisasi. Namun, klaim ini patut dipertanyakan. Polarisasi seringkali muncul bukan karena sistem pilihannya, melainkan karena narasi identitas yang dimainkan oleh para politisi sendiri.
Memindahkan pemilihan ke DPRD justru bisa memicu kemarahan publik yang merasa haknya dirampas. Ketidakpuasan masyarakat yang tidak tersalurkan lewat kotak suara bisa meledak dalam bentuk aksi-aksi jalanan yang jauh lebih tidak stabil dan merugikan ekonomi.
Lebih jauh, wacana pilkada melalui DPRD adalah solusi semu bagi masalah biaya politik. Jika masalahnya adalah biaya kampanye yang tinggi, maka yang harus diperbaiki adalah regulasi dana kampanye dan penegakan hukum terhadap politik uang, bukan dengan menghapus partisipasi rakyat.
Alasan efisiensi dan kemudian menyerahkan kedaulatan rakyat kepada segelintir elite di DPRD adalah perjudian besar yang mempertaruhkan masa depan daerah. Jangan sampai demi "penghematan" di atas kertas, kita kehilangan nilai yang jauh lebih berharga: kepercayaan rakyat dan martabat demokrasi.
Dengan demikian, pilkada langsung harus dipertahankan sebagai benteng terakhir di mana suara seorang petani dan nelayan memiliki kekuatan yang sama dengan suara seorang penguasa.
(miq/miq)