Ketika Daniel Plainview Bertemu William King Hale di Papua
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Daniel Plainview, tokoh utama film There Will Be Blood, adalah simbol kapitalisme agresif yang jujur dalam ambisi pribadinya tanpa memedulikan dampak sosial. William King Hale, tokoh antagonis dalam film Killers of the Flower Moon, merepresentasikan eksploitasi yang lebih halus, bekerja melalui celah hukum dan sistem yang pincang untuk menguasai sumber daya alam.
Pertemuan logika kedua tokoh ini: percepatan investasi ala Plainview dan legalitas prosedural ala Hale, kini berpotensi terjadi di tanah Papua.
Logika Makro dan Realita Lahan
Inisiatif Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di Papua telah menerima tanggapan publik yang sebagian besar menolak terhadap itu. Dari sudut pandang ekonomi makro ala Arthur Lewis, Walt Rostow, hingga Justin Yifu Lin, kebijakan ini masuk akal, mengingat minyak sawit sangat penting untuk ekspor dan menciptakan lapangan kerja terbanyak di Indonesia.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lahan yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di enam provinsi di Papua melampaui 236.000 hektare pada tahun 2024, yang hampir empat kali luas Jakarta. Perlu dicatat, Papua Selatan sendiri memiliki pangsa terbesar, mencakup sekitar 97.770 hektare.
Menghindari "Perangkap Hale"
Masalah kritis di Papua bukanlah sekadar legalitas, melainkan legitimasi. Di sinilah metafora Hale menjadi peringatan: perizinan mungkin secara formal sah, namun kontrak yang lahir dari ketimpangan informasi pada dasarnya tidak setara. Perizinan dapat diselesaikan sesuai aturan, tetapi itu tidak berarti masyarakat adat benar-benar memahami, menyetujui, atau mendapatkan manfaat yang adil.
Di sinilah prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) menurut United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) tahun 2007 menjadi krusial karena persetujuan masyarakat harus diberikan tanpa paksaan dan manipulasi sebelum proyek berjalan, serta masyarakat lokal memahami sepenuhnya manfaat sekaligus risiko jangka panjang bagi ruang hidup mereka.
Manajemen Risiko dan Nilai Tambah Domestik
Sejak Frank Knight menerbitkan buku "Risk, Uncertainty, and Profit" lebih dari seratus tahun yang lalu, konsep manajemen risiko telah diakui secara fundamental sebagai komponen kunci kebijakan ekonomi. Manajemen risiko ini mencakup sengketa tanah yang meningkatkan biaya operasional, kerusuhan sosial yang menimbulkan ambiguitas hukum dan mengganggu lingkungan investasi.
Tanpa legitimasi sosial, investasi di Papua akan terjebak dalam pertumbuhan yang rapuh di lapangan meskipun tampak cepat di atas kertas. Selain itu, tantangan terbesar adalah memutus siklus transfer surplus. Jika Papua hanya dijadikan lokasi pembukaan lahan tanpa adanya penciptaan nilai tambah domestik dan integrasi industri pengolahan lokal, maka kemakmuran berkelanjutan hanya akan menjadi angan-angan. Ada tiga hal yang dibutuhkan pemerintah.
Pertama, transformasi ekonomi lokal yang tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi membangun kapasitas industri di tanah Papua. Kedua, pengembangan sumber daya manusia harus menjamin bahwa masyarakat lokal memainkan peran penting dalam rantai pasokan, bukan hanya sebagai buruh kasar. Ketiga, sangat penting untuk memiliki perizinan yang jelas yang diaktifkan melalui program kemitraan yang memberikan keterlibatan kepemilikan yang nyata bagi masyarakat adat.
Kemakmuran Bersama atau Sekadar Siklus Eksploitasi Baru?
Penulis mempertanyakan metode ekstraksi saat ini bukan berarti bersikap anti-kemajuan. Papua bukanlah wilayah yang harus diisolasi dari kegiatan ekonomi; sebaliknya, wilayah ini membutuhkan kebijakan yang lebih terfokus.
Penguatan FPIC, transparansi perizinan, serta skema kemitraan yang memberi partisipasi dan kepemilikan nyata bagi masyarakat adat justru dapat mengurangi konflik dan meningkatkan keberlanjutan investasi. Bagi negara dan pelaku usaha, ini bukan beban tambahan, melainkan perlindungan jangka menengah.
Plainview dan Hale tidak pernah bertemu dalam satu cerita. Namun dalam sejarah pembangunan berbasis sumber daya, dua watak ini sering hadir bersamaan. Kisah mereka mengajarkan kita bahwa kekerasan hadir melalui struktur hukum, kontrak, dan narasi pembangunan yang terdengar rasional. Ketika legitimasi sosial diabaikan, pembangunan memang bisa bergerak cepat tetapi sering meninggalkan masalah yang mahal untuk diselesaikan.
Oleh karena itu, "pertemuan" Plainview dan Hale di Papua harus dihindari, karena Papua membutuhkan kebijakan yang lebih terfokus, di mana kemakmuran bersama menjadi tujuan utama, bukan sekadar melanjutkan siklus eksploitasi lama dengan kemasan baru.
(miq/miq)