Lux in Tenebris: Menemukan Terang Natal di Palungan Realitas Indonesia
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di pelosok Sumatra yang terdampak, denting lonceng gereja tak lagi terdengar; yang ada hanyanya rintik hujan yang tiada henti dan desau angin yang mengiringi duka. Saat dunia mempersiapkan pohon cemara dan lampu gemerlap, tanah di sana basah oleh banjir, retak oleh longsor, dan bergetar oleh gempa.
Dalam kontras yang begitu menyayat, perayaan Natal 2025 menghampiri kita. Bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sebuah undangan yang sangat religius: untuk menghentikan sejenak riuh duniawi, dan dengan rendah hati membaca "tanda-tanda zaman" yang tersaji di hadapan kita.
Bagi umat Kristiani, esensi Natal adalah "inkarnasi", verbum caro factum est, yakni Firman yang menjadi manusia dan tinggal di tengah manusia. Tuhan yang masuk ke dalam sejarah manusia. Ia tidak memilih lahir di istana megah, melainkan di palungan yang sederhana dan rapuh.
Pesannya jelas: Tuhan tidak menjauh dari realitas manusia yang berdebu, penuh masalah, dan penuh air mata. Ia tidak berdiri di atas dunia sebagai pengamat, melainkan turun dan merasakan lapar, dingin, takut, dan tangis.
Ia justru memilih untuk hadir di dalamnya. Itulah mengapa Gereja menyebut Natal sebagai misteri "Sang Ilahi yang merendahkan diri" atau kenosis. Natal, dengan demikian, bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan keberanian untuk menyelami kenyataan dengan mata iman.
Iman ini menuntut untuk quaerere et salvum facere (mencari dan menyelamatkan), melalui aksi nyata dalam realitas sosial dan ekologis. Jika Tuhan saja rela masuk ke dalam palungan dunia kita yang berantakan, lalu apa alasan kita untuk menutup mata?
Realitas politik tanah air hari ini pun menawarkan palungannya sendiri. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menegaskan bahwa politik Indonesia haruslah "bercirikan jati diri bangsa," sebuah paradigma yang khas dan tidak meniru mentah-mentah demokrasi Barat.
Ini adalah wacana yang penting, tapi tantangannya adalah mengisi "jati diri" itu dengan roh yang sesuai semangat Natal: politik yang mempersatukan, bukan memecah; yang melayani, bukan menguasai.
Semangat pax et bonum (damai dan kebaikan) harus menjadi fondasi, di mana persaingan yang sehat saat kontestasi berubah menjadi gotong royong setelahnya. Politik yang berjati diri sejati adalah politik yang berani lahir di 'palungan' kerendahan hati untuk melayani yang tersingkir.
Di palungan ekonomi, laporan Bank Indonesia dan BPS memberikan gambaran yang relatif stabil. Inflasi tahunan November 2025 tercatat 2,72%, masih dalam rentang target pemerintah. Pertumbuhan ekonomi juga bertahan di kisaran 5%, didorong oleh konsumsi masyarakat dan surplus neraca perdagangan yang bertahan puluhan bulan.
Namun, di balik angka-angka makro ini, masih ada "palungan" lain: tekanan daya beli, ketimpangan wilayah, dan kualitas penyerapan tenaga kerja yang masih perlu diperbaiki. Ekonomi yang stabil adalah berkat, tetapi ekonomi yang berkeadilan adalah panggilan Natal. Kemakmuran sejati bukan diukur dari tingginya pohon cemara di mall, melainkan dari tidak adanya keluarga yang harus merayakan Natal di tenda pengungsian dengan perut keroncongan.
Di sinilah palungan-palungan itu bertemu: politik, ekonomi, dan bencana ekologis. Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 bukanlah fenomena alam yang berdiri sendiri.
Krisis ekologis ini adalah persoalan cara pandang kita terhadap alam, yang kerap hanya dilihat sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai sesama ciptaan yang memiliki martabat. Deforestasi dan alih fungsi lahan telah membuat bumi "letih," dan kita semua menanggung risikonya. Kita mungkin tak bisa menghentikan hujan, tetapi kita pasti bisa menghentikan keserakahan yang membuat tanah tak lagi mampu menahannya.
Namun, dari palungan bencana yang gelap itu, justru lahir terang solidaritas yang membanggakan. Presiden langsung memerintahkan mobilisasi bantuan melalui pesawat militer. Lebih menghangatkan lagi, gelombang kepedulian dari masyarakat bergulir.
Ribuan pelari berkumpul di Candi Borobudur dalam "Desember Run 2025," bukan sekadar untuk berlari, tetapi untuk menggalang donasi bagi saudara-saudara di Sumatra. Termasuk dari banyak perusahaan, lembaga kemanusiaan, lembaga keagamaan, hingga perorangan.
Aksi-aksi seperti ini adalah inkarnasi nyata dari semangat caritas (kasih) yang menjadi jantung iman. Mereka menjawab pertanyaan reflektif Natal: sudahkah iman kita "mencari dan menyelamatkan" dalam wujud nyata? Solidaritas adalah bahasa universal yang lebih lantang dari gemuruh ombak dan lebih terang dari gemerlap lampu natal.
Palungan Betlehem mengajarkan sesuatu yang jarang diajarkan oleh dunia politik dan ekonomi: bahwa yang kecil bisa menjadi pusat sejarah. Yesus tidak lahir di Yerusalem, pusat kekuasaan religius, atau di Roma, pusat imperium, tetapi di sebuah kota kecil yang nyaris tak penting.
Dalam bahasa Latin, Deus in minimis, Tuhan hadir dalam hal-hal kecil. Ini adalah kritik diam-diam terhadap logika dunia yang selalu memuja yang besar, yang kuat, yang kaya. Ketika kita hanya memikirkan proyek raksasa, angka-angka fantastis, dan elite-elite politik, kita sering lupa bahwa nasib bangsa ini ditentukan oleh jutaan orang kecil: petani, buruh, nelayan, guru honorer, dan para korban bencana. Natal menggeser pusat perhatian kita dari istana ke palungan.
Bencana besar di Sumatra baru-baru ini-banjir bandang, longsor, dan ribuan orang yang harus mengungsi-adalah pengingat pahit bahwa kita hidup di sebuah negeri yang rapuh, baik secara ekologis maupun sosial. Alam seperti sedang berbicara dengan bahasa yang keras: ada yang tidak beres dengan cara kita memperlakukan bumi. Dalam iman Kristiani, bumi bukan sekadar sumber daya, melainkan domus communis, sebuah rumah bersama.
Paus Fransiskus berulang kali mengingatkan bahwa krisis lingkungan dan krisis sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Ketika hutan digunduli dan sungai disempitkan, yang pertama kali menderita bukanlah elite, melainkan orang kecil yang tinggal paling dekat dengan alam. Natal memanggil kita untuk merawat bumi sebagaimana kita merawat seorang bayi.
Di tengah segala kerumitan ini, ada godaan besar untuk menjadi sinis. Banyak orang berkata, "Untuk apa bicara moral jika politik sudah kotor?" atau "Untuk apa berbicara iman jika perut lapar?" Tetapi justru di situlah iman Natal menjadi relevan. Yesus lahir di tengah kemiskinan, bukan setelah kemiskinan dihapuskan. Ia tidak menunggu dunia menjadi ideal untuk datang.
Gratia non tollit naturam, sed perficit, rahmat tidak menghapus kenyataan, tetapi menyempurnakannya. Iman tidak mengajak kita melarikan diri dari realitas, melainkan mengubah cara kita menghadapinya. Natal bukan pelarian, melainkan keberanian untuk tinggal dan berjuang.
Filosof Romawi kuno, Seneca, pernah menulis, non est ad astra mollis e terris via, "tidak ada jalan mudah dari bumi ke Bintang". Hidup memang berat, dan sejarah manusia selalu penuh luka. Tetapi Natal menambahkan satu kalimat baru dalam buku tebal penderitaan itu: bahwa Tuhan tidak jauh dari luka-luka kita.
Dalam bayi yang dibungkus kain lampin itu, ada janji bahwa setiap air mata suatu hari akan diusap. Janji ini tidak membuat kita pasif; sebaliknya, ia memanggil kita untuk menjadi tangan-tangan yang mengusap air mata sesama. Natal mengubah harapan menjadi tugas.
Dalam konteks Indonesia, tugas itu sangat konkret. Ia berarti keberanian untuk menuntut kebijakan publik yang adil, kepedulian terhadap korban bencana yang tidak boleh hanya menjadi berita sesaat, dan solidaritas lintas agama serta golongan. Natal ini tidak eksklusif; ia bersifat "universal" (catholicus).
Akhirnya, mungkin pertanyaan terpenting Natal bukanlah "Bagaimana kita merayakannya?", melainkan "Bagaimana kita diubah olehnya?" Apakah kita akan tetap menjadi bangsa yang keras dan mudah marah, atau bangsa yang belajar dari kelembutan seorang bayi? Apakah kita akan terus membiarkan yang kuat menindas yang lemah, atau kita mulai membangun struktur sosial yang lebih adil?
Tempora mutantur, nos et mutamur in illis, "zaman berubah, dan kita pun harus berubah bersamanya". Natal sejati bukan hanya terjadi di Betlehem, tetapi di dalam hati yang berani berubah.
Maka, di penghujung tahun 2025 ini, Natal datang dengan pesannya yang mendalam. Ia mengajak kita untuk tidak tenggelam dalam keputusasaan melihat banjir di Sumatra, kegaduhan politik, atau jurang ketimpangan. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk melihat seperti cara Tuhan melihat: menemukan potensi kelahiran dan terang justru di dalam palungan-palungan kenyataan yang paling suram.
Setiap bantuan yang disalurkan, setiap kebijakan yang pro rakyat kecil, setiap keputusan bisnis yang beretika, dan setiap perubahan gaya hidup yang ramah lingkungan adalah sebentuk "inkarnasi" kecil-kehadiran ilahi yang mewujud dalam aksi manusiawi.
Ketika lonceng-lonceng gereja berdentang dan lagu-lagu Natal kembali dinyanyikan, marilah ingat bahwa di luar sana masih ada mereka yang bernyanyi dengan suara gemetar di pengungsian, mereka yang berdoa sambil memeluk anak-anaknya di tengah banjir, dan mereka yang berharap bahwa negeri ini masih punya masa depan.
Kepada merekalah Natal paling pertama-tama ditujukan. Sebab di dalam setiap palungan yang sederhana, Tuhan terus berbisik: Noli timere, "jangan takut". Dan mungkin, di situlah Indonesia bisa mulai menemukan kembali jiwanya.
(miq/miq)