Green Economy dalam Perspektif Maqashid Syariah
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan sekadar catatan duka di akhir tahun. Bencana ini adalah peringatan keras bahwa terganggunya hubungan antara manusia dengan alam.
Air yang meluap, tanah yang longsor, rumah yang terseret arus, dan nyawa yang hilang bukanlah suatu kebetulan. Bencana ini merupakan akumulasi panjang dari cara kita membangun, mengelola sumber daya, dan memandang alam semata sebagai objek eksploitasi ekonomi.
Di tengah krisis ini, perdebatan tentang green economy kembali menguat. Namun pertanyaannya bukan lagi apakah ekonomi hijau penting, melainkan ialah ekonomi hijau seperti apa yang kita bangun?
Apakah ekonomi hijau hanya sekadar label baru dari praktik lama yang eksploitatif, atau benar-benar sebuah paradigma etis yang menempatkan keselamatan manusia dan keberlanjutan alam sebagai tujuan utama? Di sinilah perspektif maqashid syariah menjadi relevan dan mendesak untuk dihadirkan ke ruang publik.
Bencana yang terjadi di wilayah Sumatra menunjukkan satu pola yang konsisten, yaitu curah hujan ekstrem bertemu dengan bentang alam yang rusak. Hutan di hulu sungai menyusut, daerah resapan air berkurang, alih fungsi lahan berlangsung agresif, sementara tata ruang sering kali dikalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Ketika hujan turun, alam tidak lagi mampu menahan dan mengatur air sebagaimana mestinya.
Banjir bandang dan longsor akhirnya menjadi "keniscayaan" yang akan terjadi. Padahal, yang terjadi bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana ekologis dan kebijakan. Dalam konteks ini, korban terbesar selalu masyarakat kecil yaitu petani yang kehilangan sawahnya, pedagang yang usahanya hancur, anak-anak yang terputus sekolah, dan keluarga yang kehilangan tempat tinggal.
Ironisnya, biaya pemulihan pascabencana selalu jauh lebih besar dibandingkan biaya pencegahan. Negara mengeluarkan triliunan rupiah untuk rekonstruksi, sementara kerusakan lingkungan yang menjadi akar masalah sering kali tidak disentuh secara serius. Di sinilah kegagalan paradigma pembangunan lama semakin nyata.
Secara konseptual, green economy menjanjikan sebuah pendekatan pembangunan yang lebih ramah lingkungan, rendah karbon, dan berkelanjutan. Ia menolak pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan daya dukung alam. Dalam ekonomi hijau, keberhasilan tidak hanya diukur dari pertumbuhan PDB, tetapi juga dari kualitas lingkungan, ketahanan sosial, dan kesejahteraan jangka panjang.
Namun dalam praktik global, green economy kerap terjebak pada pendekatan teknokratis dan elitis. Ekonomi hijau hadir dalam bentuk laporan ESG, proyek hijau berskala besar, atau insentif investasi yang tidak selalu menyentuh akar ketidakadilan ekologis.
Tanpa fondasi moral yang kuat, ekonomi hijau berisiko menjadi "hijau di permukaan, eksploitatif di dalam." Karena itu, green economy membutuhkan landasan etika yang lebih kokoh. Pada posisi inilah maqashid syariah menawarkan kerangka nilai yang utuh.
Dalam Islam, ekonomi bukan tujuan akhir, melainkan instrumen untuk menjaga kehidupan. Konsep maqashid syariah merumuskan tujuan utama syariat: menjaga agama (hifz al-din), menjaga nyawa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-'aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal).
Jika ditarik ke dalam konteks kontemporer, seluruh tujuan ini mustahil tercapai tanpa lingkungan yang lestari. Banjir dan longsor secara langsung mengancam hifz al-nafs. Kerusakan ekologis yang berulang menghancurkan mata pencaharian, melanggar hifz al-mal.
Ketika bencana memutus akses pendidikan dan kesehatan, ia juga menggerus hifz al-'aql dan hifz al-nasl. Dengan kata lain, krisis lingkungan adalah krisis maqashid.
Islam tidak memandang manusia sebagai pemilik mutlak alam, melainkan sebagai khalifah yaitupenjaga amanah.
Prinsip la darar wa la dirar (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain) menegaskan bahwa setiap aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan dan membahayakan manusia bertentangan dengan nilai dasar syariah.
Mengaitkan green economy dengan maqashid syariah berarti menggeser fokus pembangunan dari sekadar efisiensi dan keuntungan menuju keselamatan, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam perspektif ini, menjaga hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan hanya soal konservasi lingkungan, tetapi juga soal perlindungan nyawa dan masa depan generasi.
Restorasi daerah aliran sungai bukan proyek teknis semata, melainkan kewajiban moral negara. Investasi pada energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan tata kota berbasis mitigasi bencana bukan pilihan opsional, melainkan konsekuensi logis dari tanggung jawab syariah.
Green economy berbasis maqashid juga menuntut keadilan sosial. Tidak adil jika keuntungan eksploitasi sumber daya dinikmati segelintir pihak, sementara risiko bencana ditanggung masyarakat luas. Dalam kerangka ini, ekonomi hijau harus berpihak pada komunitas lokal seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem.
Indonesia sebenarnya memiliki modal besar untuk mengembangkan green economy berbasis maqashid. Instrumen ekonomi syariah seperti zakat, wakaf, dan sukuk dapat diarahkan untuk mendukung ketahanan ekologis.
Zakat, misalnya, tidak hanya dimaknai sebagai bantuan konsumtif, tetapi juga sebagai instrumen adaptasi iklim untuk membantu masyarakat miskin membangun mata pencaharian yang lebih tahan bencana. Wakaf produktif dapat dikembangkan untuk restorasi hutan, pengelolaan air, dan pertanian berkelanjutan.
Sementara green sukuk dapat menjadi sumber pembiayaan jangka panjang bagi infrastruktur hijau dan mitigasi risiko bencana. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa ekonomi syariah bukan sekadar alternatif sistem keuangan, tetapi arsitektur moral bagi pembangunan berkelanjutan.
Tragedi banjir dan longsor di Sumatra seharusnya mengakhiri pola pikir reaktif. Selama ini, negara sering hadir kuat setelah bencana, tetapi lemah sebelum bencana. Padahal, dalam perspektif maqashid, mencegah kerusakan jauh lebih utama daripada memperbaiki kerusakan.
Pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan pada akhirnya adalah pembangunan yang mahal, rapuh, dan tidak berkeadilan. Sebaliknya, pembangunan hijau berbasis maqashid mungkin terlihat lebih lambat dan mahal di awal, tetapi jauh lebih murah dan manusiawi dalam jangka panjang.
Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi, tetapi juga cermin. Bencana ini memantulkan kegagalan kita membaca alam sebagai mitra kehidupan. Green economy dalam perspektif maqashid syariah menawarkan paradigma yang tidak hanya mengatasi krisis lingkungan, tetapi juga memperkuat etika sosial dan spiritual dalam pengelolaan ekonomi.
Bencana ini mengingatkan bahwa tujuan akhir pembangunan bukanlah angka pertumbuhan, melainkan keselamatan manusia dan keberlanjutan kehidupan. Bahwa ekonomi seharusnya menjaga, bukan menghancurkan, serta bahwa membela lingkungan sejatinya adalah membela maqashid itu sendiri.
Jika pembangunan ekonomi dan tata kelola lingkungan berjalan seiring dengan nilai-nilai maqashid syariah seperti keberlanjutan, keadilan, dan kebaikan bersama, maka bencana besar pun bisa diubah menjadi pelajaran transformatif untuk masa depan Indonesia yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan.
(miq/miq)