Saat Narasi Krisis Mendahului Data: Catatan Kritis atas Peringatan BI

Perdana Wahyu Santosa,  CNBC Indonesia
15 December 2025 14:45
Perdana Wahyu Santosa
Perdana Wahyu Santosa
Prof. Perdana Wahyu Santosa merupakan Guru Besar Ilmu Ekonomi Keuangan dan Bisnis sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas YARSI. Ia juga mengemban amanah sebagai Direktur Riset GREAT Institute dan Founder/CEO SAN Scientific. Sejumlah aman.. Selengkapnya
Seorang Karyawan berdiri di depan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (11/9/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Seorang karyawan berdiri di depan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (11/9/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Peringatan Bank Indonesia (BI) tentang risiko krisis global ala 2008 kembali mengemuka, kali ini lewat pemberitaan yang menyorot ancaman krisis "terulang lagi."

BI, dalam laporan Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional (PEKKI) 2025, menekankan tiga sumber guncangan utama, yaitu utang publik yang menumpuk, suku bunga tinggi, dan perilaku agresif lembaga keuangan non-bank (non-bank financial intermediation/NBFI) yang banyak bermain di surat utang negara maju dan derivatif kompleks dengan margin serta modal yang tipis.

Angkanya memang tidak kecil. BI mencatat utang publik global telah mencapai sekitar US$110,9 triliun atau 94,6 persen PDB dunia. Selanjutnya, IMF dalam Global Financial Stability Report terbaru juga memperingatkan valuasi aset berisiko-saham teknologi, kredit korporasi-yang "cukup terekspos" terhadap risiko koreksi tajam jika ekspektasi laba tak terpenuhi, sementara pasar obligasi pemerintah tertekan oleh defisit fiskal yang melebar, demikian lapor Reuters.

Di saat yang sama, IMF dan otoritas global menyoroti kenaikan peran NBFI yang mana sektor ini kini mengelola hampir separuh aset keuangan dunia dan keterkaitannya dengan perbankan-melalui repo, kredit sindikasi, dan jalur pendanaan lain yang semakin rapat. Beberapa studi BIS menunjukkan bahwa sejak krisis 2008, rasio aset NBFI terhadap PDB global naik jauh lebih cepat dibanding aset perbankan.

Gambaran ini sah-sah saja untuk menumbuhkan atensi dan kewaspadaan. Namun kemudian meloncat pada kesimpulan bahwa "krisis 2008 siap diputar ulang" tampaknya mengabaikan fakta penting yaitu arsitektur keuangan global 2025 tentunya sangat berbeda dari 2008, baik dari sisi sumber risiko maupun dari perangkat penanggulangan krisis.

Kita saat ini tidak lagi hidup di dunia yang buta terhadap leverage tersembunyi dan produk derivatif kompleks. Kita hidup di dunia yang trauma oleh 2008, dengan regulator yang jauh lebih curiga dan toolkit kebijakan yang jauh lebih lengkap.

Mengapa "Copy-Paste" Krisis 2008 Sulit Terjadi?
Untuk menilai apakah sejarah akan berulang, kita perlu ingat apa yang benar-benar runtuh pada 2008. Saat itu, bank global sarat leverage dan modal tipis, produk subprime mortgage yang disekuritisasi memenuhi neraca bank dan regulasi modal dan likuiditas longgar, stress test lemah, transparansi rendah. Maka ketika harga rumah jatuh, kerugian langsung menghantam jantung sistem, yaitu perbankan.

Pasca 2008, respons regulasi global sangat agresif. Basel III menaikkan standar modal dan likuiditas, memperketat stress test, dan mendorong transparansi risiko. Produk derivatif standar diwajibkan masuk central clearing, sehingga eksposur antar-pihak lebih terukur.

Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa pada akhir 2022, rata-rata liquidity coverage ratio (LCR) perbankan sekitar 244 persen dan net stable funding ratio (NSFR) 140 persen, jauh di atas ambang batas regulasi 100 persen.

Ini artinya, bukan hanya bantalan modal yang tebal, tetapi juga bantalan likuiditas kas dan aset likuid berperingkat tinggi yang jauh lebih kuat dibanding sebelum 2008. Penilaian IMF melalui Financial Sector Assessment Program (FSAP) 2024 konsisten dengan gambaran ini: sistem keuangan Indonesia dinilai memiliki bantalan modal dan likuiditas yang kuat, meskipun ukurannya relatif kecil dan masih didominasi perbankan.

Produk derivatif standar kini diwajibkan melalui central clearing sehingga eksposur antarpihak lebih terukur dan tidak tersebar secara gelap di neraca over-the-counter. Banyak yurisdiksi-termasuk Indonesia-memperkuat kerangka makroprudensial seperti rasio loan-to-value (LTV), countercyclical capital buffer, dan pengawasan terintegrasi bank-NBFI yang mulai menjadi praktik umum menurut IMF.

Risiko hari ini sudah bergeser. IMF dan beberapa laporan internasional menyebut peta baru kerentanan global: valuasi aset yang mahal, eksposur bank ke hedge fund dan private credit yang besar, serta risiko likuiditas di NBFI dan dana terbuka. Artinya, jika terjadi guncangan (shock), "gelombang pertama" kemungkinan besar muncul di sektor non-bank dan pasar modal, bukan di perbankan tradisional seperti 2008.

Apakah ini jinak? Tentu tidak. Namun bedanya adalah masalahnya sudah lebih dulu dikenali. IMF, BIS, G20, dan regulator nasional kini secara eksplisit telah memetakan risiko NBFI dan keterkaitannya dengan bank.

Toolkit krisis sudah siap. Swap line bank sentral, fasilitas likuiditas darurat, hingga kerangka resolusi bank dan aturan bail-in kini sudah tersedia-hal yang pada 2008 banyak dibangun sambil "memadamkan kebakaran".

Apakah bisa muncul krisis baru? Bisa saja terjadi. Namun apakah bentuknya akan sama persis dengan 2008? Sangat kecil kemungkinannya. Ekonomi dunia, berdasarkan pengalaman, jarang mengulang bab yang sama dengan skrip identik; yang berulang biasanya adalah kelalaian berpikir kritis, bukan pola angka-anganya.

Indonesia: Rentan, Tapi Jauh dari Rapuh
Bagaimana posisi Indonesia dalam lanskap global yang gelisah ini? Di sinilah narasi "krisis 2008 terulang" sering kali tidak sinkron dengan data domestik dan data konektivitas keuangan lintas negara.

Pertama, permodalan perbankan sangat tebal. Data OJK menunjukkan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Indonesia berada di kisaran 26-27 persen, jauh di atas ketentuan minimum dan di antara yang tertinggi di ASEAN. IMF FSAP 2025 mencatat bahwa Tier 1 capital bank di Indonesia rata-rata di atas 25 persen, dan banyak bank memegang likuiditas berupa SBN jauh di atas kewajiban minimum.

Kedua, kerentanan makro-keuangan relatif rendah. IMF juga menilai tingkat kerentanan makrofinansial Indonesia saat ini "rendah"; tidak ada ledakan kredit konsumsi dan properti seperti yang terjadi di banyak negara sebelum 2008. Rumah tangga berutang sekitar 17 persen PDB dan Indonesia tidak mengalami "housing boom" besar selama era suku bunga rendah.

Ketiga, stabilitas sistem keuangan dijaga oleh koordinasi kebijakan. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam pernyataan triwulan 2025 menyebut stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, fungsi intermediasi perbankan membaik, dan risiko eksternal dimitigasi lewat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal. Di bawah kerangka UU P2SK, koordinasi BI-OJK-LPS-Kemenkeu justru makin diperkuat.

Dari sisi eksposur lembaga global ke Indonesia, data Bank Dunia menunjukkan bahwa klaim bank-bank internasional terhadap peminjam di Indonesia-gabungan pinjaman lintas batas dan pinjaman kantor cabang luar negeri-setara sekitar 17,5 persen PDB pada 2020, naik dari sekitar 15% beberapa tahun sebelumnya.

Angka ini menunjukkan Indonesia terhubung dengan sistem keuangan global, tetapi tidak berada pada level keterhubungan ekstrem seperti negara pusat keuangan (financial hub) yang rasio klaim asingnya bisa puluhan kali lipat PDB.

Di pasar obligasi rupiah, laporan Asia Bond Monitor Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank / ADB) mencatat bahwa ukuran pasar obligasi mata uang lokal Indonesia mencapai sekitar Rp 6.786,5 triliun pada akhir Maret 2024. Mayoritas terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah. Komposisi pemiliknya penting: investor domestik memegang sekitar 85,8 persen obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan, sementara investor asing sekitar 14,2 persen.

Apa artinya? Investor asing jelas signifikan dan bisa memicu volatilitas yield SBN serta nilai tukar ketika mereka menjual. Namun dominasi investor domestik yang besar membuat risiko "sudden stop" ala pasar kecil yang dikuasai asing relatif lebih teredam.

Sebaliknya, dari sisi eksposur Indonesia ke lembaga global, konektivitas yang sering luput adalah reasuransi. Reasuransi adalah "asuransi bagi perusahaan asuransi"-ketika perusahaan asuransi di Indonesia menjual polis, sebagian risiko tersebut dijual lagi ke perusahaan reasuransi, termasuk ke luar negeri.

OJK mencatat bahwa sepanjang 2024 sekitar 40,2 persen premi dari aktivitas reasuransi masih mengalir ke luar negeri. Ini berarti sebagian besar perlindungan risiko bencana besar, industri, dan infrastruktur kita masih ditopang kapasitas modal global.

Jika pasar reasuransi global terguncang-misalnya karena kerugian besar atau pengetatan regulasi di pusat finansial dunia-konsekuensinya bukan hanya kenaikan premi dalam negeri, tetapi juga potensi gap perlindungan: risiko yang tadinya bisa disebar keluar negeri harus lebih banyak ditahan di neraca domestik. Di sinilah konektivitas NBFI global (perusahaan reasuransi dan dana investasi besar) ke Indonesia menjadi relevan bagi analisis krisis.

Apakah Indonesia bebas masalah? Tentu tidak juga. Segmen asuransi, dana pensiun, produk unit link, serta pembiayaan non-bank tetap menyimpan pekerjaan rumah serius dari sisi tata kelola, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen.

Ketergantungan reasuransi ke luar negeri yang masih tinggi juga berarti defisit neraca jasa asuransi yang persisten dan potensi tekanan jika kapasitas global menyempit. Namun itu lebih tepat dilihat sebagai agenda reformasi struktural jangka menengah, bukan "bom waktu" yang siap meledak besok pagi.

Singkatnya: Indonesia pasti terdampak volatilitas global-rupiah bisa berfluktuasi, IHSG bisa terkoreksi, aliran modal bisa keluar masuk lebih liar. Konektivitas keuangan kita-baik melalui kepemilikan asing di SBN maupun penggunaan reasuransi global-membuka pintu transmisi guncangan. Tetapi jarak antara volatilitas pasar dan krisis sistemik masih sangat lebar. Di ruang lebar itu, kebijakan bekerja.

Waspada, Rasional, dan Optimistis
Peringatan BI soal risiko krisis global ini perlu dibaca sebagai ajakan memperbaiki arsitektur keuangan-global dan domestik-bukan sebagai undangan untuk panik nasional. Di tingkat dunia, fokusnya jelas: memperketat pengawasan terhadap NBFI dan eksposur silang dengan bank, menata kembali disiplin fiskal negara-negara berutang besar, dan membangun kerangka regulasi yang matang untuk aset kripto dan inovasi keuangan baru.

Di Indonesia, tugasnya juga konkret, yaitu memperdalam pasar keuangan rupiah, mengurangi mismatch valuta asing, memperkuat regulasi dan pengawasan lembaga keuangan non-bank, sekaligus menjaga disiplin fiskal agar ruang kebijakan tetap lebar ketika guncangan datang.

Namun yang berbahaya justru dua ekstrem: meremehkan risiko seolah dunia kini "kebal krisis"; atau menakut-nakuti publik dengan narasi "2008 jilid dua" tanpa konteks yang jelas, sehingga memperburuk ekspektasi dan volatilitas.

Di sinilah stress test sistemik menjadi alat kunci. Bukan sekadar uji rutin di level bank, tetapi simulasi terpadu yang menggabungkan skenario penarikan dana asing, koreksi tajam harga aset, dan pengetatan kapasitas reasuransi global, lalu menelusuri bagaimana guncangan tersebut merambat ke perbankan, NBFI, nilai tukar, dan akhirnya ke APBN.

Selama peta konektivitas dan hasil stress test itu terbuka di meja pembuat kebijakan, jarak antara volatilitas pasar dan krisis sistemik bisa dijaga tetap lebar.

Ekonomi modern berdiri di atas kepercayaan dan ekspektasi. Artikel seperti ini dan seharusnya juga tugas otoritas-bukan menebar histeria, melainkan menumbuhkan kewaspadaan yang rasional yaitu mengakui risiko, memperbaiki fondasi, dan pada saat yang sama memberi alasan yang sahih untuk tetap optimistis.

Krisis subprime mortgage 2008 mengajarkan harga mahal dari kebutaan terhadap risiko. Pada akhir 2025 ini, menuntut pelajaran yang berbeda terutama berani jujur melihat kerentanan, tetapi juga berani percaya bahwa dengan regulasi yang lebih kuat, koordinasi kebijakan yang lebih rapi, dan stress test sistemik yang rutin, sistem keuangan domestik yang makin matang dan siap menahan guncangan.

Indonesia tidak sedang menunggu bencana finansial yang sama-kita sedang menyiapkan diri agar guncangan berikutnya hanya menjadi episode turbulensi yang sudah dipetakan dalam skenario stress test, bukan akhir permainan.


(miq/miq)