Ironi Pajak Industri Jasa Keuangan dan Asuransi

Muhammad Ridho,  CNBC Indonesia
09 December 2025 10:32
Muhammad Ridho
Muhammad Ridho
Muhammad Ridho merupakan Manager Tax Compliance di MUC Consulting sekaligus Researcher di MUC Tax Research Institute. Rutinitas penggemar sepak bola dan penikmat slow walking ini adalah memastikan penghitungan pajak WP sesuai aturan. Selain itu, Ridho juga.. Selengkapnya
Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi usai hujan di Jakarta, Kamis (16/6/2023). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi usai hujan di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Meski menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak nasional, sektor keuangan dan asuransi justru menghadapi tantangan pajak yang tak sederhana. Betapa tidak, perusahaan di sektor ini harus menghadapi suatu dilema pajak, tuntutan membuat faktur pajak standar dalam skala yang sangat besar.



Pemberlakuan jasa keuangan dan asuransi menjadi objek PPN yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan menimbulkan beragam tafsir serta tantangan administratif yang hingga kini masih menjadi perhatian utama bagi pelaku industri maupun otoritas pajak.

Akar dilema ini bermula pada 2022, ketika pemerintah mengubah status jasa keuangan dan asuransi yang sebelumnya dikecualikan dari PPN, menjadi Jasa Kena Pajak (JKP) dengan fasilitas dibebaskan.

Alasan pemerintah sebenarnya cukup jelas, yaitu memperluas basis data perpajakan. Selama ini akses otoritas pajak terhadap data industri keunagan sangat terbatas. Informasi yang tersedia hanya bersumber dari laporan keuangan, sementara data detail transaksi baru dapat diperoleh melalui pemeriksaan atau permintaan data formal.

Dengan perubahan status menjadi PKP, pelaku industri kini wajib menerbitkan Faktur Pajak dan menyampaikan SPT PPN. Dari perspektif fiskus, situasi ini meningkatkan transparansi. Namun dari perspektif pelaku, konsekuensinya jauh lebih melelahkan.

Nilai Tambah yang Tak Kasat Mata

Berbeda dengan barang, di mana nilai tambah tercipta di setiap rantai produksi secara terukur, nilai tambah dalam jasa keuangan dan asuransi tidak sesederhana itu. Pada pembiayaan, nilai tambah tersembunyi dalam spread bunga. Sementara pada produk asuransi berupa premi mengandung elemen risiko, cadangan klaim, hingga biaya administrasi yang tidak semuanya mencerminkan konsumsi jasa yang dapat dipajaki.

OECD sejak lama menempatkan jasa keuangan dan asuransi sebagai area abu-abu dalam PPN karena kesulitan menentukan dasar pengenaan pajak yang mencerminkan nilai tambah riil. Ini pula alasan sebagian besar negara memilih pengecualian penuh atau pengenaan terbatas.

Indonesia mengambil jalan tengah yang lebih berat, yaitu menjadikannya objek PPN, tetapi dibebaskan. Konsekuensinya, beban tidak lagi pada pengenaan pajak, tetapi pada kewajiban administrasi.

Tingginya Biaya Kepatuhan Pajak
Bagi konsumen, perubahan ini mungkin tak terasa karena tidak ada tambahan biaya. Namun bagi industri, perubahan status sebagai JKP memicu gelombang penyesuaian yang tidak ringan.

Pertama, timbulnya beban penerbitan faktur pajak massal. Skala transaksi industri keuangan, terutama perbankan dan pembiayaan, bisa mencapai ribuan hingga jutaan transaksi bulanan. Kewajiban menerbitkan Faktur Pajak untuk masing-masing transaksi tentu tidak realistis tanpa solusi teknis.

Saat ini, pelaku industri belum dapat menggunakan dokumen yang dipersamakan sebagai Faktur Pajak, sehingga pilihan mereka terbatas pada Faktur Pajak standar atau faktur digunggung.

Keduanya membutuhkan penyesuaian sistem yang signifikan, mulai dari integrasi data hingga kualitas output dokumen yang memenuhi ketentuan formal. Tanpa pedoman teknis yang jelas, risiko fiskal tidak dapat dihindari, mulai dari faktur tidak valid hingga sanksi administrasi.

Kedua, timbulkan kebingungan dalam menentukan dasar pengenaan pajak (DPP). Penentuan DPP pada jasa keuangan dan asuransi menjadi persoalan yang tak kalah rumit. Apakah seluruh pembayaran pelanggan dianggap DPP? Apakah hanya komponen imbal jasa tertentu?

Tanpa kepastian, perusahaan berada dalam posisi rawan. Kesalahan sekecil apa pun dapat berujung pada koreksi faktur dan sanksi 1% dari DPP. Dalam industri dengan volume transaksi sangat besar, risiko ini bukan hanya soal angka, melainkan soal keberlanjutan operasional.

Belajar dari Praktik Global
Sejumlah negara mencoba menjawab problem klasik pemajakan jasa keuangan melalui pendekatan yang lebih struktural. Brasil, misalnya, mengadopsi margin-based VAT, yang mengenakan PPN hanya atas margin intermediasi. Pendekatan ini dianggap lebih adil dan fungsional karena memisahkan komponen nilai tambah dari komponen risiko dan pendanaan.

Sementara itu, Uni Emirat Arab memilih pendekatan sektoral yang membedakan jasa asuransi murni risiko yang dikenakan PPN dan produk asuransi jiwa atau investasi yang dibebaskan. Kebijakan ini memberi kejelasan, sekaligus menghindari pemajakan ganda terhadap elemen tabungan atau investasi.

Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa ada banyak solusi yang lebih presisi, selama regulasinya dirancang secara rinci dan operasional.

Mendesaknya Pedoman Teknis yang Lebih Jelas
Dari sudut pandang industri, persoalan utama sebenarnya bukan pada status sebagai JKP dibebaskan, tetapi pada ketidakjelasan dan ketidaksiapan kerangka teknis. Tanpa pedoman detail penggunaan faktur digunggung, format dokumen khusus yang dipersamakan, metode penentuan DPP, dan mekanisme mitigasi sanksi administrasi, implementasi ketentuan PPN bagi jasa keuangan dan asuransi berpotensi menimbulkan beban kepatuhan yang tidak proporsional.

Di tengah upaya pemerintah mendorong pertumbuhan kredit, penetrasi asuransi, dan stabilitas sektor keuangan, kebijakan pajak semestinya tidak menambah friksi yang menghambat operasional industri.

Perluasan basis pajak adalah tujuan yang sah. Namun basis yang kuat harus dibangun dengan fondasi regulasi yang jelas dan eksekusi yang feasible. Industri keuangan dan asuransi adalah tulang punggung perekonomian; tanpa kejelasan teknis, mereka menghadapi risiko administrasi yang tidak perlu dan menguras sumber daya yang seharusnya difokuskan pada layanan dan inovasi.

Kini saatnya pemerintah bergerak cepat: menerbitkan aturan teknis yang komprehensif dan memberikan kepastian operasional. Tanpa itu, ironi ini akan terus berlanjut, industri yang besar dalam kontribusi, tetapi dibebani oleh kewajiban yang tidak sepadan.


(miq/miq)