Ketika Monopoli Teknologi Membunuh Difusi Inovasi

Ukay Karyadi,  CNBC Indonesia
21 November 2025 08:15
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi
Ukay Karyadi seorang ekonom, mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum terpilih menjadi Komisioner KPPU 2018-2023, Ukay merupakan Tenaga Ahli DPR-RI (2015-2018) dan Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (2011-2014). Selain itu, le.. Selengkapnya
Infografis, Tren Teknologi Yang Merubah Cara Anda Bekerja
Foto: Ilustrasi teknologi. (Edward Ricardo/CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ada pertanyaan yang sering mengganjal pikiran kita, tapi jarang benar-benar direnungkan. Mengapa Indonesia--dengan kekayaan alam yang melimpah, bonus demografi, dan pasar domestik yang begitu besar--masih berkutat di posisi negara berkembang? Sementara Korea Selatan, yang pada 1960-an bahkan lebih miskin dari Indonesia, kini menjelma menjadi raksasa teknologi dunia.

Jawabannya mungkin terletak pada satu konsep yang sering kita abaikan: difusi inovasi.



Jeffrey Ding, dalam bukunya Technology and the Rise of Great Powers (2024), mengungkap pola menarik. Negara-negara yang bangkit bukanlah penemu teknologi pertama, melainkan yang mahir mengadopsi dan menyebarkannya ke seluruh lapisan ekonomi. Ding menyebutnya kemampuan mengelola "General Purpose Technology" (GPT), teknologi serbaguna yang bisa diterapkan di mana-mana.

Ambil contoh Inggris di abad ke-18. Negara ini bukan penemu mesin uap, teknologi itu sudah ada di Prancis dan Italia sejak awal 1700-an. Tapi Inggris jadi penguasa dunia karena berhasil menerapkan mesin uap ke segala hal. Dari tambang batu bara ke pabrik tekstil, dari kereta api hingga kapal laut. Difusi teknologi inilah yang memicu Revolusi Industri dan mengubah Inggris menjadi imperium.

Pola yang sama terjadi di Amerika Serikat. Listrik ditemukan dan dikembangkan di Eropa, tapi Amerika yang mengubahnya jadi kekuatan ekonomi dengan mengadopsinya secara masif di pabrik, rumah tangga, hingga pertanian, melalui inovasi seperti sistem AC/DC dan jaringan distribusi. Hasilnya? Negeri Paman Sam tersebut menjadi kekuatan ekonomi terbesar di abad ke-20, bahkan hingga kini.

Sebaliknya, Milan di abad ke-18 jadi contoh peringatan. Penelitian Lavinia Maddaluno dalam Science and Political Economy in Enlightenment Milan, 1760-1805 (2024) menunjukkan bahwa wilayah ini punya reformis ekonomi brilian seperti Cesare Beccaria.

Mereka mereformasi pertanian, mendirikan akademi sains bergengsi seperti Societa Patriotica, bahkan mendatangkan ahli dari Swiss dan Prancis. Tapi Milan gagal jadi kekuatan ekonomi, karena fokus pada pertanian elite, tanpa membangun "infrastruktur keterampilan" yang memungkinkan teknologi menyebar ke masyarakat luas.

Ketika Inovasi Dikurung Monopoli
Tapi ada ancaman besar yang sering diabaikan dalam diskusi difusi teknologi, yaitu monopoli teknologi oleh korporasi raksasa yang justru menghambat penyebaran inovasi. Ironis memang, teknologi diciptakan untuk kemajuan bersama, tapi sering dikuasai segelintir pemain yang membatasi akses dan membunuh kompetisi.

Di ekonomi digital, fenomena ini nampak jelas. Raksasa teknologi membangun apa yang disebut para pakar sebagai "data-driven network effects." Semakin banyak pengguna, semakin kuat posisi raksasa tersebut, semakin sulit pemain baru masuk. Data pengguna jadi benteng yang hampir tak tertembus, sehingga UMKM dan startup lokal terpaksa bermain di ekosistem yang aturannya ditentukan sepihak oleh platform asing.

Tapi monopoli teknologi bukan cuma terjadi di dunia digital. Di sektor fundamental seperti pertanian dan kesehatan, praktik ini sudah lama berlangsung dengan dampak yang mengerikan.

Masih ingat Percy Schmeiser, petani Kanada yang pada Agustus 1998 digugat Monsanto karena benih GMO "tersesat" ke lahannya? Putusan Mahkamah Agung Kanada menyatakan Schmeiser melanggar paten. Meski, putusan ini juga menyatakan bahwa Schmeiser tidak perlu membayar biaya teknologi, ganti rugi, atau biaya lainya karena tidak mendapat keuntungan dari teknologi tersebut (Supreme Court of Canada, 2004).

Namun, kerugian besar harus ditanggung Schmeiser. Petani malang ini, kehilangan varietas kanola organik yang telah ia kembangkan selama puluhan tahun. Bahkan, putusan pengadilan tersebut menghancurkan warisan pertanian lokal yang dibangun berpuluh-puluh tahun.

Tragedi seperti itu bukan kasus langka. FAO (2010) mencatat sekitar 75% keanekaragaman genetik tanaman pertanian hilang antara tahun 1900 dan 2000. Keanekaragaman hayati yang diadaptasi secara lokal selama berabad-abad digantikan varietas standar yang dikontrol korporasi multinasional.

Di Thailand misalnya, dari 16.000 varietas padi yang pernah dibudidayakan, kini tinggal 37 varietas yang banyak ditanam secara komersial (FAO/INFOODS, 2013). Di Indonesia sendiri, Revolusi Hijau akhir 1960-an menyebabkan erosi varietas padi tradisional. Pada awal 1990-an, sekitar 70% dari 8 juta hektare hingga 9 juta hektare sawah basah ditanami satu varietas padi saja (IR64) dalam sistem monokultur (World Bank, 2007).

Di sektor kesehatan, monopoli paten obat membebani masyarakat. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, perusahaan farmasi memiliki hak eksklusif selama 20 tahun untuk melarang pihak lain memproduksi, menjual, atau mengimpor obat yang dipatenkan. Selama periode ini, harga obat bisa mencapai berkali-kali lipat dari biaya produksinya. Dan pastinya ini sangat memberatkan konsumen.

Yang menyedihkan, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dalam Pasal 50, mengizinkan pengecualian untuk hak kekayaan intelektual (termasuk paten), seolah monopoli atas teknologi kritis adalah hal wajar.

Membangun Infrastruktur Keterampilan dan Regulasi Antimonopoli
Indonesia kini berada di persimpangan. Dua jalur terbentang di hadapannya. Jalur pertama adalah jalan Milan abad ke-18. Punya ilmuwan brilian, institusi riset megah, tapi gagal karena membiarkan pengetahuan terkunci di menara gading. Teknologi jadi mainan elite, tidak pernah sampai ke petani, nelayan, dan UMKM yang jadi tulang punggung ekonomi rakyat.

Jalur kedua adalah jalan Korea Selatan. Negeri yang membangun infrastruktur keterampilan massal, regulasi antimonopoli ketat, dan kebijakan transfer teknologi wajib. Korea tidak ragu memaksa perusahaan asing berbagi teknologi sebagai syarat masuk pasar. Negeri ginseng tersebut, juga membangun sistem pendidikan vokasi yang massif, memastikan setiap pekerja bisa mengadopsi teknologi baru. Hasilnya, Korea kini menjadi kekuatan teknologi global yang diperhitungkan.

Melihat dua jalan tersebut, peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi krusial. BRIN yang baru-baru ini berganti nakhoda dari Laksana Tri Handoko kepada Arif Satria, mestinya bukan sekadar lembaga yang menghasilkan publikasi ilmiah, tapi jembatan antara riset dan implementasi di lapangan.

Teknologi yang dikembangkan harus bisa diakses petani di berbagai pelosok negeri, nelayan di wilayah pesisir terjauh, dan pengrajin di sentra-sentra UMKM. Tanpa mekanisme difusi yang sistematis, BRIN hanya akan jadi "Milan modern", punya ilmuwan hebat tapi tak berdampak pada ekonomi rakyat.

Regulasi antimonopoli juga harus diperjelas. Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 yang mengecualikan paten dari pengawasan antimonopoli perlu definisi ulang. Hak kekayaan intelektual penting untuk mendorong inovasi, tapi tidak boleh digunakan sebagai senjata untuk mencekik kompetisi dan akses publik.

Pemerintah harus berani menerapkan lisensi wajib untuk teknologi kritis, seperti yang berhasil dilakukan India untuk obat-obatan esensial. Mekanisme serupa sebenarnya telah diatur dalam UU Paten kita (Pasal 109), namun nyaris tak pernah digunakan.

Sekarang, pertanyaannya bukanlah apakah kita mendukung inovasi atau tidak? Tapi apakah kita mau membiarkan inovasi dikubur oleh monopoli? Yang pasti, teknologi seharusnya membebaskan, bukan mengurung. Membuka peluang, bukan menutupnya.

Sejarah tidak mencatat negara-negara yang memiliki teknologi tercanggih, tapi negara-negara yang berhasil membawa teknologi membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyatnya.


(miq/miq)