Merdeka Energi di Era Data: Tantangan Baru Kedaulatan Nasional

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Jumat, 21/11/2025 06:45 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi digital. (Ilham/CNBC Indonesia)

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia memahami bahwa energi adalah salah satu fondasi utama kedaulatan negara. Dari minyak dan gas yang menopang pertumbuhan industri, hingga batubara yang menjaga stabilitas listrik nasional, energi selalu menjadi bagian dari narasi kebangsaan.


Namun hari ini, pemaknaan kedaulatan energi tidak lagi sesederhana memastikan ketersediaan pasokan atau membangun kilang dan pembangkit baru. Tantangan baru hadir dalam wujud yang jauh lebih subtil.

Ia tidak datang dari kapal perang atau embargo fisik, tetapi dari arsitektur digital yang mengalir tak terlihat di balik sistem energi kita. Inilah era ketika kedaulatan energi tidak hanya bergantung pada kilowatt dan barel, tetapi pada data, algoritma, dan arsitektur informasi yang menentukan bagaimana energi diproduksi, didistribusikan, dan dipahami.

Indonesia sedang memasuki babak baru dalam modernisasi energi. Transisi menuju energi bersih, integrasi sistem tenaga berbasis digital, perluasan jaringan smart meter, dan berkembangnya kendaraan listrik telah menempatkan sektor energi dalam ruang digital yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Setiap pembangkit, gardu induk, dan kendaraan listrik kini tidak hanya menjadi aset fisik tetapi juga node data. Arus listrik kini berjalan berdampingan dengan arus informasi. Di titik inilah risiko terhadap kedaulatan energi mengalami perubahan fundamental. Serangan terhadap pasokan energi tidak lagi harus dilakukan dengan merusak pipa atau mengebom pembangkit, tetapi cukup dengan mengacaukan data yang mengatur alirannya.

Indonesia telah menyaksikan bagaimana dunia global semakin sensitif terhadap gangguan siber. Serangan terhadap Colonial Pipeline di Amerika Serikat pada 2021, yang menghentikan pasokan BBM untuk separuh wilayah timur negara tersebut, mengingatkan bahwa infrastruktur energi modern dapat lumpuh hanya karena satu kredensial digital yang dicuri.

Di Ukraina, operator sistem tenaga diperdaya melalui serangan social engineering sebelum grid listrik mereka diretas. Semua ini menunjukkan bahwa ancaman terbesar terhadap ketahanan energi tidak lagi semata bersifat fisik tetapi digital, psikologis, dan informasional.

Konsekuensinya bagi Indonesia sangat jelas. Sistem tenaga listrik nasional semakin banyak terhubung dengan perangkat digital. Penggunaan teknologi Supervisory Control and Data Acquisition, smart sensor, dan Internet of Things menciptakan ketergantungan tinggi pada arsitektur data yang rapuh.

Cloud computing yang mendukung aplikasi operasional dan analitik energi sering kali masih bergantung pada server asing. Bahkan sebagian perangkat kritikal seperti inverter, baterai, dan kontrol turbin untuk energi terbarukan diproduksi dan dikendalikan oleh manufaktur global yang tidak selalu berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, kedaulatan energi berarti kedaulatan atas data dan teknologi yang mengendalikan sistem tersebut.

Ketergantungan digital ini menciptakan ruang bagi intervensi dalam bentuk yang baru. Jika dulu negara harus menghadapi ancaman embargo minyak, kini Indonesia berpotensi menghadapi embargo data.

Bayangkan jika sistem energi nasional tidak dapat mengakses data beban harian karena ketersediaan server terganggu di negara lain. Bayangkan jika algoritma manajemen energi yang digunakan platform digital mampu memutuskan prioritas distribusi bukan berdasarkan kebutuhan nasional tetapi berdasarkan logika komersial yang tidak transparan.

Atau bayangkan jika opini publik tentang kebijakan energi digerakkan oleh mesin informasi yang bertujuan menciptakan polarisasi dan kebingungan. Dalam semua skenario tersebut, kedaulatan energi terancam tanpa ada satu pun serangan fisik.

Di Indonesia, pergeseran ancaman ini diperparah oleh kerentanan informasi publik. Debat energi sangat mudah dipengaruhi oleh algoritma media sosial yang memperkuat konten berdasarkan keterlibatan emosional, bukan kebenaran.

Perdebatan mengenai PLTN, harga BBM, transisi energi, dan hilirisasi sering kali dibentuk oleh narasi yang dikonstruksi bukan oleh kepentingan nasional tetapi oleh kampanye informasi yang tidak dapat dilacak. Polarisasi tentang energi terbarukan versus energi fosil juga dapat diperkuat oleh kekuatan luar yang ingin menjaga posisi dominan dalam rantai pasok teknologi atau bahan baku energi.

Jika narasi energi nasional dapat digerakkan oleh algoritma, maka arah kebijakan energi juga dapat terdistorsikan. Opini publik dapat diarahkan untuk menolak teknologi tertentu bukan karena alasan ilmiah tetapi karena pengulangan pesan yang terus diperkuat oleh logika engagement digital.

Kebijakan penting seperti pengembangan PLTN atau percepatan industrialisasi baterai dapat melemah hanya karena banjir narasi digital yang bersifat manipulatif. Inilah bentuk baru invasi makna yang mengancam ketahanan energi jauh sebelum ada satu pun keputusan diambil.

Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia saat ini tengah mendorong kemandirian energi melalui pengembangan hilirisasi mineral strategis, pembangunan infrastruktur transisi energi, dan diversifikasi sumber energi. Namun tanpa penguasaan data dan teknologi pendukungnya, kebijakan ini hanya berdiri setengah kokoh.

Menguasai nikel tanpa menguasai desain baterai berarti kita tetap berada di hilir. Mendirikan PLTS tanpa menguasai teknologi inverter berarti pasokan listrik kita bergantung pada negara lain. Memperbesar integrasi jaringan energi tanpa menguasai sistem kontrol digital berarti membuka jalan bagi risiko siber yang dapat melumpuhkan sistem nasional.

Kedaulatan energi juga berarti kemampuan mengendalikan narasi energi sendiri. Rakyat harus memahami bahwa energi bukan semata isu harga, tetapi isu geopolitik, teknologi, dan kedaulatan masa depan. Literasi energi harus tumbuh berdampingan dengan literasi digital agar masyarakat mampu membedakan informasi yang benar dan yang direkayasa.

Ruang publik tidak boleh dibiarkan sepenuhnya dikuasai algoritma yang membentuk persepsi berdasarkan kepentingan komersial atau politik tertentu. Negara harus hadir sebagai kurator informasi yang kredibel dan sebagai penentu arah pembangunan energi yang konsisten.

Karena itu, ketahanan energi Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih modern. Pertama, diperlukan arsitektur kedaulatan data energi yang terintegrasi, di mana seluruh data strategis energi tersimpan dan dikelola dalam server yang berada di dalam negeri serta berada di bawah pengawasan lembaga nasional. Kedua, perlu penguatan sistem keamanan siber sektor energi melalui investasi besar pada teknologi keamanan, audit berkala, dan pelatihan manusia yang beroperasi di dalamnya.

Ketiga, Indonesia harus mempercepat kemandirian teknologi energi, baik melalui litbang nasional maupun melalui kerja sama strategis yang memungkinkan transfer teknologi. Keempat, pemerintah perlu membangun pusat literasi energi dan digital agar masyarakat siap menghadapi manipulasi informasi yang menyasar sektor ini. Kelima, negara harus menyusun kebijakan komunikasi energi yang sistematis untuk melindungi opini publik dari invasi narasi digital berbasis kepentingan luar.

Pada akhirnya, kemerdekaan energi di era digital tidak lagi hanya diukur dari kemampuan Indonesia mengolah sumber daya alam atau membangun infrastruktur besar. Kemerdekaan energi diukur dari kemampuan bangsa menguasai data, teknologi, dan narasi yang mengatur sektor tersebut.

Energi hari ini bukan hanya soal pasokan fisik tetapi juga tentang pikiran kolektif bangsa. Jika kita tidak mampu mengendalikan data dan algoritma yang mempengaruhi pikiran itu, maka kita berisiko kehilangan kedaulatan bahkan sebelum terjadi gangguan fisik apa pun.

Indonesia pernah berhasil merebut kemerdekaan di era ketika penjajahan datang melalui kekuatan militer. Sekarang bangsa ini harus memastikan kemerdekaan dalam era ketika "penjajahan" hadir dalam bentuk kode komputer dan algoritma yang tidak terlihat.

Kita hidup di masa ketika ancaman terhadap energi dapat datang melalui notifikasi, bukan invasi bersenjata. Karena itu, pertanyaan mendasar bagi Indonesia hari ini bukan sekadar apakah energi kita cukup, tetapi apakah kita memiliki kendali atas sistem digital yang mengelolanya. Jika jawabannya tidak, maka kedaulatan energi hanya menjadi slogan.

Merdeka energi di era data berarti merdeka atas kendali, merdeka atas informasi, dan merdeka atas masa depan yang ditentukan oleh teknologi. Indonesia harus bersiap memimpin era baru kedaulatan energi, di mana kekuatan tidak lagi hanya terletak pada sumur minyak atau tambang mineral, tetapi pada kemampuan menguasai data dan algoritma yang membentuk dunia digital tempat energi masa depan dijalankan.

Dengan memahami tantangan ini, Indonesia tidak hanya melindungi ketahanan energinya tetapi juga memperkuat fondasi kedaulatan nasional yang sejati.


(miq/miq)