Api Kemandirian: Menata Ulang Energi Rakyat dari Dapur ke Masa Depan
Di dapur-dapur rakyat Indonesia, persoalan energi bukan hanya soal teknis atau pasokan, tetapi soal martabat hidup. Selama dua dekade terakhir, dapur rakyat kita ditopang bahan bakar yang hampir seluruhnya berasal dari luar negeri.
Program konversi minyak tanah ke LPG dulu dipuji sebagai modernisasi. Namun hari ini, ketergantungan pada LPG impor justru menjadi simpul kerentanan bangsa. Setiap kenaikan harga internasional membuat dapur rakyat bergetar, APBN mengencang, dan negara kehilangan ruang gerak.
Namun sesungguhnya, Indonesia bukan bangsa yang kekurangan energi, kita hanya belum memaksimalkan apa yang ada di tanah sendiri. Kota-kota besar kita dikelilingi gunungan sampah yang dapat diubah menjadi uap panas melalui teknologi waste-to-steam.
Daerah-daerah penghasil batubara memiliki sumber daya melimpah yang dapat digasifikasi menjadi syngas, kemudian disintesis menjadi DME, bahan bakar bersih yang secara teknis compatible menjadi pengganti LPG.
Teknologi ini bukan eksperimen. China, Korea Selatan, dan India telah melangkah lebih dulu, memproduksi DME dalam skala besar dan menjadi lebih tahan terhadap tekanan geopolitik energi global.
Jika Indonesia membangun 15 kota Waste-to-DME, kita tidak hanya menyelesaikan persoalan sampah kota, tetapi juga menekan impor LPG hingga 35%-40%. Setiap ton DME yang diproduksi adalah ton LPG impor yang tak perlu kita beli. Setiap ton sampah yang diolah menjadi steam adalah beban TPA yang lenyap.
Dan setiap kota yang berdiri di atas sistem energi mandiri adalah kota yang lebih bersih, lebih sehat, dan lebih tahan terhadap gejolak pasar global. Langkah ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan perubahan paradigma: bahwa energi rakyat dapat lahir dari bumi sendiri, dari tangan sendiri, dan dari kemampuan teknologi bangsa sendiri.
Dengan TKDN minimal 50%, program Waste-to-DME bukan hanya proyek energi, tetapi mesin industrialisasi nasional, menciptakan pekerjaan, meningkatkan kapasitas manufaktur, dan menanamkan kebanggaan bahwa Indonesia mampu membuat bahan bakar sendiri.
Kedaulatan energi bukan terletak pada berapa besar cadangan yang kita miliki, tetapi pada berapa besar keberanian kita memproduksinya sendiri. Api kemandirian itu harus kita nyalakan, bukan dari pusat kekuasaan saja, tetapi dari dapur-dapur rakyat di seluruh Nusantara.
Dan di sanalah inti dari misi ini: memulihkan kendali bangsa atas sumber kehidupannya sendiri. Kompor rakyat tidak boleh mati hanya karena pasar global bergerak.
Energi rumah tangga tidak boleh ditentukan kapal tanker dari negara lain. Indonesia harus kembali berdaulat, berdiri di atas energi lokal, teknologi lokal, dan kehendak nasional untuk mandiri.
(miq/miq)