1 Tahun Prabowo-Gibran: Sebuah Refleksi dari Sisi Perekonomian
Ketika ada hal yang positif, tentu kita patut memberikan apresiasi kepada pe...
Oleh Nailul Huda
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2025 yang mencapai 5,04%. Sejak bertahun-tahun, ekonomi Indonesia seperti berputar-putar di sekitar angka "5%." Naik sedikit ke 5,12% kuartal lalu, turun lagi menuju 5%. Seperti ada kekuatan magnet yang menahan di zona stagnan ini.
Dalam perspektif complexity economics, angka pertumbuhan yang wara-wiri di seputaran 5% bukan sekadar statistik biasa. Ini adalah tanda sebuah sistem ekonomi yang terjebak dalam "basin of attraction"--seperti bola yang menggelinding di lembah (Arthur, 2015). Setiap kali didorong naik, gravitasi menariknya kembali ke dasar lembah.
Sejak era Orde Baru, Indonesia menempuh jalur ekonomi berbasis komoditas primer: minyak, gas, batubara, kelapa sawit, nikel. Empat puluh tahun kemudian, masih di jalur yang sama. Walau ada industri pengolahan, sebagian besar masih berkutat di pengolahan komoditas mentah: refined palm oil, smelted nickel, processed coal (Bank Indonesia, 2024).
Mengapa sulit berubah? Karena ekonomi komoditas menciptakan "rent-seeking economy"--ekonomi yang keuntungannya datang dari penguasaan sumber daya alam (SDA), bukan dari inovasi atau produktivitas (Krueger, 1974). Struktur insentif yang salah ini menciptakan "lingkaran setan" yang memperkuat dirinya sendiri--fenomena yang dalam teori kompleksitas disebut path dependence atau ketergantungan jalur.
Bandingkan dengan Korea Selatan (Korsel) di tahun 1960-an. Negara miskin dengan PDB per kapita lebih rendah dari Indonesia saat itu. Tapi pemerintah Park Chung-hee secara sadar mereformasi ekonomi lewat "Heavy and Chemical Industry Drive" yang diluncurkan tahun 1973 (Amsden, 1989). Pemerintah Korsel memaksa ekonomi keluar dari zona nyaman--membangun industri baja, petrokimia, pembuatan kapal--industri yang saat itu tampak terlalu maju untuk negeri ginseng tersebut.
Hasilnya? Dalam 30 tahun, Korsel bertransformasi dari eksportir tekstil menjadi produsen mobil, kapal, elektronik, dan semikonduktor. Hari ini Samsung, Hyundai, dan LG adalah merek global. PDB per kapita Korsel sekarang $33.121 (World Bank, 2023)--enam kali lipat Indonesia yang berada di kisaran $4.925 (World Bank, 2024). Bukan karena Korsel punya SDA melimpah, tapi karena mereka dengan sengaja mengubah struktur ekonomi melalui kebijakan industri strategis.
Terjebak di Pinggiran Product Space
Ricardo Hausmann dan Cesar Hidalgo (2009) mengembangkan Economic Complexity Index (ECI) yang mengukur seberapa kompleks dan beragam produk yang diekspor suatu negara. Negara dengan ECI tinggi mengekspor produk-produk kompleks dan beragam--indikasi bahwa negara itu memiliki banyak pengetahuan produktif yang tersebar di berbagai industri.
Indonesia punya ECI sekitar -0,09, peringkat 72 dunia. Sebagai perbandingan Singapura 1,83, Thailand 1,12, bahkan Vietnam sudah 0,04 (The Atlas of Economic Complexity, 2024). Artinya? Indonesia terjebak di pinggiran product space--sebuah jaringan yang menghubungkan produk-produk berdasarkan kesamaan kapabilitas yang dibutuhkan untuk memproduksinya (Hidalgo dkk, 2007).
Dari pinggiran, sangat sulit untuk melompat ke inti karena untuk memproduksi produk kompleks butuh akumulasi kapabilitas--gabungan keahlian, institusi, infrastruktur, jaringan pemasok--yang hanya bisa dibangun secara bertahap. Inilah yang disebut "adjacent possible" dalam teori kompleksitas. Kita hanya bisa melompat ke produk yang "bertetangga" dengan produk yang sudah kita kuasai.
Indonesia bisa "melompat" dari CPO ke oleochemicals (bahan baku kosmetik dan farmasi), dari nickel smelting ke stainless steel ke precision parts, dari tekstil ke technical textiles untuk industri medis atau otomotif. Ini bukan lompatan kuantum--ini langkah-langkah "bertetangga" yang feasible.
Tapi butuh kebijakan industri strategis: bukan sekadar memberi subsidi atau proteksi, tapi secara strategis membangun kapabilitas baru, memfasilitasi transfer pengetahuan, menghubungkan perusahaan lokal dengan rantai nilai global.
Perlu digarisbawahi, yang menghambat suatu negara tidak mau menjalankan hal tersebut adalah mindset lama: biarkan pasar yang bekerja, pemerintah jangan ikut campur. Masalahnya, dalam sistem adaptif kompleks, "membiarkan pasar bekerja" itu artinya "tetap terjebak di ekuilibrium saat ini" (Arthur, 2014).
Kekuatan pasar saja tidak akan membawa ekonomi dari pinggiran ke inti product space karena risiko terlalu tinggi, tantangan koordinasi terlalu besar, dan kegagalan pasar (market failures) terlalu banyak--terutama dalam bentuk eksternalitas pembelajaran (learning externalities) dan masalah koordinasi (coordination problems) yang diidentifikasi oleh Hausmann & Rodrik (2003).
Semua negara yang berhasil industrialisasi--dari Jerman di abad ke-19, Jepang pasca-Meiji, Korsel, Taiwan, sampai China--melakukannya dengan peran aktif pemerintah yang strategis dalam bentuk apa yang disebut sebagai "developmental state" (Evans, 1995).
Tiga "Lingkaran Setan" yang Mengunci Ekonomi
Mengapa stimulus konvensional tidak mengubah lintasan fundamental ekonomi? Karena ini semua adalah gangguan temporer pada sistem, bukan transformasi struktural. Ekonomi Indonesia terjebak dalam tiga "lingkaran setan" yang saling memperkuat (reinforcing feedback loops).
Pertama, konsumsi lemah menyebabkan investasi rendah, berlanjut ke upah stagnan, dan kembali ke konsumsi lemah. Ini adalah demand-side trap klasik yang dijelaskan oleh teori permintaan efektif Keynes, yang dalam konteks negara berkembang diperparah oleh distribusi pendapatan yang timpang.
Kedua, ekspor komoditas tinggi mendorong penguatan nilai tukar, membuat manufaktur tidak kompetitif, dan akhirnya semakin bergantung pada komoditas--ini yang disebut "Dutch Disease" (Corden & Neary, 1982). Fenomena ini pertama kali diidentifikasi di Belanda setelah penemuan gas alam di Laut Utara tahun 1959, dan telah menjangkiti banyak ekonomi negara-negara berbasis SDA.
Ketiga, belanja infrastruktur fisik mengurangi anggaran inovasi, berakibat pada produktivitas rendah, dan kembali membutuhkan lebih banyak infrastruktur. Indonesia mengalokasikan sekitar 0,3% PDB untuk R&D--bandingkan dengan Korsel 4,96%. Literatur pertumbuhan endogen menunjukkan bahwa investasi R&D adalah kunci pertumbuhan jangka panjang (Romer, 1990; Aghion & Howitt, 1992).
Stimulus konvensional tidak mampu memutus "lingkaran setan" tersebut. Bantuan sosial akan meningkatkan konsumsi sementara, tapi begitu bantuan habis, konsumsi kembali ke baseline karena pendapatan permanen tidak berubah--sesuai dengan permanent income hypothesis Friedman (1957). Pemotongan suku bunga menurunkan biaya modal, tapi kalau expected returns rendah karena permintaan lemah, investasi tidak akan naik signifikan--ini dikenal sebagai liquidity trap.
Strategi Keluar dari Perangkap
Transformasi struktural membutuhkan intervensi yang mengubah arsitektur sistem, bukan sekadar parameter. Berikut empat strategi berbasis bukti empiris dari negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Pertama, product space walking, bukan jumping. Identifikasi produk-produk yang "bertetangga" dengan yang sudah dikuasai--produk yang butuh kapabilitas sedikit lebih maju tapi tidak terlalu jauh. Hausmann dkk (2014) mengembangkan metrik "strategic value" untuk mengidentifikasi produk target yang optimal: produk dengan kompleksitas lebih tinggi, dekat dengan kapabilitas saat ini, dan membuka akses ke banyak produk lain.
Untuk setiap produk target, buat roadmap: kapabilitas apa yang dipunyai, apa yang kurang, bagaimana cara mendapatkannya lewat FDI dengan persyaratan transfer teknologi, joint ventures, program pelatihan, kolaborasi universitas-industri.
Fokuskan hibah R&D dan insentif pajak pada sektor-sektor ini dengan disiplin ketat: monitor progress, kalau tidak ada hasil dalam 3-5 tahun, beralih ke target lain. Ini adalah prinsip "embedded autonomy"--birokrasi yang memiliki visi jelas tapi tetap responsif terhadap umpan balik (Evans, 1995).
Kedua, bangun ekosistem inovasi, bukan hanya infrastruktur. Naikkan R&D spending dari 0,3% ke minimal 2% PDB dalam 10 tahun--target minimal yang direkomendasikan UNESCO (2015) untuk negara berkembang yang ingin bertransformasi.
Tapi bukan hanya pengeluaran pemerintah, manfaatkan sektor swasta dengan super tax deductions (setiap Rp1 yang perusahaan habiskan untuk R&D, dapat pengurangan Rp1,5-2 dari penghasilan kena pajak). Skema ini terbukti efektif di Australia, Kanada, dan Prancis (OECD, 2020).
Bangun kolaborasi "triple helix"--model yang dikembangkan oleh Etzkowitz & Leydesdorff (2000): pemerintah mendanai riset dasar, universitas melakukan riset terapan dengan kemitraan industri, industri mengomersialisasikan.
Israel melakukan ini lewat Yozma Program di 1993-1998--dana venture capital pemerintah senilai $100 juta yang memanfaatkan modal swasta 10 kali lipat (Avnimelech & Teubal, 2006). Dalam 20 tahun, Israel bertransformasi dari ekonomi pertanian menjadi "Startup Nation" dengan R&D intensity tertinggi di dunia.
Ketiga, transformasi modal manusia lewat sistem pendidikan vokasi ganda. Indonesia punya bonus demografi. Tapi ini bisa jadi berkah atau bencana tergantung kualitas modal manusia. Saat ini sebagian besar lulusan SMA atau SMK tidak punya keahlian yang relevan dengan kebutuhan industri modern (skills mismatch).
Adopsi sistem pendidikan vokasi ganda (dual vocational education and training/VET) ala Jerman atau Swiss: siswa sejak usia 16 tahun membagi waktu--tiga hari kerja di perusahaan (magang berbayar), dua hari sekolah untuk teori. Kurikulum dirancang bersama oleh industri dan lembaga pendidikan.
Keempat, adaptive governance untuk sistem kompleks. Sistem kompleks tidak bisa dikelola dengan perencanaan terpusat, tapi juga tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke invisible hand of market. Yang dibutuhkan adalah "adaptive governance"--sistem yang polisentral (banyak pusat keputusan), eksperimental (uji-belajar-iterasi), dan transparan (putaran umpan balik yang cepat).
Gunakan Kawasan Ekonomi Khusus sebagai "laboratorium kebijakan" di mana regulasi bisa diuji coba. Model yang berhasil diperluas nasional, yang gagal ditinggalkan cepat. Ini adalah prinsip "experimentalist governance" yang memungkinkan pembelajaran cepat dalam konteks ketidakpastian tinggi (Sabel & Zeitlin, 2012).
Semua strategi tersebut punya benang merah: mengubah struktur sistem, bukan sekadar menambah input. Ini tentang membangun jaringan, menciptakan kapabilitas, memelihara ekosistem--proses yang secara inheren membutuhkan waktu. Korsel butuh 30 tahun untuk bertransformasi (1960-1990), China 40 tahun dan masih berlangsung (1978-sekarang), Vietnam baru 20 tahun dan belum selesai (2000-sekarang).
Indonesia tahun 2045 (100 tahun kemerdekaan) bisa menjadi ekonomi berpenghasilan tinggi yang terdiversifikasi dan inovatif, setara dengan Korsel atau Singapura hari ini. Atau masih dalam jebakan pendapatan menengah (middle-income trap), masih mengekspor komoditas, masih pertumbuhan ekonominya berputar-putar di angka 5%.
Jawabannya ditentukan oleh pilihan sekarang: apakah berani mengubah struktur sistem ekonomi, atau hanya mengelola zona nyaman dengan stimulus-stimulus kosmetik.
Indonesia memiliki semua bahan untuk sukses: populasi muda yang besar, lokasi geografis strategis, pasar domestik yang besar, SDA melimpah, dan demokrasi yang stabil. Yang belum kita miliki adalah kejelasan visi dan konsistensi eksekusi--apa yang oleh Rodrik (2008) disebut sebagai "growth strategy" yang koheren dan berkelanjutan.
Ketika ada hal yang positif, tentu kita patut memberikan apresiasi kepada pe...
Oleh Nailul Huda
Indonesia terlalu lama terjebak dalam pertumbuhan ekonomi yang stabil namun ...
Oleh Kuntjoro Pinardi
Daftar ini seharusnya membanggakan bagi negara-negara yang masuk, namun menj...
Oleh Taufan Rahmadi
Harapannya tidak ada "kemiskinan tersembunyi" lagi karena distrib...
Oleh Larassita Damayanti