Potret Kemiskinan "Tersembunyi" di Indonesia

Larassita Damayanti, CNBC Indonesia
16 July 2025 05:20
Larassita Damayanti
Larassita Damayanti
Larassita Damayanti merupakan dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja... Selengkapnya
Suasana aktivitas warga pada permukiman kumuh yang berdekatan dengan rel kereta di Jakarta, Senin (2/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Suasana aktivitas warga pada permukiman kumuh yang berdekatan dengan rel kereta di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Definisi kemiskinan menjadi lebih berimbang ketika acuan yang dirujuk tidak hanya seputar pendapatan yang masih di bawah standar, tetapi bagaimana pencapaian pada sektor strategis seperti ketimpangan, lapangan kerja, dan kesehatan.

Mengapa hal ini penting? Karena angka kemiskinan nasional belum tentu bisa merefleksikan pencapaian sektor strategis lainnya. Boleh jadi, angka kemiskinan nasional sudah baik, namun apakah dibarengi dengan sektor vital lain yang menjadi pondasi pembangunan dan pertumbuhan bangsa?



Pada tahun 2023, angka kemiskinan mencapai satu digit dan memperlihatkan tren penurunan dari 10,14 persen pada tahun 2021 menjadi 9,26 persen pada tahun 2023 (Badan Pusat Statistik, 2023). Apabila angka kemiskinan di tingkat nasional cukup menggembirakan ternyata capaian pada tingkat daerah masih sangat bervariasi dan memperlihatkan gap yang cukup tinggi.

Sebagai contoh, tingkat kemiskinan di Provinsi Papua mencapai 26,03 persen dan menjadi yang tertinggi di Indonesia. Sementara Provinsi Bali mencatatkan angka kemiskinan terendah sebesar 4,25 persen (Badan Pusat Statistik, 2023). Kondisi ini memperlihatkan bahwa tantangan dalam pengurangan kemiskinan pada tiap daerah berbeda, sehingga memerlukan intervensi kebijakan yang sifatnya spesifik, bukan one size fits all policy.

Hal lain yang juga merefleksikan kemiskinan adalah perbedaan pendapatan antarindividu yang diukur melalui indeks gini. Pada tahun 2023, capaian indeks gini nasional mencapai 0,388. Namun capaian ditingkat daerah memiliki dinamika tersendiri. Provinsi Bangka Belitung mencatatkan angka terendah pada 0,245. Sementara Provinsi DIY menjadi yang tertinggi dengan angka 0,449 (Badan Pusat Statistik, 2023).

Capaian yang mendekati angka 1 mengindikasikan ketimpangan yang tinggi, sementara capaian mendekati angka 0 menunjukkan pemerataan. Tingginya gap antar satu provinsi dengan provinsi lain berarti pemerataan pendapatan belum terdistribusi dengan baik. Hal ini dapat menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi yang berkontribusi pada kemiskinan.

Kemiskinan juga identik dengan tingkat pengangguran, mengingat kondisi tidak berdayanya seseorang secara ekonomi menjadi faktor utama yang menyebabkan kemiskinan. Secara umum pada tingkat nasional, terjadi penurunan tingkat pengangguran dari 6,49 persen pada tahun 2021 menjadi 5,32 persen pada tahun 2023.

Namun, kesenjangan terlihat pada aspek sosial ekonomi di mana pengangguran pada kaum disabilitas angkanya 10,61 persen sementara untuk nondisabilitas hanya separuhnya atau 5,29 persen (Badan Pusat Statistik, 2023). Masih tingginya angka pengangguran khususnya bagi kaum disabilitas memperlihatkan adanya keterbatasan lapangan pekerjaan dan masih minimnya afirmasi yang diberikan bagi kaum difabel untuk dapat berdikari.

Isu lain yang juga bersinggungan dengan kemiskinan adalah rendahnya kualitas hidup. Keterbatasan finansial akan berdampak pada pemenuhan standar hidup yang layak.

Tingginya persentase anak yang mengalami stunting menjadi salah satu dampak dari tidak mampunya keluarga untuk mencukupi kebutuhan pokok pada masa penting pertumbuhan anak-anak. Saat ini, angka stunting pada tingkat nasional mencapai 21,5 persen. Sementara capaian pada beberapa provinsi justru jauh lebih tinggi seperti NTT 37, 9 persen, Sulawesi Barat 30,4 persen, dan Sulawesi Tenggara 30 persen (Badan Pusat Statistik, 2023).

Melihat capaian indikator lain yang berhubungan dengan kemiskinan, maka kita patut lebih bijak dalam memaknai arti "kemiskinan". Ini berarti masih ada "kemiskinan tersembunyi" yang perlu ditelusuri. Upaya pemerintah untuk menekan angka kemiskinan memang sudah dilakukan, hal ini tercermin pada masuknya pengentasan kemiskinan sebagai prioritas nasional pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.

Namun pada tataran teknis, implementasi program menjadi penentu untuk memastikan target pengurangan kemiskinan 7 persen dapat tercapai pada 2025 (Kementerian PPN/Bappenas, 2025). Untuk itu, arah kebijakan pengentasan kemiskinan perlu memperhatikan reformasi program jaminan sosial, pemerataan pembangunan infrastruktur khususnya di wilayah timur Indonesia, pemberdayaan UMKM dan industri kecil sebagai penggerak ekonomi rakyat, dan peningkatan kualitas dan akses layanan kesehatan.

Peran pemerintah dinantikan untuk mewujudkan cita-cita visi Indonesia Emas 2045 di mana tingkat kemiskinan hanya sebesar 0,8 persen. Sehingga nantinya, tidak ada "kemiskinan tersembunyi" lagi karena distribusi pendapatan merata, lapangan kerja bersifat inklusif, dan pelayanan kesehatan yang mumpuni.


(miq/miq)