Redenominasi Rupiah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Indonesia

Mohammad Nur Rianto Al Arif,  CNBC Indonesia
10 November 2025 12:48
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif merupakan Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah dan saat ini menjabat sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan. Ia tercatat pula sebagai Associate CSED INDEF dan Sekretaris Jend.. Selengkapnya
Infografis/ Wacana penyederhanaan nilai rupiah muncul lagi/Aristya Rahadian
Foto: Ilustrasi redenominasi rupiah. (Dokumentasi CNBC Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah derasnya arus informasi global, kita sering kali membandingkan nilai mata uang antarnegara. Ketika kita berkunjung ke luar negeri dan kemudian menukar uang Rp 1 juta, ternyata kita hanya mendapatkan sekitar US$ 60. Kondisi ini memunculkan persepsi bahwa rupiah sangat lemah.

Padahal, secara ekonomi, nilai mata uang tidak sekadar ditentukan oleh berapa banyak angka nol di belakangnya, melainkan oleh daya beli, stabilitas harga, dan kepercayaan publik. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa terlalu banyak nol pada rupiah kerap menimbulkan kesan kurang efisien, bahkan memengaruhi persepsi terhadap kekuatan ekonomi Indonesia.

Harga-harga barang di Indonesia terkesan "mahal" secara nominal, padahal nilainya relatif kecil. Sekadar contoh, selembar uang Rp100.000 di Indonesia setara dengan sekitar US$ 6, yaitu angka yang sangat kecil untuk ukuran nominal "seratus ribu".

Dari sinilah muncul wacana redenominasi rupiah, yakni penyederhanaan nilai nominal uang tanpa mengubah daya belinya. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, atau Rp100.000 menjadi Rp100. Nilainya tetap sama, tetapi jumlah nol dihapus untuk mempermudah sistem transaksi dan memperindah tampilan rupiah sebagai simbol ekonomi nasional.

Redenominasi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kepercayaan diri bangsa. Karena kondisi ini akan mencerminkan kematangan ekonomi, efisiensi administrasi, serta kesiapan Indonesia memasuki era ekonomi modern. Namun, seperti halnya kebijakan moneter lain, redenominasi tidak bebas risiko. Kebijakan ini harus dilandasi kondisi makroekonomi yang stabil dan komunikasi publik yang matang agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Banyak orang keliru menganggap redenominasi sama dengan sanering. Padahal, keduanya berbeda secara mendasar, baik dari sisi tujuan maupun dampaknya terhadap masyarakat. Sanering adalah kebijakan pemerintah untuk memotong nilai uang dalam rangka mengendalikan inflasi atau mengatasi krisis fiskal.

Akibatnya, daya beli masyarakat turun karena uang yang mereka pegang nilainya berkurang. Sanering dilakukan ketika situasi ekonomi tidak stabil, inflasi tinggi, dan pemerintah terdesak untuk menekan jumlah uang beredar. Indonesia pernah mengalami sanering pada akhir tahun 1950an melalui kebijakan Pemerintah Soekarno.

Saat itu, uang kertas pecahan Rp500 dan Rp1.000 "dipotong" nilainya menjadi sepersepuluh, dengan alasan mengendalikan inflasi pascakemerdekaan dan pembiayaan perang. Kebijakan ini membuat masyarakat kehilangan sebagian besar nilai uangnya. Kondisi ini menimbulkan trauma psikologis yang panjang.

Sebelumnya Indonesia pernah pula melakukan devaluasi dengan pengguntingan nilai uang. Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara pernah membuat kebijakan yang dikenal dengan gunting Syarifudin. Pada masa tersebut, ada jenis mata uang yang beredar di Indonesia.

Ketiga mata uang tersebut adalah Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank, serta mata uang yang digunakan ketika NICA (Belanda) berada di Indonesia pascakemerdekaan atau selama masa revolusi fisik.

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula. Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun.

Sebaliknya, redenominasi justru dilakukan dalam kondisi ekonomi stabil. Tujuannya bukan memotong nilai, melainkan menyederhanakan nominal. Daya beli masyarakat tetap sama, harga-harga tetap sama, hanya cara penulisannya yang berubah.

Perbedaan ini sangat penting dipahami agar masyarakat tidak salah persepsi. Redenominasi adalah langkah modernisasi moneter, sementara sanering adalah langkah darurat untuk menstabilkan krisis. Maka dari itu, wacana redenominasi sering muncul saat ekonomi tumbuh stabil, bukan ketika sedang gonjang-ganjing.

Wacana redenominasi telah bergulir lama sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. BI berpendapat, redenominasi akan membuat sistem pembayaran lebih efisien, mempermudah transaksi, dan meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang nasional. Bahkan saat itu, BI juga menyinggung akan kembali memunculkan mata uang 1 sen sebagai nilai nominal terkecil. Namun, rencana ini tak kunjung terealisasi.

Alasannya sederhana yaitu nilai rupiah yang terlalu banyak nol dianggap tidak efisien untuk kegiatan ekonomi modern. Dalam sistem akuntansi, data transaksi, maupun mesin kasir digital, banyaknya nol dapat meningkatkan potensi kesalahan input, memperlambat proses, serta menambah beban sistem. Selain itu, BI juga menilai bahwa penyederhanaan rupiah akan mempermudah perbandingan nilai antarnegara, sehingga memperkuat posisi rupiah dalam perdagangan internasional.

Namun, pemerintah saat itu memilih menunda rencana tersebut karena menilai kondisi ekonomi belum sepenuhnya siap. Inflasi masih relatif tinggi, sosialisasi belum menyeluruh, dan masyarakat berpotensi bingung. Kini, di tengah era digitalisasi ekonomi dan kestabilan makro yang relatif terjaga, pembahasan tentang redenominasi mulai mengemuka lagi. Pertanyaan besarnya: apakah sekarang waktunya Indonesia melangkah?

Salah satu negara yang tergolong relatif sukses melakukan redenominasi adalah Turki. Setelah persiapan tujuh tahun, mulai 1 Januari 2005, pada awal tahun anggaran, Turki melakukan redenominasi terhadap lira. Redenominasi dilakukan di awal tahun anggaran dengan tujuan agar semua catatan pembukuan keuangan negara dan perusahaan langsung menggunakan mata uang baru dengan angka nominal yang lebih kecil.

Korea Selatan sempat merencanakan redenominasi pada akhir 1990-an, namun ditunda karena kekhawatiran publik terhadap inflasi pascakrisis finansial Asia. Sementara itu, Zimbabwe menjadi contoh kegagalan ekstrem. Negara ini melakukan redenominasi hingga tiga kali, tetapi semuanya gagal karena dilakukan di tengah hiperinflasi. Dalam kasus Zimbabwe, redenominasi justru memperparah krisis dan menghancurkan kepercayaan terhadap mata uang nasional.

Berdasarkan pengalaman beberapa negara dapat disimpulkan bahwa redenominasi hanya bisa berhasil jika ekonomi stabil, inflasi rendah, dan masyarakat percaya pada pemerintah. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan menimbulkan kepanikan.

Indonesia saat ini memiliki kondisi ekonomi yang relatif stabil. Inflasi terkendali di kisaran 3-4 persen per tahun, pertumbuhan ekonomi tetap positif, dan nilai tukar rupiah cenderung stabil. Secara teori, kondisi ini cukup ideal untuk memulai proses redenominasi.

Terdapat beberapa alasan kuat mengapa redenominasi penting. Pertama, efisiensi transaksi dan sistem keuangan. Terlalu banyak nol memperumit sistem pembayaran, akuntansi, dan pengelolaan data keuangan. Dalam dunia digital, setiap angka tambahan berarti ruang memori dan potensi kesalahan yang lebih besar.

Kedua, redenominasi akan meningkatkan citra dan daya saing rupiah. Secara psikologis, mata uang dengan nominal sederhana lebih mudah dipahami dan lebih "berkelas". Investor asing sering menilai nominal rupiah yang panjang sebagai simbol lemahnya daya beli, meski

Dalam era cashless society, redenominasi akan mempermudah transaksi digital, mempercepat pembukuan, dan meningkatkan transparansi anggaran. Redenominasi akan menjadi bagian dari modernisasi sistem moneter nasional.

Secara teori, redenominasi bersifat netral terhadap nilai ekonomi. Artinya, tidak ada perubahan pada daya beli, pendapatan nasional, atau jumlah uang beredar. Nilai tukar tetap sama, hanya nominalnya yang berubah.

Namun, dampak nyata terasa pada efisiensi ekonomi. Penyederhanaan nominal mempermudah pencatatan, mempercepat transaksi, dan menurunkan potensi kesalahan administrasi. Misalnya, di sektor perbankan, laporan keuangan yang biasanya memuat angka miliaran hingga triliunan akan lebih ringkas dan mudah dibaca.

Dampak lain adalah peningkatan kepercayaan diri ekonomi. Negara yang melakukan redenominasi dengan sukses biasanya mengalami peningkatan persepsi positif dari masyarakat internasional. Rupiah yang baru, lebih sederhana, dan elegan, dapat menjadi simbol kematangan ekonomi Indonesia.

Meski demikian, efek psikologis harus diantisipasi. Masyarakat yang belum memahami konsep redenominasi bisa salah paham karena mengira uangnya "dipotong" seperti pada era sanering. Karena itu, komunikasi publik menjadi aspek terpenting dari keberhasilan redenominasi.

Bagi dunia usaha, redenominasi memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada biaya adaptasi. Perusahaan harus mengganti sistem kasir, memperbarui perangkat lunak akuntansi, mencetak ulang label harga, dan menyesuaikan pelaporan keuangan. Biaya ini tidak kecil, terutama bagi usaha mikro dan kecil.

Namun, di sisi lain, redenominasi membawa keuntungan jangka panjang. Sistem akuntansi menjadi lebih sederhana, transaksi lebih cepat, dan pelaporan keuangan lebih transparan. Investor asing juga cenderung menyambut baik, karena nominal yang sederhana memudahkan perbandingan antarnegara dan meningkatkan kredibilitas ekonomi nasional. Dalam jangka panjang, dunia usaha akan menikmati efisiensi tinggi, sementara biaya adaptasi hanya bersifat sementara.

Meskipun menarik secara konseptual, implementasi redenominasi memerlukan kesiapan luar biasa. Terdapat empat tantangan utama yang akan dihadapi. Pertama, kesiapan sistem keuangan mulai dari bank, Perusahaan, dan sistem pembayaran harus menyesuaikan.

Tantangan kedua ialah edukasi dan sosialisasi publik. Redenominasi akan gagal jika masyarakat tidak memahami perbedaannya dengan sanering. Koordinasi antar lembaga menjadi tantangan yang tak kalah mudahnya. Terakhir ialah stabilitas makro dan politik. Redenominasi hanya bisa dilakukan ketika inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi positif, dan kepercayaan publik tinggi.

Keberhasilan redenominasi akan menjadi penanda bahwa Indonesia telah meninggalkan masa lalu yang penuh ketidakpastian, dan melangkah menuju masa depan yang lebih efisien dan transparan. Namun, kebijakan ini tidak boleh terburu-buru. Redenominasi yang gagal akan menimbulkan kebingungan, bahkan keresahan sosial. Karenanya, setiap langkah harus disertai komunikasi yang kuat dan konsistensi kebijakan ekonomi.

Redenominasi adalah refleksi dari keyakinan sebuah bangsa terhadap dirinya sendiri. Ketika negara percaya bahwa ekonominya stabil, sistemnya efisien, dan rakyatnya siap, maka penyederhanaan rupiah menjadi simbol kemajuan, bukan ancaman.

Indonesia kini berada pada titik di mana redenominasi bukan lagi sekadar wacana teknis, melainkan bagian dari strategi pembangunan jangka panjang. Jika dilakukan dengan hati-hati, redenominasi akan memperkuat rupiah, meningkatkan efisiensi ekonomi, serta memperkokoh martabat bangsa di mata dunia.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation