Dari Dapur ke Masa Depan Ekonomi Keluarga
MBG adalah katalis yang menyatukan dapur, pasar, dan kelas dalam satu ekosis...
Oleh Anton Hendranata
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bangsa ini tidak butuh pelatihan yang dibawakan orang yang tak pernah menanam. Bangsa ini butuh ayam hidup, telur segar, dan rakyat yang bisa makan dari tangannya sendiri.
Kata smart kini menjadi mantra semua proyek pembangunan. Ada smart farming, smart fishery, hingga smart village. Tapi di banyak tempat, yang benar-benar "smart" hanyalah laporan keuangannya. Pelatihan dilakukan di kampus, jauh dari kandang dan tanah.
Para dosen yang menjadi pelatih tak pernah menanam, tak pernah beternak, apalagi menjual hasilnya di pasar. Peserta pulang membawa sertifikat, bukan kemampuan.
Sementara itu, rakyat kecil di desa tetap berhadapan dengan harga pakan mahal, protein langka, dan sayur yang tak bisa mereka beli. Ironisnya, biaya satu kali pelatihan bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per orang, lebih mahal dari modal usaha riil yang bisa langsung menghasilkan uang.
Bayangkan jika dana sebesar itu dialihkan ke bentuk "Bantuan Sosial Produktif Smart Protein", biayanya tak sampai separuh:
Sebanyak 10 ekor ayam petelur, bibit sayuran dan media tanam 20 meter persegi, dua bibit kelapa pendek berbuah empat tahun, dan panduan video perawatan. Total hanya Rp 850.000 hingga Rp 1 juta per keluarga.
Dengan satu kali bantuan, keluarga bisa menghasilkan protein setiap hari, gizi meningkat, dan pendapatan berulang. Hasilnya nyata, bukan selembar sertifikat di laci. "Buatlah program penghasil uang bagi penerima manfaat, bukan selembar kertas tanpa makna."
Dalam kerangka Slow Growth Model, penambahan modal tanpa peningkatan produktivitas hanyalah menambah angka, bukan kemajuan. Tapi ketika modal kecil diarahkan ke kegiatan berulang yang menumbuhkan efisiensi, produktivitas (A) naik, ICOR turun, dan pertumbuhan ekonomi menjadi nyata.
Sedangkan menurut Romer, pertumbuhan modern lahir dari penyebaran ide dan pengetahuan. Ketika satu desa belajar beternak ayam, desa lain meniru. Ide berkembang, hasil menyebar, dan efeknya eksponensial. Bukan dari seminar, tapi dari tindakan.
Kita terlalu lama menjadikan rakyat sebagai objek pelatihan, bukan subjek produksi. Padahal bangsa ini tidak butuh lebih banyak laporan kegiatan, tapi lebih banyak telur, sayur, dan hasil bumi yang bisa dikonsumsi dan dijual.
Petani dan nelayan tidak butuh teori dari ruang ber-AC, mereka butuh mitra yang mau bekerja di lumpur, mengajari dari tangan, bukan dari slide presentasi. Jika pemerintah ingin meninggalkan legacy yang benar-benar hidup, maka ubahlah arah program: dari pelatihan ke produksi, dari teori ke pendapatan.
Karena kemakmuran tidak datang dari sertifikat, tapi dari ayam yang bertelur di kandang rakyat. Dan sejarah hanya akan mengingat pemerintahan yang memberi rakyat kemampuan untuk hidup , bukan sekadar pelatihan untuk berharap.
MBG adalah katalis yang menyatukan dapur, pasar, dan kelas dalam satu ekosis...
Oleh Anton Hendranata
Sejak menjadi calon presiden, Prabowo Subianto sudah menjadikan isu kedaulat...
Oleh Riyono
Dalam negosiasi kilat antara Presiden Prabowo dan Presiden Trump, disepakati...
Oleh Kurniawan Budi Irianto
Langkah Satgas Pangan melakukan investigasi beras premium akhirnya menemukan...
Oleh Riyono