UMKM dan Peluang Besar di Balik Program Makan Bergizi Gratis

Ahmad Naufal Firnanda CNBC Indonesia
Selasa, 30/09/2025 13:50 WIB
Ahmad Naufal Firnanda
Ahmad Naufal Firnanda
Ahmad Naufal Firnanda, S.H merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang saat ini bekerja di Kementerian Usaha Mikro, Kecil, d... Selengkapnya
Foto: Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Jati 05 Pagi, Pulogadung, Jakarta Timur, Senin (3/1/2025). (Dok. BPMI Setpres)

Terpilihnya Presiden Prabowo Subianto pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029 membawa angin segar bagi para Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satu program andalan yang menjadi sorotan adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang telah ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dengan alokasi dana sebesar Rp 71 triliun.


Program yang telah dilaksanakan sejak 2 Januari 2025 ini, memiliki target ambisius yaitu menjangkau hingga 82,9 juta penerima manfaat, terutama pelajar, anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Di balik tujuannya yang mulia untuk meningkatkan gizi anak bangsa, MBG diproyeksikan menjadi motor penggerak roda ekonomi nasional melalui sektor pangan. Rantai pasok program ini dirancang secara khusus untuk memberdayakan UMKM lokal, dengan target minimal 60% bahan baku pada setiap dapur MBG yang bersumber dari produk UMKM.

Melalui laman resmi Badan Gizi Nasional (BGN), disebutkan sekitar 85% dari total anggaran MBG dialokasikan untuk kebutuhan dapur, yang mencakup pasokan sayuran, hasil peternakan, dan perikanan. Hingga pertengahan Agustus 2025, menurut keterangan Deputi Usaha Mikro Kementerian UMKM Riza Damanik melalui situs resmi Kementerian UMKM, tercatat lebih dari 6.435 UMKM telah terlibat sebagai mitra dapur, mulai dari penyedia bahan baku hingga penyedia jasa katering.

Meski program ini masih baru dan berpotensi menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya, peluang yang muncul bagi UMKM tidak bisa dipandang sebelah mata. Program MBG membutuhkan pasokan bahan pangan dalam jumlah masif dan berkelanjutan. Di sinilah UMKM berpotensi masuk sebagai bagian dari rantai pasok, khususnya untuk menyuplai kebutuhan dapur atau Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) setiap harinya.

Berdasarkan keterangan Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN Tigor Pangaribuan dalam BGN Talks, setiap dapur atau Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) rata-rata mampu melayani sekitar 3.000 penerima manfaat per hari. Oleh karena itu, dapat diperkirakan dalam satu bulan, satu dapur SPPG memerlukan sekitar 1,6 ton telur, 2,6-4 ton sayur dan buah, 9.000 liter susu, serta 2-6 ton bahan pokok seperti beras dan umbi-umbian.

Jika diperinci dalam kebutuhan harian, maka setiap dapur SPPG membutuhkan kurang lebih 53 kilogram telur, 87-133 kilogram sayur dan buah, 300 liter susu, serta 67-200 kilogram bahan pokok setiap harinya. Jika terdapat ribuan dapur SPPG di seluruh Indonesia, maka total perputaran uang dari kegiatan tersebut dapat mencapai ratusan miliar rupiah per hari. Ini adalah peluang ekonomi yang sangat besar bagi UMKM, mulai dari petani, peternak, pedagang bahan pangan, usaha jasa katering hingga usaha jasa pengantar barang/logistik.

Keterlibatan ini tidak hanya mendongkrak perekonomian lokal, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di tingkat akar rumput. Indonesia memiliki lebih dari 65 juta UMKM yang menyumbang sekitar 61% Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja nasional.

Jika UMKM mampu mengambil peran dalam rantai pasok MBG, maka bukan tidak mungkin program ini menjadi katalis untuk mendorong transformasi UMKM. Usaha mikro dapat naik kelas menjadi usaha kecil, usaha kecil berkembang menjadi menengah, dan usaha menengah bertransformasi menjadi usaha besar.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 2021, klasifikasi UMKM dibedakan berdasarkan kriteria modal usaha dan omzet tahunan.
• Usaha Mikro: memiliki modal usaha paling banyak Rp1 miliar dan omzet tahunan maksimal Rp2 miliar.
• Usaha Kecil: modal usaha lebih dari Rp1 miliar hingga Rp5 miliar, dengan omzet tahunan Rp2-15 miliar.
• Usaha Menengah: modal usaha Rp5-10 miliar, dengan omzet tahunan Rp15-50 miliar.

Dengan adanya program MBG, UMKM yang biasanya hanya melayani pasar lokal, sekarang dapat melakukan kontrak/kerja sama dengan SPPG untuk memenuhi kebutuhan dapur MBG. Dengan potensi pasar yang besar dan berkelanjutan tersebut, UMKM memiliki peluang nyata untuk naik kelas sehingga transisi dari satu kategori ke kategori berikutnya bukan hanya jargon, melainkan sebuah proses yang mampu menciptakan fondasi ekonomi untuk lebih kuat, pemerataan ekonomi
yang lebih adil, serta peningkatan pendapatan yang dapat dirasakan langsung oleh para pengusaha UMKM.

Namun, perjalanan UMKM untuk menjadi bagian dari program ini bukan tidak tanpa hambatan. Terdapat sejumlah tantangan yang perlu dicermati bersama. Sebagai contoh, BGN telah menunjuk SPPG di berbagai kabupaten/kota sebagai pelaksana program MBG. UMKM yang ingin menjadi mitra dalam program ini, diwajibkan memiliki badan hukum yang jelas, seperti yayasan atau koperasi, serta memiliki pengalaman di bidang penyediaan makanan. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan serta menjadi hambatan yang dapat mengurangi partisipasi UMKM dalam program MBG, karena masih banyak UMKM yang belum berbadan hukum.

Masalah lainnya yaitu terkait praktik pungutan liar (pungli) yang masih menjadi keluhan di lapangan. Banyak oknum yang memanfaatkan antusiasme pengusaha UMKM untuk bergabung ke dalam yayasan dengan cara memungut biaya tidak resmi. Jika hal ini tidak segera dibenahi, maka pelaksanaan program MBG berpotensi dikuasai oleh kelompok tertentu, sehingga mengurangi pemerataan ekonomi bagi UMKM.

Lebih lanjut, kesiapan dari sisi kualitas makanan yang diberikan juga penting. Laporan mengenai kasus keracunan yang menimpa penerima manfaat di tengah pelaksanaan program ini menjadi sorotan. Hal ini menandakan perlunya pengawasan ketat terhadap kualitas makanan mulai dari sumber/suplainya, pengolahan makanan hingga makanan tersebut disajikan kepada penerima manfaat. Menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga 21 September 2025
tercatat 6.452 korban keracunan dalam program MBG.

Program MBG sendiri telah menetapkan standar tinggi terkait keamanan pangan, higienitas, dan konsistensi suplai. Hal ini akan menjadi sia-sia apabila tidak disertai dengan pendampingan, sertifikasi, dan standardisasi, karena UMKM akan kesulitan memenuhi standar tersebut yang akibatnya akan menghambat mereka untuk berpartisipasi dalam salah satu program prioritas nasional ini. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong agar UMKM dilibatkan secara sistematis dalam rantai pasok MBG melalui beberapa langkah antara lain:

1. Memberikan pendampingan teknis kepada UMKM, khususnya dalam standar keamanan pangan.
2. Menyediakan jalur kemitraan yang lebih inklusif, tidak hanya melalui yayasan.
3. Menekan praktik pungli dengan pengawasan ketat dan mekanisme pelaporan yang transparan.
4. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG serta menjamin dan melaksanakan standardisasi keamanan pangan yang ketat, termasuk uji laboratorium rutin, sertifikasi higienitas, dan inspeksi secara berkala ke SPPG.
5. Mendorong akses pembiayaan bagi UMKM agar mampu memenuhi permintaan skala besar.

Terlepas dari tantangan yang ada, Program Makan Bergizi Gratis adalah peluang emas bagi UMKM Indonesia. Dengan manajemen yang baik, program ini tidak hanya mampu meningkatkan gizi generasi muda, tetapi juga menjadi motor penggerak perekonomian rakyat.

Dengan mengatasi tantangan yang ada, MBG berpotensi menjadi pilar utama yang mendorong transformasi UMKM dari sekadar penyangga ekonomi menjadi mesin pertumbuhan yang tangguh, merata, dan berkelanjutan. Pada akhirnya, keberhasilan MBG bukan hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi juga sejauh mana program ini mampu mengangkat UMKM naik kelas dan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.


(miq/miq)