'Suntikan' Rp200 T ke Bank: Antara Stabilitas atau Pertumbuhan Ekonomi

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil langkah berani dengan menyalurkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank BUMN. Kebijakan ini tidak hanya mengejutkan pelaku pasar, tetapi juga menandai arah baru strategi ekonomi yang diambil bendahara negara.
Suntikan dana jumbo tersebut dimaksudkan untuk memperkuat likuiditas bank pelat merah, sehingga mereka memiliki ruang lebih luas untuk menyalurkan kredit ke masyarakat. Pemerintah berharap dengan tambahan likuiditas ini, pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini stagnan di kisaran 5% dapat terdongkrak menuju target ambisius 8%.
Alasan di balik kebijakan ini cukup jelas bahwa selama beberapa tahun terakhir pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan nasional menunjukkan tren perlambatan. Data OJK menunjukkan bahwa meski masih tumbuh positif, laju pertumbuhannya semakin mengecil dari semula 7% pada Maret 2023 turun menjadi hanya 4,78% pada Maret 2025.
Perlambatan ini sejalan dengan fenomena makan tabungan yang sempat menghiasi pemberitaan media. Fenomena tersebut menggambarkan kondisi di mana masyarakat terpaksa menggunakan simpanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di sisi lain terjadi peningkatan penyaluran kredit oleh perbankan. Pertumbuhan kredit bank umum naik dari 9,09% pada Maret 2023 menjadi 10,85% pada Maret 2025. Ketimpangan antara pertumbuhan kredit dan pertumbuhan simpanan ini mengisyaratkan kebutuhan suntikan dana murah ke dalam sistem perbankan terutama melalui bank BUMN.
Tambahan likuiditas ratusan triliun tersebut diarahkan khusus pada kredit produktif yang memiliki daya ungkit lebih besar terhadap perekonomian. Pemerintah bahkan melarang penggunaan dana ini untuk pembelian surat berharga negara dan hanya difokuskan pada penciptaan lapangan kerja. Kredit produktif sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi.
Masih dari data yang dipublikasikan oleh OJK bahwa saat ini terjadi tren pelemahan pada segmen KMK. Meskipun sempat mengalami pertumbuhan sebesar 12,30% pada 2024, realisasi KMK pada Maret 2025 hanya tumbuh 6,51%. Sedangkan kontribusi KMK terhadap total kredit perbankan mencapai 45,30%.
Pelemahan inilah yang turut menghambat laju kredit produktif secara keseluruhan. Sebaliknya pada kredit investasi maupun kredit konsumtif meskipun terjadi tren pelemahan namun penurunannya tidak terlalu curam. Hal ini memberi harapan bahwa dana segar dari pemerintah masih sangat memungkinkan untuk mengerek laju pertumbuhan melalui pembukaan lapangan kerja baru di masyarakat.
Meskipun likuiditas telah ditambah persoalan utama justru muncul di sisi permintaan. Bagi konsumen, ketersediaan kredit belum tentu mendorong minat untuk berutang.
Survei NielsenIQ (Mid-Year Consumer Outlook: Guide to 2025) membuktikan terjadinya penurunan secara signifikan pada konsumen yang merasa aman secara finansial dari 26% pada pertengahan 2023 menjadi hanya 13% pada pertengahan 2024. Sebaliknya kelompok masyarakat yang lebih berhati-hati dalam belanja meningkat dari 34% menjadi 41%.
Artinya masyarakat semakin selektif dalam berbelanja diakibatkan ketidakpastian yang mungkin akan mereka hadapi di masa depan. Alhasil jangankan untuk berbelanja atau menambah pagu pinjaman, untuk menjaga kemampuan bayar pun menjadi semakin meragukan.
Dilihat dari kaca mata bank, tambahan likuiditas pun tidak serta merta akan tersalurkan sepenuhnya. Risiko kredit macet tetap menjadi momok dan kesalahan dalam menilai kelayakan debitur bisa menjadi permasalahan di kemudian hari.
Di sinilah muncul kebutuhan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian nasional. Salah satu caranya adalah melalui kebijakan yang menenangkan masyarakat.
Menteri Keuangan sempat menegaskan bahwa alokasi Transfer ke Daerah (TKD) bagi pemda tidak akan dipangkas bahkan akan ditambah pada RAPBN 2026. Keberadaan TKD merupakan porsi terbesar dalam APBD dan penggunaannya sebagian untuk menggaji para ASN daerah.
Langkah ini memang memberi ketenangan bagi para ASN di daerah dan melegakan juga bagi perbankan. Hanya saja hal tersebut sepertinya belum cukup menarik masyarakat berbelanja lebih banyak. Selama besaran penghasilan tidak mengalami penyesuaian maka kemauan masyarakat untuk membelanjakan uangnya akan mengecil.
Jarang disadari oleh pembuat kebijakan bahwa banyak di antara masyarakat yang menanggung beban cicilan utang sebagai alokasi rutin. Dan kebutuhan membayar cicilan utang menjadi penyebab penurunan daya beli masyarakat secara gradual. Mengapa? Karena inflasi menggerus penghasilan tanpa diiringi penyesuaian pendapatan. Sehingga sisa penghasilan yang dimiliki harus semakin dihemat agar mencukupi kebutuhan di tengah peningkatan harga barang/jasa.
Presiden sendiri mengisyaratkan adanya kenaikan penghasilan aparatur pemerintah pada 2026. Jika kebijakan ini terealisasi diharapkan dapat menjadi pemicu kenaikan penghasilan di sektor swasta. Penyesuaian penghasilan di masyarakat baik di sektor pemerintahan maupun non pemerintahan berkaitan erat dengan adanya dorongan untuk belanja lebih banyak.
Terlebih lagi bila kebijakan kenaikan gaji menjadi sebuah hal yang rutin dilakukan sebagaimana terjadi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kepastian adanya kenaikan gaji secara rutin akan mendorong masyarakat untuk semakin percaya diri dalam menggenjot belanja di rumah tangga masing-masing. Dampak lanjutan tentu saja jurus Menteri Keuangan berupa suntikan likuiditas akan terserap sepenuhnya oleh masyarakat.
Faktor lain yang bisa dilakukan oleh perbankan dalam penyaluran kredit murah yakni mengefisiensikan struktur biaya dalam pemberian kredit. Saat ini rentang antara suku bunga tabungan dan suku bunga pinjaman masih cukup lebar. Hal ini tentu saja menekan minat masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas kredit. Jika bank mampu memperkecil rentang suku bunga, tambahan likuiditas akan lebih mudah terserap karena beban bunga yang ditanggung menjadi lebih terjangkau.
Meskipun demikian kebijakan suntikan likuiditas secara masif bukan tanpa risiko. Pemerintah saat ini lebih menitikberatkan pada akselerasi pertumbuhan dibandingkan menjaga stabilitas nilai tukar. Salah satu konsekuensi yang mungkin muncul dari injeksi likuiditas secara besar-besaran adalah pelemahan rupiah.
Memang pemerintah telah memberikan insentif bagi siapa saja yang mau memindahkan valasnya dari luar negeri ke Indonesia. Namun kebijakan ini membutuhkan waktu meski ada iming-iming yang diberikan.
Penambahan likuiditas dalam jumlah besar cenderung meningkatkan tekanan terhadap kurs, logika sederhana adalah jumlah rupiah yang beredar akan menjadi timpang dengan devisa yang dimiliki. Perbandingan rupiah beredar dan devisa yang dimiliki menjadi rumus penentuan nilai tukar rupiah. Untuk kali ini sepertinya pemerintah menilai dalam kondisi daya beli yang sedang melemah, resep pertumbuhan menjadi lebih logis dibandingkan sekadar menjaga keseimbangan nilai tukar.
Jika dihadapkan pada pertanyaan mana yang lebih penting antara stabilitas atau pertumbuhan? Tentu stabilisasi nilai tukar tetap hal yang penting, tapi fokus yang terlalu kaku pada kurs dapat mengorbankan penciptaan lapangan kerja. Bukankah lebih baik masyarakat merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi meskipun disertai risiko pelemahan kurs dibandingkan hanya menikmati stabilitas nominal tanpa perbaikan kesejahteraan nyata.
Pada akhirnya suntikan likuiditas Rp200 triliun ini adalah sebuah pertaruhan besar. Dapat berupa katalis yang mendorong perbankan menyalurkan kredit produktif, meningkatkan investasi, membuka lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tetapi jika masyarakat masih ragu untuk berbelanja, jika penghasilan tidak segera disesuaikan, dan jika bank terlalu berhati-hati menyalurkan kredit, maka dana jumbo tersebut berisiko hanya menambah angka di neraca perbankan. Efektivitas kebijakan ini akan sangat ditentukan oleh sinergi antara kebijakan terkait kenaikan penghasilan, tumbuhnya kepercayaan konsumen, dan strategi perbankan dalam menjaga keseimbangan antara risiko dan ekspansi kredit.
(miq/miq)