Kemandirian Pertahanan, Sebuah Pelajaran dari Swedia

Di banyak negara, pembangunan alat utama sistem persenjataan selalu menjadi cermin keberanian politik sekaligus investasi jangka panjang. Swedia pada awal 1980-an memberikan contoh menarik ketika memutuskan untuk mengembangkan sendiri pesawat tempur multirole JAS Gripen.
Pilihan itu bukan sekadar proyek teknologi, melainkan keputusan strategis untuk menjaga kedaulatan sekaligus menggerakkan industri nasional. Keputusan tersebut lahir dari kesadaran bahwa ketergantungan penuh pada impor senjata berisiko terhadap kedaulatan.
Dengan menetapkan jalur pengembangan mandiri, Swedia mengunci arah pertahanan dan industri teknologinya untuk dua dekade ke depan. Parlemen menetapkan anggaran jangka panjang, sebesar 25,7 miliar krona Swedia pada harga 1981, yang diproyeksikan berlaku hingga tahun 2000.
Uniknya, bahkan sebelum prototipe pertama berhasil terbang, pemerintah sudah menjamin pemesanan minimal, yakni lima pesawat prototipe dan tiga puluh pesawat produksi awal. Kepastian ini memberi napas panjang bagi industri, menekan risiko finansial, sekaligus mendorong kolaborasi erat antara Saab, konsorsium IG-JAS, lembaga riset pertahanan FOA, dan badan pengadaan FMV.
Skema tersebut menumbuhkan ekosistem yang saling menguatkan. Industri mendapat kepastian pasar domestik, lembaga riset memperoleh tantangan nyata untuk mengembangkan teknologi avionik, radar, dan mesin, sementara negara memastikan pasukan udaranya akan memperoleh pesawat tempur yang sesuai kebutuhan operasional.
Hasilnya, Gripen bukan hanya memenuhi kebutuhan nasional, tetapi juga mampu menembus pasar ekspor, menjadi salah satu produk teknologi tinggi Swedia yang paling dikenal di dunia.
Kini, Gripen dikenal luas sebagai salah satu pesawat tempur multirole terbaik di kelasnya. Ia bukan hanya tangguh dalam pertempuran, tetapi juga terkenal sebagai yang paling efisien dari sisi biaya operasional dan perawatan. Dibandingkan pesawat generasi sekelasnya, Gripen menawarkan keunggulan biaya siklus hidup yang jauh lebih rendah.
Lebih jauh lagi, generasi terbaru Gripen telah mengadopsi kecerdasan buatan untuk pesawat tempur tanpa awak untuk melakukan operasi tempur. Semua aspek kendali dalam pengambilan keputusan, manajemen sensor, hingga kontrol misi dilakukan oleh mesin secara otomatis.
Dengan demikian, warisan keberanian politik Swedia empat dekade lalu kini terwujud dalam sebuah platform yang bukan hanya efektif di medan perang, tetapi juga visioner dalam memanfaatkan teknologi masa depan.
Pengalaman Swedia ini memperlihatkan bahwa keberanian mengambil keputusan jangka panjang, disertai jaminan pembiayaan dan kepastian pembelian sejak awal, mampu melahirkan kemandirian pertahanan.
Kemandirian itu bukan hanya soal alat tempur, tetapi juga soal membangun kapasitas bangsa, membuka lapangan kerja insinyur, menumbuhkan industri penunjang, hingga melahirkan inovasi yang kemudian mengalir ke sektor sipil.
Sebuah langkah besar yang menempatkan pertahanan tidak hanya sebagai biaya, melainkan investasi strategis bagi masa depan.
(miq/miq)