Gagasan Tauhidinomics: Membangun Peradaban Ekonomi Berbasis Ketuhanan

Mohammad Nur Rianto Al Arif CNBC Indonesia
Kamis, 25/09/2025 05:10 WIB
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif merupakan Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah dan saat ini menjabat sebagai Asiste... Selengkapnya
Foto: Suasana gedung bertingkat tertutup kabut polusi usai hujan di Jakarta, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Di tengah gelombang arus globalisasi, kapitalisme, dan sekularisasi ekonomi, muncul keresahan di kalangan intelektual Muslim, yaitu mengapa sistem ekonomi modern yang dominan seringkali gagal menghadirkan keadilan sosial, keseimbangan lingkungan, dan kesejahteraan hakiki bagi manusia? Pertumbuhan ekonomi global memang meningkat, tetapi jurang ketimpangan kian melebar, krisis ekologis memburuk, dan nilai-nilai kemanusiaan sering terpinggirkan.


Keresahan ini melahirkan kebutuhan untuk menghadirkan sebuah paradigma alternatif yaitu Tauhidinomics. Sebuah gagasan yang berakar pada tauhid, di mana tauhid merupakan inti dari ajaran Islam.

Hal ini sebagai upaya untuk menata ulang cara manusia memandang, mengelola, dan mendistribusikan sumber daya. Jika ekonomi modern sering berpusat pada manusia atau bahkan pada modal, maka tauhidinomics menegaskan bahwa segala aktivitas ekonomi harus berpangkal dan bermuara pada Allah SWT.

Tulisan ini akan menggali ide dasar tauhidinomics, latar belakang munculnya, landasan filosofis-teologis, prinsip-prinsip utama, serta bagaimana gagasan ini bisa diterapkan dalam konteks ekonomi kontemporer, baik di Indonesia maupun global.

Ekonomi kapitalistik global telah membawa dunia pada pertumbuhan tinggi, tetapi juga menghadirkan kontradiksi besar. Menurut data, 1% orang terkaya di dunia menguasai lebih dari separuh kekayaan global. Sementara itu, lebih dari 700 juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Selain itu, ekonomi modern cenderung menuhankan pertumbuhan. Indikator keberhasilan negara selalu didefinisikan lewat pertumbuhan PDB, padahal ia tidak otomatis mencerminkan kesejahteraan rakyat. Sering kali, pertumbuhan justru diiringi oleh eksploitasi alam, polusi, dan kerusakan ekologis.

Dalam dunia Islam, problem ini terasa ganda. Pertama, umat Islam menghadapi keterbelakangan ekonomi dibanding negara maju. Kedua, banyak umat Muslim merasa terjebak dalam sistem kapitalistik global yang tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai Islam.

Sehingga, lahir gagasan tentang ekonomi Islam, perbankan syariah, zakat produktif, dan lain-lain. Namun, sebagian kalangan menilai bahwa ekonomi Islam masih terjebak dalam salin-tempel kapitalisme dengan sedikit modifikasi halal.

Di sinilah Tauhidinomics hadir sebagai gagasan yang lebih fundamental yaitu bukan sekadar menempelkan label syariah pada instrumen kapitalistik, melainkan menyusun kembali seluruh paradigma ekonomi berdasarkan tauhid.

Tauhid berarti pengesaan Allah, inti ajaran Islam. Dalam dimensi ekonomi, tauhid tidak hanya dipahami sebagai doktrin teologis, tetapi juga worldview yang membimbing perilaku manusia dalam bermuamalah. Tauhid akan menjadi kompas moral, epistemologis, dan aksiologis.

Dalam pandangan tauhid, manusia hanyalah khalifah (wakil) Allah di bumi, bukan pemilik mutlak. Alam bukanlah objek eksploitasi tanpa batas, tetapi amanah yang harus dijaga. Kekayaan bukan tujuan akhir, melainkan sarana ibadah dan keberkahan.

Tauhidinomics menekankan pada tiga prinsip utama dalam memasukkan tauhid dalam ekonomi. Pertama ialah tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dalam tujuan. Segala aktivitas ekonomi diniatkan untuk ibadah.

Prinsip kedua ialah tauhid rububiyah yaitu meyakini bahwa Allah adalah pemilik dan pengatur rezeki, sehingga menolak keserakahan. Prinsip terakhir ialah tauhid asma' wa sifat, di mana meneladani sifat Allah (adil, rahman, hikmah) dalam transaksi dan kebijakan ekonomi.

Dengan fondasi ini, tauhidinomics mengarahkan umat manusia pada keseimbangan yaitu antara individu dan masyarakat, antara kebutuhan materi dan spiritual, serta antara pembangunan ekonomi dan kelestarian alam.

Berdasarkan tiga prinsip di atas, kemudian tauhidinomics dapat diturunkan lagi dalam prinsip yang lebih implementatif. Pertama adalah prinsip keadilan (al-adl). Ekonomi harus menjamin distribusi yang adil. Bukan keseragaman, tetapi mencegah monopoli dan ketimpangan ekstrem. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah instrumen konkret mewujudkan keadilan.

Prinsip kedua ialah keseimbangan (tawazun), di mana tidak boleh ada eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya. Konsep keberlanjutan (sustainability) dalam ekonomi modern sejalan dengan nilai Islam. Ketiga ialah prinsip persaudaraan (ukhuwwah). Ekonomi bukan hanya kompetisi, tetapi juga kolaborasi. Tauhidinomics menekankan solidaritas sosial, berbagi risiko, dan gotong royong.

Prinsip keempat ialah Amanah dan akuntabilitas. Setiap pengelolaan harta adalah amanah. Korupsi, manipulasi, dan penipuan adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip tauhid. Prinsip terakhir ialah keberkahan (barakah). Ukuran keberhasilan ekonomi bukan hanya angka, tetapi kualitas hidup dan ridha Allah. Uang halal yang sedikit lebih bermakna daripada harta haram yang berlimpah.

Tauhidinomics hadir bukan sekadar alternatif teknis, melainkan paradigma tandingan. Kapitalisme menekankan kebebasan individu, kepemilikan pribadi, dan akumulasi modal. Kapitalisme menghasilkan inovasi, tetapi juga kesenjangan. Sosialisme menekankan kepemilikan kolektif dan pemerataan, tetapi sering mengorbankan kebebasan individu.

Tauhidinomics berada di antara keduanya yaitu mengakui kepemilikan individu, tetapi dengan tanggung jawab sosial; mendorong kreativitas, tetapi membatasi keserakahan; menekankan keadilan, tetapi bukan dengan cara merampas. Dengan kata lain, tauhidinomics adalah "jalan tengah" yang seimbang, berbasis spiritualitas.
Lalu bagaimana aplikasi tauhidinomics dalam kehidupan ekonomi?

Selama ini, banyak lembaga keuangan syariah terjebak dalam formalitas yaitu mengganti bunga dengan margin, tetapi tetap berorientasi profit semata. Tauhidinomics menuntut perbankan syariah menjadi instrumen pembangunan, mendukung usaha mikro, dan memberdayakan umat, bukan sekadar meniru bank konvensional.

Selain itu, tauhidinomics memandang zakat dan wakaf bukan hanya ritual, tetapi instrumen kebijakan fiskal Islam. Dengan manajemen profesional, zakat dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan. Wakaf bisa menjadi modal sosial untuk membangun sekolah, rumah sakit, hingga infrastruktur publik.

Hal yang tak kalah penting juga dalam tauhidinomics membangun bisnis berbasis etika. Dalam tauhidinomics, bisnis tidak boleh hanya mengejar laba, tetapi juga harus menjaga kehalalan, keadilan, dan keberlanjutan. Konsep halal value chain dan green economy selaras dengan gagasan ini.

Dalam konteks negara, tauhidinomics harus melahirkan kebijakan publik Islami. Negara dalam perspektif tauhidinomics harus menjalankan peran sebagai regulator adil yaitu menjamin distribusi, mencegah monopoli, melindungi yang lemah, dan memastikan bahwa kebijakan ekonomi mendekatkan masyarakat kepada kesejahteraan hakiki.

Terdapat tantangan dan kritik terkait gagasan tauhidinomics ini. Tantangan implementasi pertama ialah kurangnya kesadaran elit politik dan bisnis terhadap paradigma tauhid. Kemudian sistem global kapitalistik yang hegemonik, sulit ditembus. Terakhir ialah sumber daya manusia yang belum sepenuhnya memahami konsep tauhidinomics.

Sedangkan kritik yang muncul dari dalam ialah sebagian kalangan menilai tauhidinomics masih terlalu idealis, belum ada formula teknis jelas. Namun, kritik ini justru mendorong perlunya riset lanjutan agar tauhidinomics tidak berhenti pada tataran wacana.

Jika ekonomi kapitalisme lahir dari semangat pencerahan Eropa yang sekular, maka tauhidinomics lahir dari cahaya wahyu. Tauhidinomics bukan sekadar sistem ekonomi, tetapi bagian dari peradaban Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Tauhidinomics berpotensi menjawab tiga krisis besar dunia. Pertama, krisis ketimpangan dengan sistem distribusi zakat dan solidaritas. Kedua, krisis ekologi, dengan prinsip keseimbangan dan keberlanjutan. Ketiga, krisis spiritualitas, dengan mengembalikan ekonomi sebagai sarana ibadah, bukan tujuan hidup.

Menggagas tauhidinomics berarti menghadirkan kembali nilai tauhid ke jantung aktivitas ekonomi. Tauhidinomics bukan hanya soal halal-haram transaksi, tetapi juga tentang arah, tujuan, dan makna pembangunan. Tauhidinomics menegaskan bahwa ekonomi bukan sekadar urusan duniawi, melainkan bagian dari perjalanan spiritual manusia menuju Allah.

Dalam konteks Indonesia, tauhidinomics bisa menjadi inspirasi besar untuk merumuskan strategi pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berorientasi keberkahan. Tauhidinomics bukan utopia, melainkan visi yang bisa diwujudkan dengan kerja keras intelektual, kebijakan publik yang visioner, serta komitmen umat untuk menghidupkan kembali semangat tauhid dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin jalan menuju tauhidinomics penuh tantangan. Namun, setiap langkah menuju sistem ekonomi yang lebih adil, berkelanjutan, dan bernilai ibadah adalah bagian dari jihad intelektual yang mulia. Karena pada akhirnya, ekonomi bukan tentang siapa yang paling kaya, tetapi siapa yang paling bermanfaat bagi sesama, dan siapa yang paling dekat dengan Allah.


(miq/miq)