Koperasi sebagai Alat Perjuangan Kelas

Rahardian Satya Mandala Putra, CNBC Indonesia
13 October 2025 08:50
Rahardian Satya Mandala Putra
Rahardian Satya Mandala Putra
Rahardian Satya Mandala Putra atau biasa dikenal dengan sapaan Mandala adalah seorang peminat isu Hukum dan Kebijakan Publik. Ia meraih gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan memiliki pengalaman di sektor pemerintahan. Opini yang.. Selengkapnya
Pengunjung melihat produk yang dijual pada gerai Koperasi Desa (Kopdes)/Kelurahan Merah Putih Melawai di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (22/7/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Pengunjung melihat produk yang dijual pada gerai Koperasi Merah Putih Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (22/7/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Mochammad Hatta (Bung Hatta) pernah menekankan bahwa koperasi bukanlah sekedar entitas bisnis, melainkan alat perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu kapitalisme dan ketimpangan. Pandangan tokoh proklamator yang dijuluki Bapak Koperasi Indonesia ini berakar dari pengalaman sejarah: di tengah cengkraman kolonialisme dan ketidakadilan ekonomi, model gotong royong koperasi muncul sebagai jalan demokratisasi ekonomi.

Prinsip asas kekeluargaan dalam koperasi menciptakan hubungan egaliter, yakni: tidak ada majikan dan buruh, melainkan usaha bersama di antara mereka yang sama kepentingan dan tujuannya. Dengan kata lain, melalui koperasi rakyat kecil dapat mengorganisasikan diri untuk menghadapi dominasi kapitalisme, inilah suatu bentuk perjuangan kelas menuju tatanan ekonomi yang lebih berkeadilan.

Secara historis, gerakan koperasi di Indonesia lahir dari semangat perlawanan terhadap ketimpangan kelas. Pada awal abad ke-20, para tokoh pergerakan nasional mendirikan koperasi sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan ekonomi kolonial.

Bung Hatta saat diasingkan di Banda Neira pada tahun 1930-an bersama dengan Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri, mendirikan Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe) yang merupakan sebuah organisasi sosial dan pendidikan yang bergerak di bidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi. Bung Hatta diiberikan kepercayaan untuk mengurus bidang koperasi di organisasi tersebut.

Strategi yang dilakukan cukup radikal namun efektif. "Kita akan memonopoli semua hasil bumi yang turun dari perahu kemudian didistribusikan kepada masyarakat setempat" ujar Bung Hatta tentang taktik koperasi yang akan dilakukannya. Setiap kapal dagang yang berlabuh, muatannya diborong oleh koperasi lalu dijual kembali kepada penduduk lokal.

Dengan memotong mata rantai seperti itu, harga barang yang diterima oleh masyarakat menjadi terjangkau. Hasilnya, rakyat mendapatkan kebutuhan pokok yang lebih murah, petani maupun nelayan tidak dirugikan, dan koperasi tetap memperoleh keuntungan layak untuk kas kolektif. Kisah ini menjadi bukti awal bagaimana koperasi dapat menjadi sarana kedaulatan ekonomi bagi rakyat kecil.

Setelah kemerdekaan, prinsip-prinsip koperasi bahkan dicantumkan dalam konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, hal ini jelas menunjuk pada semangat koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional.

Gagasan "ekonomi kerakyatan" ala Bung Hatta sejalan dengan mandat konstitusi yang artinya membangun ekonomi berkeadilan sosial di Indonesia dimaksudkan untuk ditempuh melalui jalan koperasi dan usaha kolektif. Dalam praktiknya, koperasi menjadi instrumen untuk melibatkan rakyat sebagai pelaku utama ekonomi, bukan semata sebagai objek pembangunan.

Koperasi Pesantren: Kemandirian Umat dan Ekonomi Berkeadilan

Di sektor pesantren, koperasi menjadi alat perjuangan ekonomi bagi kalangan santri dan masyarakat sekitar pondok. Banyak pondok pesantren berhasil mengembangkan koperasi untuk kemandirian ekonomi umat. Salah satu yang sukses adalah Koperasi Pondok Pesantren Al Ittifaq di Ciwidey, Jawa Barat.

Berdiri sejak tahun 1977, koperasi pesantren ini memiliki fokus di sektor agribisnis (sayur-mayur dan hortikultura). Konsep yang dijalankan sangat progresif: koperasi bertindak sebagai aggregator dan offtaker bagi petani kecil di pedesaan sekitar pesantren. Hal ini membawa dampak positif yaitu petani tidak perlu lagi khawatir produknya tidak terserap pasar karena koperasi sudah menjamin menyerap dan memasarkan hasil panen mereka.

Dengan jumlah anggota lebih dari 1.300 orang dan aset mencapai 49 miliar, jaringan pemasaran yang dimiliki pun sangat luas: mereka memasok sayur mayur dan buah segar ke pasar modern bahkan melayani permintaan khusus bagi rumah sakit dan restoran besar.

Koperasi ini juga mengelola sebuah platform pemasaran sendiri dengan nama Alifmart serta jaringan ritel komunitas. Contoh ini menunjukkan memberikan contoh bahwa pesantren yang identik dengan lembaga dakwah dan pendidikan agam pun bisa menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong melalui koperasi.

Koperasi Nelayan: Lepas dari Jerat Tengkulak

Pada sektor perikanan, koperasi terbukti mampu menjadi alat perjuangan kelas yang konkret. Selama dekade waktu yang sangat lama, banyak nelayan kecil hidup dalam jerat tengkulak. Mereka terpaksa menjual ikan dengan harga murah kepada tengkulak, sekaligus membeli kebutuhan untuk melaut seperti BBM dan peralatan dengan harga yang mahal karena tidak ada alternatif yang bisa ditempuh.

Ketiadaan modal dan akses pasar membuat nelayan terperangkap dalam lingkaran kemiskinan struktural. Dalam tahap inilah koperasi hadir untuk menawarkan solusi. Koperasi Perikanan Mina Harapan Lestari di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, adalah salah satu contohnya. Koperasi ini beridir pada tahun 2023 atas inisiatif para nelayan sendiri, koperasi ini menjadi oase bagi komunitas nelayan lokal.

Melalui koperasi, nelayan di Pulau Harapan kini dapat membeli BBM untuk melaut dengan harga yang wajar dan pasokan terjamin. Bahkan, BBM bisa dibon: diambil terlebih dahulu dan baru dibayar setelah melaut, saat hasil tangkapan sudah diperoleh. Skema ini sangat membantu nelayan yang kerap kekurangan modal tunai, mereka tidak akan lagi terhambat untuk pergi melaut hanya karena tidak punya uang di muka.

Selain itu koperasi juga menyediakan perlengkapan melaut seperti misalnya mesin kapal, pancing, dan suku cadang dengan harga yang jauh lebih murah daripada toko biasa, karena koperasi hanya mengambil margin tipis demi meringankan beban anggota. Dampaknya, biaya operasional turun dan pendapatan nelayan meningkat.

Lebih penting lagi, koperasi berhasil memutus rantai dominasi tengkulak dalam pemasaran ikan. Sebelum ada koperasi, hanya ada pengepul yang gemar menentukan harga sesuka hati dan membuat nelayan tak memiliki daya tawar. Kini, koperasi hadir menggilas permasalahan itu dengan memberikan harga yang layak bagi nelayan. Singkatnya, kehadiran koperasi sukses membuat nelayan di Pulau Harapan lebih berdaulat secara ekonomi.

Menyeimbangkan Idealisme dengan Tantangan

Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa koperasi dapat berfungsi sebagai alat perjuangan kelas yang nyata, dari pesantren yang mampu membangun kemandirian ekonomi hingga nelayan yang melawan ketidakadilan pasar.

Koperasi menawarkan model bisnis alternatif yang menekankan keadilan distributif dan kolektivitas, berbeda dengan logika kapitalisme yang sarat akan unsur eksploitasi. Dalam koperasi, keuntungan bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kesejahterana anggota dan keadilan sosial.

Namun, idealisme koperasi musti diimbangi dengan upaya menghadapi tantangan. Realitanya, banyak koperasi di Indonesia yang gagal atau jalan di tempat karena manajemen yang lemah, minim modal, hingga anggota yang tidak paham pengelolaan.

Fakta ini mengingatkan kita bahwa membangun koperasi yang baik tidaklah mudah. Diperlukan pendidikan yang baik bagi anggota, kepemimpinan yang amanah, serta dukungan kebijakan yang sesuai agar koperasi bisa tumbuh berkelanjutan.

Ke depan, gerakan koperasi wajib hukumnya untuk bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati diri. Inovasi model usaha dan digitalisasi layanan perlu digencarkan agar koperasi mampu bersaing di era modern. Dukungan pemerintah juga krusial untuk membuka akses permodalan dan pendampingan. Dengan langkah-langkah tersebut, koperasi dapat benar-benar menjadi soko guru perekonomian nasional seperti yang dicita-citakan.

Pada akhirnya, berbicara tentang koperasi adalah berbicara mengenai manifestasi dari solidaritas kolektif. Ia lahir dari pergulatan rakyat biasa yang mendambakan perubahan nasib melalui jalan kebersamaan.

Dari dermaga kecil tempat nelayan berkumpul hingga serambi pesantren tempat santri bermusyawarah, semangatnya sama: gotong royong demi keadilan ekonomi. Di tengah arus kapitalisme yang kerap meninggalkan kaum kecil tak berdaya, koperasi menawarkan secercah harapan: bahwa ekonomi bisa diatur oleh dan untuk rakyat.

Inilah substansi dari perjuangan kelas melalui koperasi: membalikkan piramida ekonomi dari kekuasaan oligarki menuju kedaulatan ekonomi kerakyatan. Perjuangan ini tentu masih panjang, tetapi jalannya kian terang jika nyala obor koperasi terus kita rawat di seluruh penjuru negeri.


(miq/miq)