Jangan Terjebak Skor PISA, Anak Indonesia Bisa Unggul Lewat AI No-Code

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Indonesia hari ini berada di persimpangan sejarah. Dunia berlari menuju era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan bangsa yang menguasainya akan melompat ke depan.
Kita sudah sering mendengar istilah "kedaulatan AI", disertai peta jalan, etika, lembaga pengawas, dan jargon regulasi lain. Namun yang terasa justru sebuah jarak: kebijakan tampak rapi di atas kertas, tetapi belum menyentuh denyut produktivitas riil.
Apa gunanya bicara kedaulatan jika ekonomi masih bergantung pada aplikasi asing? Apa artinya etika jika mahasiswa tidak pernah diajak memahami bagaimana AI bekerja? Apa maknanya trust dan governance jika UMKM yang menopang mayoritas PDB masih beroperasi manual?
Kelemahan mendasar pendekatan kebijakan saat ini adalah sifatnya normatif. Terlalu sibuk meniru standar internasional, tetapi lupa menanamkan fondasi epistemik di masyarakat.
Literasi digital disebut-sebut, namun sebatas tahu cara memakai gawai atau aplikasi. Padahal literasi AI yang sejati adalah memahami bagaimana mesin menghasilkan makna, bagaimana probabilitas menggantikan kepastian, dan bagaimana bias algoritmik terbentuk.
Tanpa kesadaran epistemik, bangsa ini hanya akan melahirkan generasi pengguna pasif, bukan pencipta nilai. Lebih ironis lagi, kebijakan yang ada nyaris tak pernah dikaitkan dengan strategi makroekonomi. Padahal sejarah menunjukkan ada hubungan erat antara literasi dasar dengan pertumbuhan jangka panjang.
Skor PISA kita rendah, itu fakta. Tetapi alih-alih menambalnya dengan jalur baru, yakni AI literacy yang langsung mendorong produktivitas, kita justru berhenti di tataran regulasi.
Kita bicara red teaming dan lembaga pengawas, tetapi tidak ada jalur jelas bagaimana semua itu akan menaikkan PDB. Bangsa ini membutuhkan visi yang lebih tajam. AI literacy harus dijadikan agenda nasional, setara dengan literasi baca dan hitung.
Mahasiswa perlu diberi ruang sejak awal untuk membangun produk berbasis AI, bahkan dengan platform no-code, lalu diuji pada konteks nyata: UMKM, sekolah, pesantren.
Uji yang diperlukan bukan sekadar kepatuhan pada aturan, melainkan uji epistemik: apakah generasi muda paham bagaimana mesin berpikir, bisa mengkritisi jawabannya, dan mampu memanfaatkan AI untuk mencipta solusi. Dengan begitu, AI literacy tidak lagi berhenti pada jargon, tetapi langsung berhubungan dengan produktivitas total faktor dan pertumbuhan PDB.
Pertanyaannya kini sederhana: apa yang sedang dilakukan para pemegang kebijakan? Mengapa langkah konkret melatih sejuta mahasiswa agar AI menjadi mesin produktivitas nasional belum juga dijalankan? Mengapa UMKM tidak segera mendapat akses pada agen-agen AI sederhana yang bisa menurunkan biaya dan menaikkan omzet?
Bangsa ini tidak bisa lagi menunggu. Regulasi yang indah tidak akan memberi makan rakyat. Yang dibutuhkan adalah keberanian menempatkan literasi AI sebagai agenda epistemik, bukan kosmetik.
Jika kepemimpinan berani menuntut jawaban dan menagih arah yang jelas dari para pemegang kebijakan, Indonesia masih punya peluang untuk melompat. Jika tidak, kita hanya akan jadi penonton di era kecerdasan buatan.