Kemandirian Energi: Pilar Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Adhitya Nugraha CNBC Indonesia
Senin, 22/09/2025 16:45 WIB
Adhitya Nugraha
Adhitya Nugraha
Senior Economist, Pertamina Energy Institute at PT.Pertamina (Persero). ... Selengkapnya
Foto: dok Istimewa

Awal 2025 ditandai dengan meningkatnya dinamika ekonomi global. Perang tarif yang kembali digulirkan oleh Donald Trump di Amerika Serikat dan konflik berkepanjangan Iran-Israel menekan rantai pasok dan memperbesar ketidakpastian pasar dunia. Namun, Indonesia menunjukkan daya tahan yang relatif baik dibandingkan dengan banyak negara lain.

Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50 persen PDB, masih menjadi penopang utama pertumbuhan. Pola konsumsi menunjukkan perbedaan yang cukup kontras, yaitu kelas menengah-atas menjaga momentum belanja, sementara kelas menengah-bawah lebih selektif dalam membelanjakan pendapatnya.

World Bank pada Juni 2025 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,8 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan 5,0 persen pada 2024, tetapi tetap di atas rata-rata negara berkembang yang tertekan akibat perang dagang. Fenomena ini menegaskan pentingnya kebijakan pemerataan konsumsi dan stimulus daya beli lintas segmen.


Tantangan struktural justru dapat dimaknai sebagai peluang memperkuat fondasi ekonomi domestik. Pemerintah dan pelaku usaha dapat mendorong broad-based growth melalui konsumsi energi yang lebih efisien, percepatan diversifikasi energi, hilirisasi industri, maupun pemerataan akses ekonomi.

Dilema Penyediaan dan Kebutuhan Energi

Tantangan serupa juga terlihat di sektor energi. Penyediaan sumber energi nasional cenderung menurun, sementara kebutuhan masyarakat dan industri terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari realisasi lifting yang selalu turun sejak tahun 2016 yang diakibatkan oleh kondisi natural decline akibat faktor usia dari sumur yang berproduksi, serta terbatasnya penemuan lapangan baru. Untuk bisa menaikan atau bahkan menjaga kapasitas produksi/lifting minyak bumi harus disertai dengan tambahan beroperasinya wilayah kerja yang baru.

Dalam memenuhi kebutuhan energi minyak bumi di Indonesia, salah satunya dilakukan dengan impor minyak mintah. Volume impor minyak mentah pada tahun 2024 sebesar 112 juta barel, sedikit mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya 125 juta barel, namun pemilihan pemenuhan BBM melalui impor tidak dapat dihindari, baik untuk impor BBM siap pakai secara langsung maupun untuk bahan baku di kilang. Lifting minyak bumi pada tahun 2024 pun masih sebesar 579 ribu bopd dibandingkan dengan target 635 ribu bopd.

Lifting minyak bumi erat kaitannya dengan ketahanan energi yang merupakan suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Ketersediaan yang dimaksud yaitu dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Dalam hal ketersediaan energi dapat dilihat dari kinerja produksi/lifting minyak bumi, reserve to production minyak bumi, reserve replacement ratio minyak bumi, cadangan penyangga minyak mentah, cadangan penyangga BBM, dan cadangan operasional BBM.

Hal serupa pada lifting gas tahun 2024 sebesar 978 ribu boepd yang masih dibawah target sebesar 1.033 boepd. Kondisi cadangan batubara yang dimiliki oleh Indonesia saat ini sebesar 31,71 miliar ton yang masih dapat dimanfaatkan sampai dengan 40 tahun ke depan. Adapun potensi EBT untuk pembangkit listrik yang ada di Indonesia mencapai lebih dari 3.000 GW dengan pemanfaatan realisasinya baru 0,32%, yang menunjukan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) masih sedikit yang dimanfaatkan.

Penyediaan energi di Indonesia saat ini masih didominasi oleh energi fosil, adapun bauran EBT dibawah target yang telah ditetapkan Pemerintah. Hingga tahun 2024 bauran EBT sebesar 14,65% dari target sebesar 19,5%.

Trend penyediaan yang menurun ini berbeda dengan trend kebutuhan bahan bakar yang meningkat. Konsumsi BBM Pertamina mencapai 105 juta KL di tahun 2024, meningkat dibandingkan tahun 2023 dengan jumlah sebesar 93 juta KL.

Konsumsi BBM non-subsidi, seperti Pertamax dan Dexlite cenderung naik sejak bulan April 2025 yang mengindikasikan tren pemulihan aktivitas ekonomi dari sisi mobilitas didorong oleh mayoritas kelas menengah atas. Disisi lain, konsumsi BBM subsidi seperti Pertalite, mengindikasikan masyarakat kelas menengah-bawah cenderung menurun.

Namun penjualan LPG 3 kg subsidi menunjukkan pertumbuhan yang positif pada semester I tahun 2025. Kinerja ini mencerminkan bahwa daya beli masyarakat kelas menengah bawah untuk memenuhi kebutuhan energi masih terjaga. Pada segmen LPG non-subsidi pun, penjualan LPG Bright tetap mencatatkan tren positif.

Mencari Jalan Menuju Kemandirian Energi

Kemandirian energi menjadi jawaban atas dilema ini. Kemandirian bukan berarti menutup diri dari perdagangan internasional, melainkan mengurangi ketergantungan eksternal dan memaksimalkan sumber daya domestik. Indeks energi dapat mencerminkan tingkat kemandirian energi, khususnya dari sisi suplai, dengan mengukur sejauh mana kebutuhan dapat dipenuhi melalui pemanfaatan maksimal potensi sumber daya domestik.

Upaya ini dapat ditempuh dengan memperkuat produksi dan cadangan fosil melalui eksplorasi baru serta penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery di lapangan tua. Kontrak migas yang lebih atraktif harus segera diwujudkan untuk menarik investasi, sementara pembangunan cadangan strategis minyak bumi atau Strategic Petroleum Reserve menjadi kebutuhan mendesak untuk menghadapi gejolak geopolitik.

Di sisi lain, akselerasi energi terbarukan menjadi keniscayaan. Untuk mencapai target RUEN sebesar 23 persen pada 2025, pemanfaatan EBT harus tumbuh lebih dari lima gigawatt per tahun. Skema blended finance yang menggabungkan green bonds, sovereign wealth fund Indonesia, dan dukungan lembaga keuangan multilateral bisa menjadi katalis. Distribusi energi berbasis masyarakat, seperti PLTS atap dan pembangkit skala desa, juga perlu diperluas untuk mengurangi ketimpangan akses energi.

Efisiensi dan digitalisasi energi semakin penting. Penerapan smart grid dan manajemen permintaan, serta standar efisiensi energi di industri, transportasi, dan rumah tangga, diperkirakan mampu memangkas konsumsi energi primer hingga sepuluh persen menurut laporan IEA 2024. Langkah ini tidak hanya mengurangi tekanan permintaan, tetapi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon.

Hilirisasi energi dan penguatan industri dalam negeri menjadi dimensi lain yang krusial. Transformasi batubara menjadi DME, perluasan biofuel dari B40 menuju B50, serta pengembangan petrokimia berbasis migas dapat menekan impor sekaligus meningkatkan nilai tambah domestik. Lebih jauh, pembangunan ekosistem manufaktur energi, yang dimulai dari baterai, panel surya, hingga turbin, akan menentukan posisi Indonesia dalam rantai pasok energi global dan mengurangi ketergantungan pada teknologi impor.

Energi Sebagai Fondasi Kemandirian Ekonomi

Energi adalah urat nadi pertumbuhan ekonomi. Ketahanan dan kemandirian energi akan sangat menentukan arah Indonesia menuju Visi Emas 2045. Seluruh pemangku kepentingan memiliki peran strategis. Pemerintah menghadirkan kebijakan fiskal yang tepat dan iklim investasi yang kondusif, dunia usaha menjadi ujung tombak dalam investasi dan operasi, serta perguruan tinggi dan lembaga riset mencetak SDM unggul dan inovasi teknologi.

Sebagai national energy champion, Pertamina memegang peranan sentral. Dengan mengoptimalkan energi fosil, mempercepat hilirisasi, mengurangi ketergantungan impor, dan menjadi katalis investasi energi terbarukan, Pertamina dapat memperkuat fondasi kemandirian energi nasional. Pada akhirnya, kemandirian energi bukan hanya tentang menjaga pasokan, tetapi juga tentang mengamankan masa depan ekonomi Indonesia.


(dpu/dpu)