Energi sebagai Fondasi Kedaulatan dan Keadilan Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan. Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik.
Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi. Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman.
Adapun episode Ke-10 ini kami beri judul: "Kisah Empat Raja dan Para Penjual Harapan". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.
---
Pada awalnya, dunia hanya mengenal kebutuhan dan cuaca, lalu datanglah rempah. Ia menari dalam kapal, disembah dalam doa pelaut, dan diburu dalam perang. Pala dan cengkeh dari Kepulauan Banda, kecil, sunyi, dan tak dikenal dunia sebelumnya, menjadi sebab ekspedisi, penjarahan, dan pemusnahan. Satu karung bisa menebus hidup bangsawan Eropa. Tapi bagi penduduk asli, satu musim panen bisa berakhir dengan hilangnya sebuah generasi.
Rempah-rempah adalah raja pertama. Ia naik takhta tanpa mahkota, hanya harum di udara. Dan ketika pasar menemukan rute baru, raja itu turun harga. Hari ini, pala hanya sekedar bumbu dalam roti. Tidak ada lagi armada yang bergerak untuknya. Tapi tanah tempat darah ditumpahkan masih mencatatnya.
Dan saat itulah kami lahir: para penjual harapan. Kami berdiri di geladak kapal, berkata pada tuan tanah: "Tunggu, Tuan, harga akan naik, angin sedang baik, pasar sedang gila." Kami menukar cerita tentang muson, tentang permintaan di Venesia, tentang pelabuhan yang membuka jalur baru dan pulau baru yang bisa memberikan harga kompetitif.
Ketika rempah mulai turun harga, saat rotinya tetap harum tanpa pala, tak ada lagi armada, tak ada lagi ekspedisi. Tapi kami tetap ada, menjual narasi baru: bahwa ada dunia lain yang kini mulai naik. Kami berganti kulit.
Setelah rempah, datang masa baja. Imperium dibangun bukan dengan kata-kata, tapi dengan rel dan meriam. Baja menggerakkan revolusi industri, membentuk rangka jembatan, kapal perang, dan gedung pencakar langit. Ia adalah otot dari impian kolonial dan pertumbuhan ekonomi.
Tapi setiap baja juga adalah penjara. Baja menegakkan pagar, memagari kamp, dan menopang industri senjata. Dan ketika teknologi baru datang, baja perlahan dilepas dari singgasananya. Dulu sakral, kini sekadar commodity future contract.
Di era baja kami para penjual harapan pun berubah. Kami menjual mimpi tentang kota industri, kereta api, dan jembatan penghubung antar-pulau. Kami membawa investor menjejakkan kaki ke rawa, dan meyakinkannya bahwa di sini, kelak berdiri logistik masa depan.
Kami menjual laporan dengan kata-kata: "infrastruktur adalah multiplier." Kami tahu bahwa setiap batang baja juga bisa jadi pagar penjara. Tapi kami diam. Sebab tugas kami adalah meyakinkan bahwa ada esok yang bisa dibiayai hari ini.
Dan saat baja tergantikan oleh material yang lebih ringan, saat besi jadi rongsokan dan proyek jadi utang, kami pun tak hilang akal, mencari hal lain untuk kami jual.
Lalu manusia menciptakan uang. Bukan dari emas, bukan dari barang, tetapi dari kepercayaan. Uang kertas dijual sebagai alat tukar, lalu disulap menjadi alat kuasa. Dijanjikan sebagai kemakmuran, tapi diam-diam berubah menjadi belenggu hutang.
Bank sentral mencetaknya, negara meminjamnya, rakyat diwariskan beban yang tak mereka tanda tangani. Dan saat krisis datang, raja ini tidak turun dari takhta, tapi menuntut rakyat yang dibakar inflasi untuk percaya lagi.
Di sini, kami pun ikut menari. Kami menulis prospektus, mengatur IPO, menata yield curve dan menghitung spread perdagangan mata uang asing. Kami menjual masa depan dalam bentuk imbal hasil nett of tax. Kami tahu bahwa setiap surat utang adalah janji yang ada kemungkinan bisa putus, tapi kami bungkus dalam font yang meyakinkan.
Dan saat siklus datang, saat uang kehilangan wajah, kami tak menyerah kami justru berkata:"Inilah waktu terbaik membeli. Sentimen sudah priced in." Kami harus menciptakan rasa aman, karena dari sinilah ekonomi akan terus hidup.
Lalu, kini datang zaman raja tanpa tubuh: data. Ia tidak beraroma seperti rempah, tidak berat seperti baja, tidak dicetak seperti uang, tapi mengatur segalanya: pilihan belanja, arah kebijakan, bahkan kepercayaan politik.
Dan kami si penjual harapan, kini menjual angka yang kelihatan bijak. Heatmap, algoritma, machine learning. Kami sediakan dashboard, kami paparkan tren. Kami tahu klien sering tak mengerti isi grafik kami, tapi mereka percaya karena kami percaya diri. Dan harus seperti itu, karena hidup dijalankan oleh rasa percaya.
Tapi seperti semua raja sebelumnya, data pun akan turun harga. Suatu saat, terlalu banyak data akan membuat kita tuli. Kita tidak tahu lagi apa yang benar, hanya tahu apa yang popular. Akan datang masa di mana semua telah terukur, dan manusia tetap tak mengerti. Di mana terlalu banyak insight membuat keputusan makin tumpul.
Tapi saat itu tiba, kami akan tetap di sini. Kami akan jual sesuatu yang lebih baru lagi: mungkin sentimen, mungkin vibrasi, mungkin AI yang belajar dari emosi. Apapun itu, tak tahulah, Karena zaman selalu punya caranya sendiri untuk mengejutkan kita.
Raja-raja ini datang silih berganti. Semua menggenggam dunia, semua akhirnya tergantikan. Dan kami para penjual harapan jadinya mengerti bahwa, segala yang kami ceritakan dan dorong ratusan tahun adalah Kesementaraan.
Kami tahu rempah telah menjadi bumbu dapur, baja berubah jadi rongsokan, uang tinggal utang, dan data segera menjadi polusi algoritma. Tapi, justru karena itulah kita tersenyum. Sebab bila hidup ini harus dijalani, maka mari kita jalani dengan nikmat, dengan kopi hangat di tangan dan ironi di hati.
Dan meski semua raja telah turun harga, kami tetap bangun pagi-pagi, membaca data, mencoba memahami pasar, menulis outlook, memberi angka, karena begitulah kita merayakan absurditas. Mungkin tugas seorang ekonom dan para penjual harapan memang bukan menjinakkan dunia, tapi menemani manusia berdamai dengannya.
Aku sang penjual harapan menulis ini bukan untuk meratapi masa lalu, tapi untuk mengingatkan diriku dan mungkin kalian semua: Bahwa ekonomi bukan tentang meramal kejayaan, tapi mengingatkan bahwa setiap kejayaan pasti akan redup.
Bahwa pekerjaan kita tidak selalu harus memuja yang naik, karena pasti selalu ada titik balik. Karena memang, apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, dan tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.
"Maka kami, para penjual harapan, tinggal belajar tertawa dan mulai menulis lagi."