Menkeu Baru, Harapan Baru: Selamat Bertugas Purbaya Yudhi Sadewa

Sunarsip, CNBC Indonesia
15 September 2025 10:45
Sunarsip
Sunarsip
Sunarsip adalah Chief Economist, The Indonesia Economic Intelligence (IEI). Sebelumnya menjabat sebagai Komisaris di PT Pembangkitan Jawa Bali (2017-2021), Strategic Advisor Bank BRI (2018-2020), Chief Economist Bank Bukopin (2016-2018), Senior Economist B.. Selengkapnya
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat acara Serah Terima Jabatan Menteri Keuangan di Aula Mezanin Gd Juanda 1, Kementerian Kuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sebagai sesama ekonom, penulis telah cukup lama mengenal Purbaya Yudhi Sadewa (PYS) yang beberapa hari lalu ditunjuk sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto, baik sebagai profesional maupun sebagai pribadi. Perkenalan sebagai pribadi, terjadi sejak 20 tahun lalu ketika saya bertugas sebagai Tenaga Ahli Menteri BUMN saat itu, Sugiharto (almarhum), tahun 2005-2007 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Saat itu, PYS menjabat sebagai Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI), lembaga riset milik PT Danareksa (Persero), yang pada masa itu merupakan lembaga riset yang prestisius dan menjadi rujukan berbagai kalangan, termasuk institusi negara. Dengan peran yang berbeda, kami berdua bekerja sama membantu Menteri BUMN saat itu, khususnya dalam menyiapkan dukungan analisis terhadap kebijakan ekonomi dan BUMN.

Selama di DRI, PYS dan timnya membuat berbagai indeks yang mampu memprediksikan arah perekonomian dan pasar keuangan yang akurat (precisely) seperti leading economic index (LEI), coincident economic index (CEI), dan banking pressure index (BPI).

Salah satu temuan yang menarik, berdasarkan model indeks yang dikembangnya, dan sering disampaikannya di berbagai kesempatan bahwa perekonomian kita memiliki periode ekspansi selama tujuh tahun pascaterjadi krisis. Sambil seperti berkelakar, PSY suka menyebut fenomena ini seperti telah menjadi takdir alam (atau semacam sunnatulloh) bagi perekonomian kita, dan kita tidak tahu entah kenapa bisa begitu polanya.

Mungkin atas dasar ini, PYS memiliki keyakinan yang besar bahwa pascakrisis pandemi Covid-19 tahun 2020-2021, saat ini dan tujuh tahun ke depan adalah periodenya ekspansi. Sehingga semestinya kita memiliki keyakinan bahwa kita mampu keluar dari jebakan (trap) pertumbuhan ekonomi 5%.

Dan semestinya, kebijakan ekonomi kita baik fiskal maupun moneter tidak kehilangan momentum untuk memanfaatkan periode ekspansi ini untuk mendorong perpercepatan pertumbuhan ini, menuju angka pertumbuhan sebesar 8% pada tahun 2029 sebagaimana yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto.

Visi Fiskal: Pro Pertumbuhan
Sejak lama, PYS memiliki keyakinan bahwa ekonomi Indonesia memiliki potensi tumbuh lebih besar dari 5%. Kuncinya adalah menciptakan kebijakan yang dapat mendorong agen-agen perekonomian bekerja secara optimal.

Dalam bukunya yang ditulis bersama dengan Sugiharto (Menteri BUMN 2005-2007) yang berjudul "Strategi Kebijakan Ekonomi: Menuju Indonesia yang Lebih Sejahtera" yang diterbitkan pada tahun 2010, PYS sudah lama mencita-citakan bahwa Indonesia perlu mengubah tren pertumbuhan jangka panjangnya menjadi di atas 7%.

Dari sisi ini, penulis melihat bahwa memang terdapat kesamaan visi antara Prabowo dengan PYS, yaitu: pro pertumbuhan (pro growth). PYS yakin bahwa laju pertumbuhan sebesar itu tidak membuat ekonomi terlalu panas (overheating) atau tidak diikuti inflasi terlalu tinggi, namun cukup untuk menciptakan lapangan kerja, menurunkan kemiskinan, sekaligus menciptakan kondisi sosial yang stabil.

Buku berjudul "Ikhtisar Strategi Kebijakan Ekonomi: Menuju Indonesia yang Lebih Sejahtera". Penulis: Dr. Sugiharto dan Purbaya Yudhi Sadewa, Phd. Penerbit: Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Editor: Fahruddin Salim dan Ustya Endang Artiani. Kata Pengantar: Ir. M. Hatta Rajasa. Tahun Terbit: 2010.

Penulis memiliki keyakinan bahwa PYS pun sadar bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi tumbuh sebesar 7%, ada beberapa kondisi yang perlu dipenuhi dan perbaikan di beberapa sektoral. PYS sebenarnya tidak sendiri. Darmin Nasution (2011), Gubernur Bank Indonesia (BI) 2010-2013, juga menyatakan hal yang sama.

Darmin dalam pidatonya sebagai Gubernur BI dalam acara Pertemuan Tahunan Perbankan 2011 tanggal 9 Desember 2011 menyatakan bahwa berdasarkan estimasi BI pertumbuhan potensial perekonomian Indonesia berada pada tingkat 7,0%, apabila ditopang pertumbuhan investasi minimal 12,0% setiap tahun.

Pertumbuhan potential di sini adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang konsisten dengan laju inflasi yang tidak terlalu tinggi dan sustainable serta penyerapan tenaga kerja yang mendekati natural full employment.

Darmin  menyebut terdapat dua prakondisi untuk mewujudkan pertumbuhan 7% tersebut. Pertama, adanya elemen kontinuitas berupa lingkungan makroekonomi yang kondusif. Kedua, adanya pertumbuhan akumulasi kapital dan produktivitas (total factor productivity) sebagai elemen struktural agar perekonomian dapat meningkatkan kapasitasnya dan berdaya saing.

Pertambahan akumulasi kapital dapat tercapai melalui peningkatan investasi, baik berupa mesin, bangunan pabrik, termasuk juga investasi yang bersifat intangible seperti riset dan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM). Keberlangsungan kegiatan investasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya ekspektasi keuntungan, iklim investasi, dan yang tak kalah penting adalah ketersediaan pembiayaan.

Untuk Indonesia, ketersediaan pembiayaan merupakan salah satu faktor yang menghambat (binding constraint) kegiatan investasi di dunia usaha. Kendala pembiayaan oleh dunia usaha terkait kesulitan dalam mengakses kredit ke bank, yang dikaitkan dengan tingginya suku bunga kredit, ketersediaan jaminan, dan persyaratan kredit yang terlalu rumit.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia keuangan, PYS tentunya menyadari bahwa tidak mungkin menunggu hasil reformasi struktural ekonomi untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat, reformasi struktural membutuhkan proses yang relatif terintegratif dan lama yang melibatkan para pihak terkait (stakeholders).

Oleh karenanya, instrumen kebijakan fiskal dan moneter perlu diperankan terlebih dahulu, setidaknya untuk memberikan sinyal kepada dunia usaha bahwa arah kebijakan ekonomi akan lebih pro pertumbuhan (pro growth).

Strateginya adalah mendukung perekonomian dengan menyediakan likuiditas yang cukup agar cost of financing (suku bunga kredit) dapat ditekan serendah mungkin. Kajian DRI (2009) menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia amat dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga. Ekonomi tumbuh lebih cepat ketika suku bunga rendah, dan sebaliknya.

Sebagai menkeu, PYS tentunya memiliki keyakinan belanja pemerintah memiliki peran vital dalam menggerakkan mesin perekonomian. Data memperlihatkan selama semester I-2025 ini, ketika pertumbuhan ekonomi mencapai sekitar 5%, komponen konsumsi pemerintah justru mencatatkan pertumbuhan negatif atau terkontraksi, yaitu sebesar -1,37% (yoy) pada Q1-2025 dan -0,33% (yoy) pada Q2-2025. Hal ini menjadi sinyal kurang baik bagi realisasi penyerapan belanja pemerintah.

Realisasi Belanja Pemerintah terhambat.
PYS memandang bahwa tidak boleh terjadi perlambatan dalam pencairan APBN. Dana APBN ditarik dari perekonomian melalui perpajakan. Termasuk pula, bila dana tersebut diperoleh melalui utang.

Oleh karenanya, seyogyanya dana yang ditarik dari perekonomian dan dari utang tersebut secepatnya dikembalikan ke perekonomian melalui belanja pemerintah. Persoalannya, penyerapan belanja pemerintah tergantung pada kesiapan pengguna anggaran, dalam hal ini kementerian/lembaga. Bila program belum siap, tentunya Kementerian Keuangan juga tidak bisa mencairkan anggarannya kepada kementerian/lembaga terkait.

PYS sepertinya tidak menghendaki ketidaksiapan kementerian/lembaga pengguna anggaran sebagai alasan untuk membiarkan dana APBN terlalu lama tersimpan dalam rekening pemerintah di BI. Ini mengingat, dana pemerintah yang disimpan di rekening BI tidak dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan produktif.

Bila ternyata, kementerian/lembaga belum siap, dana tersebut dikembalikan ke perekonomian menggunakan transmisi lain, dalam hal ini melalui penempatan pada sistem perbankan. Nah, atas dasar pertimbangan inilah Menteri Keuangan PYS pekan lalu memutuskan untuk menarik sebagian dana pemerintah yang tersimpan di BI untuk ditempatkan ke perbankan.

Melalui Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 276 Tahun 2025 tanggal 12 September 2025, pemerintah mengalihkan sebesar Rp200 triliun dana pemerintah di rekening BI kepada lima bank Himbara (BRI, Mandiri, BNI, BTN dan BSI). Pertanyaannya apa kira-kira sasaran ekonomi yang hendak diperoleh melalui pengalihan penempatan dana pemerintah dari rekening di BI ke bank-bank umum?

Pertama, perbankan akan memiliki likuiditas yang lebih besar. Kedua, dengan likuiditas yang besar, perbankan dapat menurunkan suku bunga simpanannya (cost of fund). Ketiga, dampak selanjutnya, suku bunga kredit pun dapat diturunkan sehingga akan mendorong laju pertumbuhan kredit menjadi lebih tinggi dan meningkatkan investasi dunia usaha.

Harus diakui bahwa sejak tahun lalu, perbankan nasional, mengalami kesulitan likuiditas yang cukup berat seiring dengan rendahnya tingkat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Puncaknya adalah pada Mei 2025 lalu, dimana DPK secara nasional hanya tumbuh sebesar 3,81% (yoy). Baru sejak Juni 2025, tekanan likuiditas mulai berkurang namun pertumbuhannya masih relatif rendah yaitu sebesar 6,79% (yoy) per Juli 2025.

Meskipun penempatan dana pemerintah terbatas ke bank Himbara, namun langkah tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap kondisi likuiditas perbankan secara nasional. Persaingan memperoleh dana menjadi berkurang.

Sehingga setiap bank memiliki peluang lebih untuk memperoleh likuiditas dengan cost of fund yang lebih rendah. Secara nasional, langkah ini akan menurunkan tekanan likuiditas terhadap perbankan nasional, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peran sektor swasta.

Apa Langkah Selanjutnya?
Beberapa kalangan berpendapat langkah PYS ini perlu diuji efektivitasnya terutama dalam konteks pengaruh untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Salah satu tantangannya adalah perbankan masih kesulitan untuk menyalurkan kredit terutama dipengaruhi ketidaksiapan dunia usaha menerima kucuran kredit, khususnya kepada UMKM.

Pandangan ini tidak keliru karena faktanya memang pertumbuhan kredit masih mencatatkan pertumbuhan yang rendah. Per Juli 2025, kredit hanya tumbuh 6,67% (yoy) relatif tidak berbeda dengan pertumbuhan DPK-nya.

Rendahnya pertumbuhan kredit ini pulalah yang turut menyumbangkan berkurangnya tekanan terhadap likuiditas dalam beberapa bulan terakhir. Rendahnya pertumbuhan kredit tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan kredit UMKM, yang hanya tumbuh 2,12% (yoy) per Juni 2025.

Dengan kata lain memang, kebijakan memperbesar likuiditas perbankan melalui penempatan dana pemerintah tersebut perlu didukung oleh elemen kebijakan lainnya terutama dari BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI melalui kebijakan moneter dan makroprudensial yang dimilikinya perlu menciptakan stimulus terhadap ekspansi kredit ke dunia usaha.

Sementara itu, OJK perlu menyiapkan kebijakan relaksasi terutama untuk mengatasi hambatan penyaluran kredit kepada calon-calon debitur potensial, misalnya, debitur UMKM yang terjebak status non-performing loan (NPL) dalam SLIK OJK akibat dampak krisis pandemi Covid-19.

Menkeu selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memiliki kewenangannya untuk mempercepat penyelesaian seluruh faktor yang menjadi hambatan bagi penyaluran kredit/pembiayaan melalui koordinasi dengan BI, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dengan berbagai upaya ini, maka percepatan ekspansi sektor swasta dan peningkatan pertumbuhan sektor UMKM dapat dilakukan sehingga akan mempercepat penciptaan lapangan kerja.

Kita telah memiliki menkeu baru, dengan sentuhan kebijakan yang baru. Penulis sepakat dengan pernyataan Presiden ke-7 RI Joko Widodo ketika memberikan pandangan dan apresiasinya terkait penunjukkan PYS sebagai menkeu. Beliau menyebut bahwa penunjukan PYS sebagai menteri keuangan merupakan hal yang tepat, dan memang PYS memiliki mazhab yang berbeda dengan Sri Mulyani Indrawati (SMI).

Terdapat suatu ungkapan menarik begini: "Setiap masa ada orangnya. Dan setiap orang ada masanya". Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah masanya SMI. Selama menjabat sebagai menkeu, SMI telah berhasil menjalankan kebijakan fiskal dan membangun stabilitas sistem keuangan.

Reputasinya sangat diakui. Sekarang, di eranya Prabowo, bisa jadi memang akan menjadi eranya PYS. PYS memiliki kesempatan yang sama untuk mengukir kesuksesan yang sama, bahkan melebihi pendahulunya, dalam menjalankan kebijakan fiskal dan membangun stabilitas sistem keuangan sesuai harapan Prabowo.

Yaitu, mewujudkan fiskal yang pro pertumbuhan, pro penciptaan lapangan kerja sekaligus mewujudkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana judul buku yang dia tulis. Selamat bertugas Purbaya Yudhi Sadewa. Harapan baru telah diletakkan di pundakmu.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation