Likuiditas Rp 200 T: Peluang Strategis Ekonomi Rakyat & Pertumbuhan RI

Langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam mengumumkan pengucuran likuiditas tambahan sebesar Rp 200 triliun direspons beragam oleh publik dan pelaku pasar. Sebagian melihatnya sebagai terobosan strategis, sementara sebagian lain menyoroti risiko yang mengintai-ibarat pisau bermata dua.
Dibandingkan rezim Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, kebijakan Purbaya lebih proaktif, memanfaatkan instrumen fiskal dan moneter secara sinergis, meski tetap dihantui risiko inflasi, kredit macet, dan potensi distorsi pasar.
Pemerintah baru saja menyuntikkan likuiditas senilai Rp 200 triliun untuk mendorong pengembangan ekonomi nasional. Yang lebih penting bukan hanya besarnya angka, tetapi bagaimana likuiditas ini bergerak dan memberi dampak nyata di sektor riil, khususnya UMKM, koperasi, dan proyek-proyek strategis nasional.
Tindakan ini jelas taktis. Akan tetapi, keberhasilan likuiditas tidak hanya bergantung pada besarnya jumlah tersebut, melainkan seberapa cepat dan tepat diarahkan ke sektor produktif. Dalam konteks ini, koperasi produktif seperti Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih menjadi salah satu saluran penting menyalurkan dana langsung ke anggota usaha mikro dan menengah, menjaga lapangan kerja, meningkatkan konsumsi lokal, dan mendorong produktivitas ekonomi dari akar.
Namun, agar aliran dana ini berhasil, sangat penting bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memainkan peran tersebut. Seperti selama pandemi Covid-19, OJK pada akhirnya dapat melakukan kebijakan restrukturisasi kredit dan stimulus kredit.
Dalam konteks saat ini mungkin kebijakan serupa dapat dilakukan secara terbatas dan targeted. Terbatas dalam skema tertentu yang sudah diformulasikan dengan baik dengan Kementerian Koperasi dan kementerian teknis lainnya.
Sementara targeted tentunya OJK akan mengatur dalam jangka waktu tertentu sehingga tetap dapat menjaga kesehatan perbankan dalam stabilitas sistem keuangan. Kebijakan juga harus dapat mengantisipasi terjadinya moral hazard terkait dengan perpanjangan tenor, penundaan pembayaran pokok atau bunga, melonggarkan persyaratan administratif tertentu (SLIK).
Kebijakan semacam itu tidak hanya menyediakan kelangsungan finansial bagi koperasi, tetapi juga memastikan bahwa hasilnya mengalir ke bisnis yang benar-benar produktif. Sebaliknya, Bank Indonesia (BI) dapat membantu dengan menyediakan kebijakan moneter yang mendukung.
Penurunan suku bunga acuan, pelonggaran rasio likuiditas bank, dan fasilitas likuiditas khusus untuk bank yang memberikan kredit kepada koperasi akan, pada gilirannya, meningkatkan kemauan untuk menyalurkan dana.
Pengalaman BI dalam pandemi Covid-19, seperti membeli surat berharga pemerintah, atau berbagi beban, menunjukkan bahwa koordinasi dengan pemerintah membantu pengendalian likuiditas dan stabilitas suku bunga untuk memastikan proyek stimulus fiskal efektif.
Mekanisme di atas menggambarkan aspek sinergi di mana kebijakan fiskal-moneter dapat melengkapi lembaga pengawas keuangan, memastikan bahwa likuiditas pemerintah mencapai sektor riil. Dengan demikian, efek pengganda (multiplier effect) terjadi dengan kombinasi likuiditas pemerintah; kebijakan OJK; dan instrumen BI.
Perspektif Perbankan untuk alokasikan limpahan likuiditas Rp 200 triliun
Pengucuran likuiditas sebesar Rp 200 triliun langsung memicu gelombang optimisme di pasar modal. Saham-saham perbankan pun bergerak naik, mencerminkan persepsi investor bahwa dukungan fiskal dan monetari akan membuka peluang pertumbuhan kredit, meningkatkan profitabilitas bank, dan memperkuat stabilitas sektor keuangan.
Namun di balik euforia pasar, bank menghadapi tantangan yang tidak kalah penting: bagaimana menyalurkan kredit dengan bijak agar peluang pertumbuhan tidak berubah menjadi risiko kredit macet. Kenaikan saham memang menyenangkan, tetapi bank tetap harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan risiko.
Dari sisi internal, perbankan melihat beberapa pertimbangan utama. Pertama, kualitas debitur tetap menjadi prioritas. Penyaluran kredit harus diarahkan ke sektor produktif dan usaha yang memiliki track record baik, termasuk UMKM melalui jalur koperasi seperti Kopdes Merah Putih.
Kedua, penetapan suku bunga harus seimbang: cukup rendah agar kredit menarik, namun tetap menutup risiko gagal bayar. Diversifikasi kredit menjadi strategi penting agar risiko tidak terkonsentrasi pada satu sektor atau kelompok debitur.
Di sisi lain, bank bisa memanfaatkan kebijakan OJK dan BI untuk memaksimalkan dampak likuiditas. Relaksasi GWM dan LDR, fasilitas likuiditas khusus, serta program restrukturisasi kredit yang pernah diterapkan pada masa Covid-19 memberi ruang bagi bank untuk menyalurkan dana dengan risiko lebih terkendali. Sinergi ini memungkinkan kredit produktif bisa naik tanpa mengorbankan kualitas portofolio.
Kendati demikian, bank tidak bisa hanya mengandalkan angka likuiditas besar. Pengawasan risiko tetap menjadi kunci. Digitalisasi proses kredit dan penyaluran melalui koperasi dapat menjadi salah satu solusi, memastikan dana tersalur tepat sasaran dan efisien, sekaligus mengurangi biaya operasional dan risiko human error.
Singkatnya, pengumuman likuiditas Rp 200 triliun adalah peluang besar dan tantangan besar sekaligus bagi perbankan. Kenaikan harga saham mencerminkan optimisme, tetapi keberhasilan jangka panjang bergantung pada kebijakan internal bank, pemanfaatan fasilitas OJK-BI, dan strategi mitigasi risiko.
Bila dikelola dengan tepat, likuiditas besar ini bukan sekadar angka, tetapi akan benar-benar bergerak ke sektor riil, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan memperkuat fondasi keuangan nasional.
Salah satu keunggulan kebijakan ini yang harus diterapkan adalah kebijakan suku bunga kredit yang rendah, yang secara efektif bisa dianggap sebagai subsidi. Dengan bunga murah, bank dapat menyalurkan kredit ke sektor produktif dan proyek strategis tanpa membebani debitur.
Penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke perbankan melalui instrumen likuiditas harus dilihat bukan semata tambahan modal, tetapi sebagai strategi fiskal-moneter terpadu untuk menggerakkan sektor riil. Agar efektif, ada beberapa necessary conditions yang wajib dipenuhi:
1. Penyaluran Kredit yang Terarah (Targeted Lending)
Dana SAL wajib dikaitkan dengan alokasi kredit ke sektor produktif seperti koperasi, UMKM, pertanian, energi terbarukan, proyek pangan, dan infrastruktur strategis. Tanpa syarat penyaluran, ada risiko dana hanya berputar di instrumen keuangan jangka pendek atau ditempatkan kembali di SBI/SUN.
2. Subsidi Suku Bunga atau Skema Kredit Murah
Agar sektor riil benar-benar mampu mengakses pembiayaan, penempatan dana harus dikombinasikan dengan subsidi bunga atau margin rendah. Dengan begitu, biaya modal usaha kecil-menengah bisa ditekan sehingga mereka bisa ekspansi tanpa terbebani risiko likuiditas.
3. Skema Penjaminan dan Mitigasi Risiko
OJK dan LPS dapat mendorong program penjaminan kredit atau skema risk sharing antara pemerintah, bank, dan lembaga penjamin. Ini penting agar bank tetap mau menyalurkan kredit tanpa takut lonjakan NPL (Non-Performing Loan).
4. Transparansi dan Akuntabilitas Penyaluran
Harus ada mekanisme pelaporan digital dan real-time monitoring terkait distribusi kredit, penerima manfaat, serta dampak ekonomi yang tercipta. Hal ini juga bagian dari pencegahan kebocoran, korupsi, dan distorsi pasar.
5. Kesesuaian dengan Kapasitas Permintaan Riil
Penempatan dana likuiditas hanya akan efektif bila sektor riil memiliki demand yang nyata. Oleh karena itu, penyaluran likuiditas sebaiknya diintegrasikan dengan program pemerintah lain seperti makan bergizi gratis, sekolah rakyat, pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan koperasi desa.
6. Koordinasi Fiskal-Moneter yang Konsisten
BI dan Kemenkeu harus selaras: jangan sampai stimulus fiskal melalui likuiditas Rp200 triliun ditarik kembali melalui kebijakan moneter kontraktif yang justru mempersempit ruang pertumbuhan.
Mengacu pada Milton Friedman, likuiditas besar tanpa pengendalian yang tepat bisa berujung pada inflasi atau distorsi. Sebaliknya, menurut Keynes, dalam kondisi permintaan agregat lemah, stimulus besar justru menjadi necessary condition untuk memulihkan ekonomi.
Kuncinya adalah bagaimana SAL Rp 200 triliun ini ditempatkan dengan prasyarat yang tepat, sehingga tidak sekadar menambah angka cadangan perbankan, melainkan menjadi motor pertumbuhan sektor riil yang produktif, inklusif, dan berkelanjutan.
Sebagai penutup bahwa likuiditas Rp 200 triliun tidak hanya dilaporkan sebagai keuangan atau kas negara, tetapi dapat disalurkan langsung ke sektor produktif melalui koperasi, mendorong UMKM, meningkatkan daya beli masyarakat, dan memungkinkan pertumbuhan ekonomi dari bawah ke atas.
Jadi, likuiditas Rp 200 triliun adalah peluang nyata untuk menghidupkan kembali ekonomi masyarakat di bawah kebijakan yang tepat dari OJK dan BI, serta saluran distribusi yang efisien oleh koperasi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang inklusif - adil dan merata dan stabil bukan lagi sekadar target, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan.
(miq/miq)