Energi sebagai Fondasi Kedaulatan dan Keadilan Indonesia

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Kamis, 11/09/2025 06:18 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Fasilitas milik PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. di Sulawesi Utara. (CNBC Indonesia TV)

Sejarah peradaban manusia selalu ditulis dengan tinta energi. Api yang dijinakkan manusia purba bukan hanya memberi cahaya, tetapi juga simbol pengetahuan dan keberanian. Revolusi industri tidak mungkin hadir tanpa tenaga uap dari batu bara.

Di abad dua puluh satu, energi kembali menempati posisi vital. Ia adalah darah yang menggerakkan kehidupan modern, syarat bagi peradaban untuk bertahan, berkembang, dan berdaulat.


Indonesia sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau menghadapi tantangan energi yang unik. Energi di sini bukan sekadar urusan teknis pasokan listrik atau bahan bakar, melainkan menyangkut eksistensi bangsa.

Energi adalah kunci kedaulatan, dasar keadilan, dan fondasi pembangunan. Tanpa energi yang merata dan berkelanjutan, sulit membayangkan masyarakat sejahtera, industri yang kokoh, atau pendidikan yang setara di seluruh wilayah negeri.

Paradoks besar menghantui perjalanan energi Indonesia. Negeri ini dikaruniai sumber daya berlimpah, mulai dari batu bara, minyak, gas, panas bumi, hingga sinar matahari yang nyaris tak pernah absen.

Namun pada saat yang sama, Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan impor, rapuh terhadap gejolak global, dan lamban dalam memanfaatkan energi bersih yang sejatinya tersedia di sekeliling kita. Ketahanan energi yang seharusnya menjadi penopang kedaulatan bangsa justru masih menjadi titik rawan.

Konstitusi telah memberi arah jelas. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Energi, baik fosil maupun terbarukan, termasuk dalam mandat itu.

Pancasila memberi kerangka bahwa energi tidak boleh hanya menjadi komoditas ekonomi, melainkan sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Jika listrik dan bahan bakar hanya terkonsentrasi di pusat pertumbuhan, sementara desa-desa di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara masih bergulat dalam kegelapan, maka yang rapuh bukan sekadar jaringan energi, tetapi juga fondasi keadilan itu sendiri.

Energi juga menjadi persoalan kedaulatan. Ketergantungan besar pada impor BBM membuat Indonesia mudah terguncang setiap kali harga minyak dunia naik. Kenaikan tersebut tidak hanya menekan APBN, tetapi juga langsung berdampak pada inflasi dan stabilitas sosial.

Indonesia mungkin tampak mandiri dengan cadangan batu bara, tetapi ketergantungan impor bahan bakar tetap membuat kedaulatan energi goyah. Dalam dunia yang tidak menentu, kemandirian energi adalah martabat. Bangsa yang tidak mampu mengamankan sumber energinya akan selalu dibayangi krisis.

Padahal, anugerah Nusantara begitu melimpah. Potensi panas bumi Indonesia adalah yang terbesar di dunia, cahaya matahari menyinari sepanjang tahun, angin berhembus konstan di wilayah timur, sementara gelombang laut tidak pernah berhenti.

Namun pemanfaatannya masih jauh dari optimal. Energi terbarukan sering hanya berhenti sebagai wacana atau proyek percontohan, sementara pola utama masih bertumpu pada logika lama: menggali, membakar, lalu menghabiskan.

Di sinilah transisi energi menjadi mutlak. Perubahan paradigma dari eksploitasi menuju keberlanjutan adalah kunci. Energi bersih bukan sekadar instrumen mengurangi emisi karbon, tetapi cermin cara bangsa ini memandang masa depan.

Jika alam adalah titipan, maka energi adalah amanah. Menyalahgunakan amanah berarti meninggalkan krisis bagi generasi mendatang. Sebaliknya, mengelola dengan bijak berarti menyiapkan bekal untuk masa depan yang berkeadilan dan berdaulat.

Tentu jalan ini tidak mudah. Mengurangi ketergantungan pada batubara menuntut keberanian politik, sementara investasi dalam surya, angin, dan panas bumi menuntut komitmen anggaran yang besar.

Transisi juga harus adil. Pekerja tambang dan masyarakat di daerah penghasil energi lama tidak boleh ditinggalkan, melainkan perlu diberi peluang masuk dalam rantai pasok energi hijau. Keberhasilan transisi tidak hanya diukur dari jumlah emisi yang dipangkas, tetapi juga dari sejauh mana rakyat merasakan manfaatnya.

Sejarah energi dunia membuktikan bahwa setiap revolusi dimulai dari keberanian membayangkan hal yang dianggap mustahil. Panel surya yang dulu dipandang terlalu mahal kini menjadi sumber energi paling kompetitif. Indonesia pun dapat menjadi pelopor transisi energi di Asia Tenggara jika berani mengambil keputusan strategis.

Energi, dengan segala bentuknya, pada akhirnya mengajarkan kita bahwa kehidupan adalah soal mengelola daya. Dan ketahanan energi Indonesia adalah ujian besar: apakah kita mampu mengubah anugerah menjadi kekuatan, ataukah kita hanya akan membiarkan potensi itu hilang begitu saja?

Mungkin benar bahwa energi adalah darah peradaban. Tetapi bagi Indonesia, energi lebih dari sekadar darah. Ia adalah cahaya yang menyalakan jalan, napas yang menghidupkan masa depan, dan denyut nadi kedaulatan yang harus dijaga dengan penuh kesadaran.


(miq/miq)