Kenapa Pemimpin Kita Gagal Berbicara dengan Rakyatnya?

Erviera Lovienta, CNBC Indonesia
02 September 2025 13:52
Erviera Lovienta
Erviera Lovienta
Erviera Lovienta merupakan lulusan dari Cardiff University, Inggris, dengan gelar Master of Arts di bidang Political Communication. Erviera sebelumnya bekerja sebagai konsultan global marketing dan komunikasi di sebuah sales and marketing agency berbasis d.. Selengkapnya
Massa yang terdiri dari mahasiswa hingga elemen masyarakat terus memenuhi kawasan Gedung DPR, Jakarta, Jumat (29/8/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat terus memenuhi area di depan Gedung DPR/MPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (29/8/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Belakangan ini, publik Indonesia semakin sering tersulut amarah bukan hanya karena substansi kebijakan, melainkan juga akibat cara komunikasi para tokoh publik. Ucapan-ucapan yang seharusnya menenangkan justru memantik kontroversi, bahkan memperlebar jarak antara pemimpin dan masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa miskinnya keterampilan komunikasi publik yang berempati dari sebagian elite negeri ini.

Dalam teori komunikasi politik, ada dua landasan penting yang dapat menjadi pegangan: Teori Empati dan Teori Homofili.

Teori Empati menekankan pentingnya seorang komunikator untuk menyelami jalan pikiran audiens. Artinya, seorang pemimpin tidak hanya menyampaikan informasi, melainkan juga merasakan keresahan, harapan, dan perspektif yang dihidupi masyarakatnya.

Sementara Teori Homofili menekankan bahwa komunikasi yang efektif dibangun atas dasar kesamaan seperti usia, latar belakang, agama, ideologi, bahkan pengalaman sehari-hari. Semakin besar rasa kesamaan, semakin mudah pesan diterima.

Sayangnya, banyak tokoh publik justru mengabaikan dua hal ini. Kita masih ingat pernyataan pejabat yang menyarankan masyarakat "makan singkong kalau beras mahal," atau ucapan lain yang menyamakan kritik publik dengan "nyinyir tak produktif."

Alih-alih menenangkan, pernyataan semacam ini justru menambah luka kolektif dan memperkuat kesan bahwa pejabat hidup di menara gading, jauh dari denyut nadi rakyatnya. Komunikasi yang gagal memahami empati dan mengabaikan homofili hanya akan memperdalam jurang antara pemerintah dan warga.

Lebih dari sekadar bicara, komunikasi yang baik juga harus mendengar. Teori dialogis menegaskan bahwa komunikasi sejatinya adalah proses dua arah. Seorang pemimpin yang bijak bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menyerap aspirasi rakyat.

Bahkan, menurut teori komunikasi partisipatif, mendengarkan suara masyarakat adalah bagian terpenting dalam membangun legitimasi politik. Tanpa mendengar, komunikasi berubah menjadi monolog yang dingin, kehilangan daya sentuh, dan menutup ruang empati.

Tulisan ini bukan sekadar mengkritik gaya berbahasa para elite, melainkan mengingatkan bahwa komunikasi publik adalah instrumen politik yang sangat menentukan legitimasi. Masyarakat tidak hanya menilai kebijakan dari efektivitasnya, tetapi juga dari bagaimana kebijakan itu "diceritakan" kepada mereka.

Ucapan yang berempati bisa meredam kekecewaan, bahkan dalam situasi sulit. Sebaliknya, ucapan yang abai bisa memicu kemarahan sekalipun kebijakan yang ditawarkan sebenarnya masuk akal. Komunikasi bukan ajang pamer kata-kata, melainkan jembatan hati. Kata-kata yang berempati, dibangun atas kesamaan, dan disampaikan dengan kesediaan mendengar, akan jauh lebih efektif dan berpengaruh.

Seperti yang pernah dikatakan Stephen R. Covey, penulis The 7 Habits of Highly Effective People: "Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply."

Karena itu, sudah saatnya tokoh-tokoh publik di Indonesia membenahi cara mereka berkomunikasi. Pemimpin harus berhenti berbicara dari atas podium tinggi yang berjarak, dan mulai berbicara dengan nada yang menyentuh hati rakyat. Komunikasi publik tidak boleh lagi sekadar menjadi rutinitas birokratis, melainkan bagian dari upaya membangun kepercayaan, kedekatan, dan rasa memiliki bersama.

Seperti pernah diingatkan Nelson Mandela, "Jika Anda berbicara dengan seseorang dalam bahasa yang ia mengerti, itu akan masuk ke kepalanya. Jika Anda berbicara dalam bahasanya sendiri, itu akan masuk ke hatinya."

Pesan ini sederhana namun menohok: tanpa empati, bahasa pemimpin akan kehilangan makna, dan rakyat pun akan kehilangan kepercayaan. Ingat, pemimpin yang gagal berempati akan kehilangan rakyatnya jauh sebelum ia kehilangan jabatannya.


(miq/miq)