Masa Depan Indonesia adalah Energi Matahari & Energi Angin

Feiral Rizky Batubara CNBC Indonesia
Selasa, 02/09/2025 05:40 WIB
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebija... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi PLTB. (Dokumentasi Kementerian ESDM)

Di bawah terik matahari yang tak pernah absen menyinari Nusantara, dan di sepanjang garis pantai yang anginnya berhembus tanpa henti, Indonesia sebenarnya telah dianugerahi modal energi yang melimpah. Dua sumber energi alamiah ini yakni matahari dan angin, adalah kekuatan yang bisa menjadikan Indonesia bukan hanya negara besar, tetapi juga negara berdaulat energi.


Di tengah guncangan geopolitik, ketergantungan impor energi fosil, serta kebutuhan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim, masa depan Indonesia tak bisa lagi disandarkan pada batu bara atau minyak bumi. Masa depan itu ada pada cahaya pada energi matahari dan hembusan energi angin.

Selama puluhan tahun, energi fosil menjadi penopang utama perekonomian. Batu bara diekspor ke berbagai negara, minyak bumi menopang APBN melalui penerimaan migas, dan gas menjadi salah satu komoditas kebanggaan. Namun sejarah membuktikan, ketergantungan ini rapuh.

Fluktuasi harga minyak dunia pernah mengguncang APBN. Ketika cadangan minyak menurun, Indonesia berubah menjadi pengimpor neto. Batu bara yang selama ini dianggap penyangga fiskal kini berhadapan dengan tren dekarbonisasi global. Dunia bergerak menuju energi bersih, dan Indonesia harus ikut bergerak bila tidak ingin tertinggal.

Justru di saat dunia meninggalkan energi kotor, Indonesia berkesempatan mengisi panggung baru. Kita memiliki potensi surya yang sangat besar: rata-rata 4,8 kWh per meter persegi per hari, salah satu yang tertinggi di dunia tropis.

Jika hanya 1% saja lahan kritis dimanfaatkan untuk panel surya, kapasitas listrik yang dihasilkan bisa menembus puluhan gigawatt. Di sisi lain, potensi energi angin di sepanjang pesisir selatan Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku begitu besar. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru bahkan memasukkan target 7,2 GW dari tenaga angin hingga 2034. Ini angka yang tidak kecil, dan menjadi tanda bahwa negara mulai serius.

Energi matahari dan energi angin punya sifat yang demokratis. Tidak seperti migas yang terkonsentrasi di daerah tertentu, cahaya matahari dan angin hadir hampir di seluruh wilayah. Artinya, masyarakat punya peluang lebih besar untuk ikut berperan, bukan hanya perusahaan besar atau negara.

Desa-desa bisa membangun pembangkit listrik tenaga surya komunal. Koperasi bisa mengelola turbin angin kecil untuk kebutuhan lokal. UMKM bisa memanfaatkan tarif listrik terjangkau dari energi bersih untuk menekan biaya produksi. Di sinilah letak keadilan energi: rakyat tidak lagi sekadar menjadi konsumen, tetapi bagian dari ekosistem produsen energi.

Lebih jauh, aspek sosial dari energi terbarukan memberi peluang lahirnya koperasi energi desa. Melalui model ini, pembangkit surya dan angin dikelola secara kolektif oleh masyarakat, dan listriknya disalurkan ke rumah-rumah desa melalui jaringan lokal.

Dengan begitu, ekonomi tidak lagi hanya berputar di kota besar atau perusahaan energi raksasa, melainkan mengalir ke desa. Warga desa bukan sekadar pembeli listrik, tetapi pemilik sekaligus pengelola. Keuntungan dari penjualan listrik bisa dipakai untuk memperkuat kas desa, membiayai pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur lokal.

Yang lebih penting, koperasi energi menciptakan lapangan kerja baru: mulai dari teknisi panel surya, operator turbin angin, hingga pengelola administrasi energi desa. Model ini bisa menjadi jalan keluar atas ketimpangan pembangunan.

Selama ini, desa sering dipandang sebagai konsumen pasif yang bergantung pada pasokan dari pusat. Padahal dengan energi matahari dan angin, desa bisa menjadi produsen aktif, sekaligus membangun kemandirian ekonomi. Semakin banyak desa yang membangun koperasi energi, semakin kuat pula fondasi kedaulatan energi Indonesia yakni dari bawah ke atas, dari desa ke nasional.

Manfaat ekonominya juga tak terbantahkan. Harga panel surya turun hingga lebih dari 80 persen dalam dua dekade terakhir. Turbin angin pun semakin efisien dan murah. Secara global, energi terbarukan kini menjadi sumber listrik yang murah dan kompetitif dalam segi biaya dibandingkan pembangkit fosil.

Indonesia bisa memanfaatkan tren ini untuk menekan biaya energi domestik. Bahkan lebih jauh, dengan memproduksi panel surya dan komponen turbin angin di dalam negeri, kita bisa menciptakan lapangan kerja baru, memperkuat industri manufaktur, dan menambah devisa lewat ekspor. Energi matahari dan angin tidak hanya soal pasokan listrik, tetapi juga mesin penciptaan lapangan kerja hijau.

Tentu ada tantangan. Energi surya dan angin bersifat intermiten, yakni tidak selalu stabil karena bergantung pada cuaca. Matahari hanya bersinar di siang hari, sementara angin bisa berhembus kuat di malam hari atau musim tertentu. Namun tantangan ini dapat diatasi dengan dua cara.

Pertama, lewat teknologi penyimpanan energi (battery storage) yang kini semakin terjangkau. Baterai memungkinkan listrik yang dihasilkan pada siang hari disimpan untuk digunakan pada malam hari. Kedua, melalui kombinasi surya dan angin dalam satu sistem jaringan.

Di banyak wilayah, pola produksi keduanya saling melengkapi: saat matahari bersinar terik, turbin mungkin tenang; sebaliknya, saat malam berangin kencang, panel surya beristirahat. Integrasi dua sumber energi ini, ditambah baterai, akan membuat sistem jauh lebih stabil dan andal.

Inilah keunggulan strategis Indonesia: kita memiliki potensi ganda, surya dan angin, dalam skala besar. Dengan memadukan keduanya, Indonesia bisa membangun jaringan listrik yang tangguh dan terjangkau. Tantangan intermitensi bukan alasan untuk ragu, tetapi justru peluang untuk membangun inovasi.

Pemerintah sudah menegaskan target besar: Net Zero Emission pada 2060, bahkan ada wacana mempercepat hingga 2050. Target ini tidak akan berarti apa-apa bila tidak diterjemahkan ke langkah nyata. Di RUPTL terbaru, porsi energi baru terbarukan ditingkatkan.

Tetapi target di atas kertas tidak cukup. Kita perlu reformasi kelembagaan agar izin pembangunan PLTS dan PLTB tidak berbelit. Kita perlu dukungan finansial yang kreatif: blended finance, green bonds, dan insentif fiskal bagi investor. Kita perlu memastikan bahwa transisi energi tidak menambah beban rakyat kecil, melainkan justru meringankan biaya hidup mereka.

Indonesia punya sejarah panjang dalam menjadikan energi sebagai instrumen politik. Dari minyak bumi yang dulu disebut "emas hitam", hingga batu bara yang menjadi penyelamat APBN. Tetapi sejarah juga mengajarkan bahwa ketergantungan pada energi fosil penuh risiko. Kini kita dihadapkan pada kesempatan untuk menulis babak baru. Energi matahari dan angin bisa menjadi "emas hijau" Indonesia: melimpah, bersih, terjangkau, dan berkeadilan.

Masa depan bangsa tidak lagi bisa ditunda. Setiap hari, matahari menyinari negeri ini tanpa menagih imbalan. Setiap saat, angin berhembus tanpa henti. Sumber energi ini tidak akan habis, tidak bisa dimonopoli oleh segelintir pihak, dan bisa dinikmati lintas generasi. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian politik, visi jangka panjang, dan komitmen untuk menjadikan energi surya dan angin sebagai pusat peradaban baru Indonesia.

Jika kita berhasil, Indonesia tidak hanya akan berdiri sebagai negara yang berdaulat energi, tetapi juga sebagai teladan global: bangsa yang beralih dari ketergantungan pada energi kotor menuju kemandirian energi bersih. Sebuah bangsa yang menyadari bahwa masa depan tidak lagi bisa digantungkan pada fosil, tetapi harus digerakkan oleh cahaya dan embusan.

Masa depan Indonesia adalah energi matahari dan energi angin. Keduanya bukan sekadar sumber listrik, tetapi juga sumber kehidupan, keadilan, dan harapan. Dengan memanfaatkan keduanya, kita tidak hanya menyalakan lampu di rumah-rumah rakyat, tetapi juga menyalakan semangat untuk berdaulat, berdikari, dan membangun peradaban yang lebih hijau.

Dan pada akhirnya, saat kita memilih matahari dan angin, sesungguhnya kita memilih masa depan yang lebih adil, lebih terang, dan lebih berdaulat bagi seluruh rakyat Indonesia.


(miq/miq)