Indonesia Butuh TEA Party Sendiri: Taxed Enough Already

Ezaridho Ibnutama CNBC Indonesia
Selasa, 26/08/2025 10:57 WIB
Ezaridho Ibnutama
Ezaridho Ibnutama
Ezaridho Ibnutama telah menjabat sebagai kepala riset dan kepala ekonom di berbagai perusahaan sekuritas terkemuka. Saat ini, ia juga menjab... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi pajak. (Arie Pratama/CNBC Indonesia)

Kita tidak butuh kementerian baru. Kita tidak butuh lagi utang ribuan triliun rupiah. Dan kita jelas tidak butuh Bupati Pati, Sudewo, menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai 250 persen seolah rakyat ini sapi perah.

Tahun lalu petani bayar Rp179 ribu, sekarang disodori tagihan Rp 1,3 juta. Untuk apa? Buat gaji pejabat, buat proyek mercusuar, buat birokrasi yang makin gemuk.


Rakyat marah, wajar saja. Mereka melakukan aksi unjuk rasa, membakar ban, hingga bentrok dengan aparat keamanan. Ini bukan kriminal. Ini jeritan perut.

Tahun 1773 di Boston, Amerika Serikat (AS), rakyat membuang teh ke laut karena pajak gila-gilaan.

Tahun 2025 di Pati, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, rakyat melempar batu karena pajak tanah melonjak beratus persen.

Bedanya cuma lokasi, tapi intinya sama: pajak tanpa hati, pajak tanpa batas.

Sementara itu di Jakarta, utang negara sudah menembus Rp 8.000 triliun. Bayar bunga utang saja tahun depan memakan hampir seperenam dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tapi pemerintah malah membelah-belah kementerian kayak amuba. Ada menteri baru, ada wakil menteri baru, ada staf khusus baru, ada mobil dinas baru. Kabinet Presiden Prabowo Subianto ini saking gemuknya membuat Orde Baru kelihatan kurus.

Dan semua ini dibungkus program populis. Program Makan Bergizi Gratis menelan anggaran Rp71 triliun, tapi ruang kelas semakin sempit, guru honorer digaji ala kadarnya, dan pedagang pasar dicekik retribusi.

Uangnya bukan turun ke rakyat, tapi mampir dulu ke meja birokrat. Ini bukan subsidi, ini perampokan ber-APBN.

Indonesia butuh gerakan perlawanan pajak. Bukan anarkis, bukan chaos, tapi terorganisir, demokratis, dan keras kepala.

Semacam TEA Party versi kita: Taxed Enough Already. Petani, pedagang, pengusaha kecil, buruh, guru, semua yang setiap hari membayar pajak dan retribusi tapi tidak pernah dapat apa-apa selain janji kosong.

Sudah cukup. Rakyat ini bukan sapi perah. Pesannya harus sederhana dan keras: Indonesia sudah cukup diperas pajak. Pertanyaannya sekarang: siapa yang berani berdiri paling depan dan berteriak duluan?


(miq/miq)