Menakar Urgensitas Pembentukan Badan Ekonomi Syariah

Mohammad Nur Rianto Al Arif CNBC Indonesia
Selasa, 26/08/2025 11:45 WIB
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif
Mohammad Nur Rianto Al Arif merupakan Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah dan saat ini menjabat sebagai Asiste... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi Syariah Card Bank Mega Syariah. (Cnbc Indonesia/Muhammad Sabki)

Dalam satu dekade terakhir, geliat ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia berkembang pesat. Indonesia kini diakui sebagai salah satu negara dengan potensi pasar syariah terbesar di dunia. Data State of Global Islamic Economy Report 2024/2025 menempatkan Indonesia di posisi tiga besar dunia dalam perkembangan ekonomi syariah.


Namun, di balik capaian tersebut, tantangan institusional masih menghantui. Selama ini koordinasi dan pengembangan ekonomi syariah dijalankan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Kelembagaan ini secara formal berada di bawah Presiden, dengan Wakil Presiden sebagai Ketua Harian.

Sejumlah capaian patut dicatat. Misalnya, lahirnya sejumlah kebijakan pendukung industri halal, sertifikasi produk halal, peningkatan literasi keuangan syariah, serta dukungan pada pengembangan wakaf produktif. KNEKS juga berperan dalam memperkuat ekosistem rantai pasok halal yang menjadi bagian dari peta jalan industri halal nasional.

Namun, keterbatasannya juga jelas. Sebagai komite, KNEKS tidak memiliki kewenangan eksekusi langsung. Ia lebih berperan sebagai koordinator dan fasilitator. Padahal, pengembangan ekonomi syariah membutuhkan daya dorong kelembagaan yang bisa langsung mengambil keputusan, mengelola anggaran mandiri, dan melaksanakan program dengan cepat.

Dalam konteks birokrasi kita yang sering lamban, posisi KNEKS seringkali tidak cukup kuat untuk menembus hambatan teknis di lapangan. Meski berperan strategis, banyak kalangan menilai struktur KNEKS masih sebatas "komite koordinatif" yang terbatas dalam kewenangan eksekusi.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru saja berjalan membawa sejumlah program prioritas, mulai dari makan bergizi gratis hingga hilirisasi besar-besaran sumber daya alam. Dalam lanskap itu, ekonomi syariah seharusnya mendapat tempat strategis. Tidak hanya sebagai simbol mayoritas penduduk muslim, tetapi juga sebagai sumber daya ekonomi nyata yang bisa menopang ketahanan pangan, energi, hingga pembiayaan pembangunan.

Pada konteks tersebutlah, muncul gagasan untuk mengubah KNEKS menjadi Badan Ekonomi Syariah dengan mandat lebih kuat, setara lembaga negara non-kementerian, sehingga mampu menjalankan fungsi pengembangan ekosistem syariah secara lebih efektif.

Tulisan ini mencoba menakar urgensitas pembentukan badan baru tersebut, menimbang manfaat, risiko, serta implikasinya terhadap masa depan ekonomi syariah di Indonesia.

Indonesia memiliki modal demografis yang luar biasa yaitu lebih dari 230 juta penduduk muslim, menjadikannya pasar halal terbesar di dunia. Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya terkonversi menjadi kekuatan ekonomi riil.

Di sektor keuangan syariah, meskipun pertumbuhan cukup konsisten, pangsa pasar perbankan syariah baru sekitar 7,31% per Mei 2025. Angka ini masih jauh di bawah target 20% yang pernah dicanangkan. Pencapaian pangsa pasar melewati 5% didukung oleh konversi yang dilakukan oleh beberapa bank seperti Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah, dan Bank Riau Kepri Syariah.

Di sektor industri halal, konsumsi masyarakat muslim Indonesia untuk makanan halal, kosmetik, busana muslim, hingga pariwisata syariah terus naik. Tetapi ironisnya, sebagian besar produk halal yang beredar masih diimpor. Misalnya, bahan baku farmasi halal banyak bergantung pada negara lain, padahal permintaan domestik tinggi.

Dengan kata lain, ada paradoks yaitu potensi besar tidak otomatis melahirkan dominasi pasar dalam negeri. Hal ini antara lain karena kelembagaan yang mengatur dan mengembangkan ekonomi syariah belum cukup kuat.

Sejak ditetapkan melalui Perpres 28/2020, KNEKS memainkan peran koordinatif-menyusun arah, memperkuat sinergi antara Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian/Lembaga, serta mengawal agenda strategis.

Namun, koordinasi tanpa gigi eksekusi ibarat dirigen tanpa orkes yaitu partitur ada, tetapi nada kerap tercecer. KNEKS bukan regulator, bukan pula operator program lintas sektor dengan kantong anggaran mandiri. Di birokrasi yang mentalitas ego sektoral kuat, model komite sering kalah cepat dari kebutuhan lapangan

KNEKS memiliki fungsi cukup luas, mencakup penyusunan kebijakan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, koordinasi antar-kementerian/lembaga, monitoring dan evaluasi program, dan fasilitasi sinergi antara regulator, industri, dan masyarakat.

Meski demikian, sifat KNEKS hanyalah komite koordinatif. Artinya, ia tidak memiliki kewenangan eksekutorial langsung seperti mengeluarkan regulasi, mengalokasikan anggaran besar secara mandiri, atau mengelola program lintas sektor secara penuh.

Banyak kebijakan akhirnya tetap tergantung pada kementerian/lembaga teknis. Kondisi inilah yang membuat sebagian pihak menilai kinerja KNEKS sering terbatas pada penyusunan peta jalan, forum koordinasi, dan peluncuran program simbolis, tanpa daya paksa implementasi yang kuat.

Berdasarkan pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa alasan strategis mengapa Badan Ekonomi Syariah penting untuk dibentuk. Alasan pertama ialah untuk mengatasi fragmentasi kebijakan.

Ekonomi syariah mencakup banyak sektor mulai dari keuangan, industri halal, pendidikan, hingga pariwisata. Saat ini, masing-masing sektor diatur oleh kementerian berbeda. Tanpa lembaga eksekusi yang kuat, koordinasi cenderung lambat. Dengan badan khusus, kebijakan lintas sektor bisa lebih cepat dijalankan.

Pembentukan Badan ini diharapkan pula akan mampu meningkatkan daya eksekusi. Berbeda dengan komite, badan dapat diberi kewenangan regulasi dan pengelolaan anggaran. Misalnya, badan ini bisa mengelola dana riset halal, sertifikasi, atau dukungan UMKM syariah tanpa harus menunggu birokrasi panjang lintas kementerian.

Alasan ketiga ialah mendorong konsistensi jangka panjang. Komite biasanya rentan terhadap perubahan politik atau figur pimpinan. Badan yang berbentuk LPNK (Lembaga Pemerintah Non Kementerian) atau setara akan memiliki stabilitas lebih baik, karena didukung undang-undang atau peraturan pemerintah yang lebih kuat.

Alasan berikutnya ialah untuk memperkuat branding Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah global baik dari sisi industri halal maupun sektor keuangan syariah. Keberadaan badan yang fokus penuh pada pengembangan ekonomi syariah diharapkan akan mampu mengakselerasi mimpi untuk menjadi pemain utama global ini.

Alasan terakhir ialah sinkronisasi dengan visi Indonesia Emas 2045. Presiden Prabowo menargetkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi besar dunia di 2045. Ekonomi syariah bisa jadi salah satu penggerak, tetapi perlu kelembagaan yang mumpuni.

Meski gagasan pembentukan Badan Ekonomi Syariah terdengar ideal, ada pula risiko yang harus diantisipasi. Pertama potensi tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian atau Lembaga lain jika tidak dirancang secara jelas apa kewenangan utama dari Badan baru ini. Kondisi ini dapat semakin memperumit birokrasi dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Pembentukan badan baru butuh biaya besar. Anggaran negara saat ini sedang ketat, dengan prioritas diarahkan pada program pangan, kesehatan, dan pendidikan. Maka, urgensi pembentukan badan ekonomi syariah harus betul-betul dibarengi dengan perhitungan manfaat ekonomi yang konkret.

Risiko berikutnya yang perlu diantisipasi ialah politik kepentingan. Lembaga baru seringkali jadi rebutan posisi strategis, yang berisiko mengurangi fokus pada substansi pengembangan ekonomi syariah itu sendiri.

Risiko terakhir ialah berkenaan dengan efisiensi kelembagaan. Saat ini Indonesia sudah punya banyak sekali lembaga nonkementerian. Jika setiap masalah diselesaikan dengan badan baru, maka akan makin gemuk birokrasi.

Terdapat tiga opsi desain kelembagaan yang dapat dipertimbangkan. Opsi pertama ialah transformasi penuh KNEKS menjadi Badan Ekonomi Syariah yang setara dengan Lembaga Pemerintah Non Kementerian dengan kewenangan lebih luas. Kelebihan dari opsi pertama ini ialah aspek kelembagaan akan lebih kuat karena memiliki anggaran sendiri. Namun terdapat risiko tumpang tindih dengan kementerian dan lembaga lain.

Opsi kedua ialah model holding koordinatif dengan fungsi eksekusi terbatas. Badan ini hanya mengeksekusi program lintas sektor yang memang tidak bisa dijalankan oleh kementerian. Kelebihan dari opsi kedua ini ialah lebih ramping dan tidak terlalu besar anggaran yang dibutuhkan. Namun kelemahannya ialah hanya dapat mengeksekusi pada program tertentu.

Opsi terakhir ialah penguatan KNEKS tanpa perlu membentuk badan baru. Pemerintah dapat merevisi perpres agar KNEKS punya kewenangan eksekusi lebih besar tanpa perlu badan baru, termasuk memiliki alokasi anggaran tersendiri. Kelebihan dari opsi ini ialah tidak menambah birokrasi. Namun kekurangannya ialah ketergantungan efektivitas program bergantung pada desain regulasi yang ada.

Indonesia sudah memiliki modal besar untuk menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Tetapi tanpa kelembagaan yang kuat, potensi itu bisa terlewat. Pembentukan Badan Ekonomi Syariah untuk menggantikan KNEKS bisa menjadi solusi strategis, asalkan dirancang dengan hati-hati agar tidak menambah beban birokrasi dan benar-benar fokus pada eksekusi program.

Pembentukan badan bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya suatu instrumen. Hal yang jauh lebih penting ialah bagaimana badan itu nanti mampu bersinergi dengan kementerian/lembaga lain tanpa menciptakan tumpang tindih.

Selain itu, badan tersebut harus memiliki kewenangan eksekusi nyata, bukan sekadar simbolik yang didukung dengan anggaran memadai dan SDM yang kompeten. Serta yang terpenting Badan tersebut harus mampu menjadi motor edukasi dan literasi publik tentang ekonomi syariah.

Jika prasyarat itu terpenuhi, badan ekonomi syariah bisa menjadi game changer. Bukan hanya memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah global, tetapi juga menghadirkan manfaat nyata bagi masyarakat yaitu akses pembiayaan UMKM lebih luas, produk halal lebih terjamin, dana zakat dan wakaf lebih produktif, serta lapangan kerja baru tercipta.

Pada akhirnya, yang paling penting bukan sekadar nama lembaga, melainkan efektivitas kebijakan dan keberanian eksekusi. Bila badan ini mampu memperkuat industri halal, memperbesar pangsa pasar keuangan syariah, serta memberi manfaat nyata bagi UMKM dan masyarakat luas, maka keberadaannya memang mendesak.

Namun jika hanya menambah struktur tanpa daya guna, maka ia hanya akan jadi "menara gading" baru. Oleh karena itu, urgensi pembentukan badan ini harus diikuti dengan komitmen kuat pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai pilar utama menuju Indonesia Emas 2045.


(miq/miq)