RAPBN 2026 dan Kehati-hatian Kepala Daerah Menginovasi Fiskal

Nicholas Martua Siagian, S.H., CNBC Indonesia
25 August 2025 14:07
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian, S.H.
Nicholas Martua Siagian mendalami keilmuan di bidang Hukum Administrasi Negara, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, Inovasi, dan Perbaikan Sistem. Nicholas merupakan salah seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghar.. Selengkapnya
Presiden Prabowo Subianto resmi melantik 961 orang kepala daerah beserta para wakilnya. Pelantikan serentak ini pertama kali dilakukan dalam sejarah. Pelantikan digelar di halaman tengah antara Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2025). Acara ini diawali kirab dari Monas menuju Istana. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Presiden Prabowo Subianto resmi melantik 961 orang kepala daerah beserta para wakilnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/8/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dalam opini saya sebelumnya di Investor Daily, 4 Juni 2025, yang berjudul "100 Hari Kerja Kepala Daerah: Teknokratisme dan Gerak Lambat Ekonomi," saya menjelaskan secara gamblang bahwa seratus hari pertama masa kerja kepala daerah selalu menjadi titik awal ekspektasi publik.

Di tengah euforia pelantikan dan sorotan media, janji-janji kampanye diuji dalam realitas birokrasi yang rumit dan struktur fiskal yang terbatas. Alih-alih menjadi periode akselerasi, tak sedikit kepala daerah justru tersandera pada keraguan, stagnasi, bahkan keengganan untuk melakukan inovasi pembangunan.

Saya juga masih ingat dengan jelas bahwa dari berbagai kepala daerah yang sempat saya tanyakan langsung, banyak di antara mereka yang mengaku berada dalam posisi dilematis ketika hendak menyalurkan belanja daerah. Alasannya cukup kompleks. Pertama, adanya kekhawatiran bahwa kebijakan belanja yang diambil akan bertentangan dengan arahan pemerintah pusat, terutama dalam konteks program-program strategis nasional yang cenderung top-down.

Kedua, dinamika regulasi yang berubah cepat tanpa disertai mekanisme transisi yang jelas sering kali menyebabkan keraguan dalam mengeksekusi program-program inovatif. Ketiga, ruang fiskal daerah yang sempit karena sebagian besar alokasi dana sudah 'di-setting' untuk membiayai agenda pusat, menjadikan belanja publik untuk pembangunan seringkali menjadi prioritas nomor dua.

Jika kita melihat data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025, ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 4,87 persen-melambat dari kuartal sebelumnya (5,02 persen) dan lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu (5,11 persen). Ini jelas menunjukkan tekanan eksternal masih membayangi, mulai dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat hingga ketidakpastian geopolitik yang menahan laju investasi.

Namun, pada kuartal II-2025, pertumbuhan membaik menjadi 5,12 persen. Pertanyaannya, apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas ekonomi masyarakat? Atau hanya pencapaian angka makro tanpa makna mikro?

Persoalan Kenaikan Pajak
Dalam kondisi ekonomi yang masih rapuh, mendongkrak fiskal daerah tentu menjadi prioritas semua kepala daerah. Sebab, ekonomi daerah yang kuat akan memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu cara yang paling cepat-namun belum tentu tepat-adalah menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), termasuk lewat kenaikan pajak.

Di sinilah kontroversi terbaru dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mencuat ke permukaan. Kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen pada 2025 menuai kritik tajam dari masyarakat.

Alasan yang dikemukakan adalah karena tarif PBB belum pernah naik selama 14 tahun, sehingga penyesuaian dianggap wajar guna mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya soal angka persentase kenaikannya, melainkan cara berkomunikasi dan minimnya pendekatan teknokratis dalam kebijakan tersebut.

Alih-alih memberikan argumentasi berbasis data dan mengedepankan partisipasi publik, Bupati Pati justru melontarkan pernyataan yang mengusik hati masyarakat: "Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan. Jangan hanya 5.000 orang, 50 ribu orang saja suruh kerahkan. Saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan."

Pernyataan tersebut tidak hanya melukai nalar publik. Akan tetapi juga memperlihatkan absennya semangat demokrasi yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam proses perumusan kebijakan.

Dalam tata kelola pemerintahan modern, komunikasi pejabat publik bukanlah sekadar demonstrasi keberanian berbicara, melainkan manifestasi dari kepekaan sosial, keteladanan moral, dan integritas etika pelayanan. Kepala daerah dituntut memahami bahwa setiap kata yang diucapkan memiliki implikasi politik, sosial, dan psikologis terhadap masyarakat yang dipimpinnya.

Ketika gaya komunikasi yang dipilih justru konfrontatif, implikasinya bukanlah penguatan legitimasi, melainkan lahirnya resistensi sosial. Resistensi ini tidak sekadar wujud perbedaan pendapat, tetapi merupakan sinyal bahwa ada jarak yang semakin melebar antara pemerintah dan rakyat.

Dalam kasus Bupati Pati, sikap meremehkan aspirasi publik akhirnya dijawab oleh puluhan ribu masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan. Gerakan ini seakan menjadi pesan kolektif bahwa rakyat tidak selamanya diam; bahwa kesabaran publik adalah sumber daya politik yang, jika diabaikan atau disalahgunakan, akan berbalik menjadi energi perlawanan.

Fenomena ini juga menjadi pengingat reflektif bagi para pemangku kepentingan, bahwa kedaulatan rakyat bukan hanya konsep normatif yang tertulis di dalam Konstitusi, tetapi realitas politik yang dapat mewujud dalam bentuk mobilisasi sosial masif ketika aspirasi mereka diabaikan.

Kesatuan sikap masyarakat tersebut menunjukkan bahwa partisipasi publik adalah faktor penentu keberlanjutan legitimasi pemerintahan, dan bahwa pemimpin yang mengabaikan sensitivitas publik sedang mempertaruhkan modal sosial yang paling berharga-kepercayaan rakyat.

Teknokratisme yang Absen
Kenaikan pajak adalah instrumen fiskal yang sah, tetapi tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa proses teknokratik yang memadai. Pertanyaannya: apakah kebijakan kenaikan PBB-P2 ini telah melalui pembahasan terbuka dengan DPRD?

Apakah telah dilakukan konsultasi dan koordinasi dengan Kemendagri dan Kementerian Keuangan? Apakah kajian daya beli masyarakat, koefisien gini, tingkat inflasi lokal, serta ketimpangan spasial dan ekonomi antar desa telah dianalisis secara menyeluruh?

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menjelaskan bahwa Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah mengeluarkan surat edaran yang meminta seluruh pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2).

Dari data yang ada, tercatat 104 daerah melakukan penyesuaian tarif, dengan 20 daerah di antaranya menaikkan PBB P2 lebih dari 100 persen. Fenomena ini erat kaitannya dengan perubahan struktur fiskal nasional, di mana Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 diproyeksikan turun signifikan menjadi Rp650 triliun, atau berkurang 29,34 persen dibandingkan alokasi Rp 919,9 triliun pada APBN 2025.

Penurunan tersebut, sebagaimana ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani, dilatarbelakangi oleh pergeseran prioritas anggaran pemerintah pusat yang mengalokasikan Rp1.376,9 triliun belanja kementerian/lembaga untuk program perlindungan masyarakat berpenghasilan rendah. Secara akademis, kondisi ini memperlihatkan rigiditas fiskal yang meluas di tingkat daerah dan berpotensi menimbulkan respons kebijakan yang kontraproduktif terhadap beban masyarakat.

Dengan TKD yang semakin menyusut, kepala daerah menghadapi dilema serius. Pilihan untuk menaikkan pajak tidak bisa lagi menjadi solusi instan. Bukan hanya karena resistensi masyarakat yang tinggi, tetapi juga karena dampaknya bisa merusak basis sosial dan politik daerah.

Alternatif lain seperti pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sering digaungkan sebagai instrumen kemandirian fiskal. Akan tetapi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa membangun BUMD yang sehat membutuhkan waktu panjang, modal besar, dan tata kelola profesional. Faktanya, tidak sedikit BUMD justru berakhir merugi, bahkan menjadi ladang praktik korupsi yang membebani APBD.

Lalu, bagaimana dengan harapan pada investasi asing? Ini pun bukan jalan mulus. Investor cenderung menilai birokrasi daerah masih berbelit-belit, regulasi inkonsisten, dan tingkat kepastian hukum rendah. Tak jarang, isu korupsi dan lemahnya governance menjadi penghalang utama. Akibatnya, daerah-daerah di Indonesia kalah bersaing dengan kawasan lain di Asia Tenggara yang menawarkan iklim usaha lebih kondusif.

Perencanaan Prematur
RAPBN 2026 sejatinya menjadi penanda keras bagi pemerintah daerah bahwa era ketergantungan pada limpahan dana pusat perlahan berakhir. Keterbatasan ruang fiskal semakin nyata, membuat manuver kepala daerah kian sempit dan penuh risiko. Dalam situasi serba gamang ini, tanggung jawab tidak hanya berada di pundak pemerintah daerah. Pemerintah pusat pun dituntut untuk tidak lepas tangan.

Kebijakan fiskal nasional perlu disusun dengan konsistensi dan arah yang jelas, sehingga daerah tidak sekadar menjadi korban sampingan dari perubahan prioritas anggaran yang kerap bergeser tanpa pola yang ajek. Perencanaan anggaran negara harus diletakkan pada fondasi yang matang dan berjangka panjang, bukan sekadar reaksi jangka pendek terhadap dinamika global maupun tekanan dan nafsu politik sesaat.

Dengan kepastian semacam itu, daerah dapat menyusun strategi pembangunan yang lebih berkesinambungan, alih-alih terus terombang-ambing dalam ketidakpastian akibat keputusan sepihak pemerintah pusat.

Dari beberapa persoalan terjadi yang dihadapi oleh pemerintah daerah, di titik inilah tampak adanya persoalan tata kelola perencanaan dan penganggaran lintas level pemerintahan yang belum sepenuhnya sinkron. Idealnya, Kemendagri, Bappenas, dan Kemenkeu dapat merancang mekanisme fiskal yang lebih integratif dan antisipatif, sehingga konsistensi kebijakan antara pusat dan daerah dapat terjaga.

Refleksi ini menunjukkan bahwa praktik fiskal yang berorientasi pada kesinambungan pembangunan memerlukan disiplin koordinasi dan perencanaan yang berbasis bukti, bukan sekadar respons terhadap tekanan jangka pendek.

Persoalan Pemda yang Berlapis
Dengan demikian, problematika kenaikan pajak daerah tidak semata-mata dapat dipahami sebagai isu sosial yang membebani masyarakat, melainkan juga mencerminkan adanya kelemahan serius pada aspek prosedural dan teknokratis dalam proses perumusan kebijakan publik.

Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apakah arah kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah pusat maupun daerah benar-benar berpedoman pada dokumen perencanaan pembangunan yang telah disusun jauh hari sebelumnya, seperti RPJPN, RPJMN, maupun rencana pembangunan daerah yang seharusnya menjadi acuan bersama?

Jika tidak, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan adanya disonansi perencanaan antara level pusat dan daerah. Sentralisasi kebijakan fiskal yang terlalu kuat pada program-program populis pemerintah pusat, tanpa disertai sensitivitas terhadap kondisi riil fiskal dan kebutuhan spesifik tiap daerah, justru mengikis makna substantif otonomi daerah.

Padahal, semangat desentralisasi fiskal yang diamanatkan reformasi dan semangat otonomi daerah tidak hanya memberikan ruang bagi daerah untuk mengelola keuangan secara mandiri, tetapi juga menuntut adanya keseimbangan antara instruksi pusat dan inisiatif daerah.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation