Pendidikan Pelaut: Antara Kemhub & Kemdiktisaintek

Sepertinya tidak banyak yang ngeh ada 'api dalam sekam' dalam pengelolaan pendidikan pelaut di dalam negeri. Disebut demikian karena instansi yang selama ini menjadi lurah dalam ranah dimaksud, yaitu Kementerian Perhubungan, sedang digugat oleh penguasa jagat pendidikan tinggi: Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi atau Kemdiksaintek.
Pihak kedua menilai, salah satunya namun yang terpenting, pihak pertama membuka program studi (prodi) umum yang tumpang tindih dengan prodi di perguruan tinggi umum di bawah Kemendiktisaintek. Tarik-menarik antara kedua institusi masih berlangsung saat tulisan ini diselesaikan. Karenanya penulis berharap ada sepercik pemikiran yang bisa dipetik dari karangan ini untuk para pihak sehingga tercapai jalan keluar.
Dengan program yang tumpang-tindih, lanjut Kemdiksaintek, terjadi pemborosan APBN. Sekadar pembanding. Sebelum kebijakan efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dijalankan, anggaran pendidikan pada kementerian/lembaga sebesar Rp 261 triliun atau kedua tertinggi setelah anggaran pendidikan melalui belanja pemerintah daerah sekitar Rp 297 triliun.
Adapun anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sekitar Rp 33,5 triliun. Sementara Kemendiktisaintek sendiri 'hanya' sebesar Rp 57 triliun, dan Kemenag Rp 65,9 triliun. Padahal, dari 124 PTKL yang ada hanya 15 perguruan tinggi yang murni kedinasan, 87 PTKL menyelenggarakan pendidikan nonkedinasan, serta 22 PTKL campuran kedinasan dan nonkedinasan.
PTKL adalah perguruan tinggi di bawah kementerian/lembaga atau PTKL. Parahnya lagi, pembiayaan PTKL juga dinilai boros karena biaya operasional pendidikannya lebih mahal dari perguruan tinggi umum.
Biaya operasional mereka 13,8 kali lebih besar dibandingkan PTN di bawah Kemendiktisaintek. Terkait 'perseteruan' yang terjadi antara dua instansi, Komisi X DPR membentuk panitia kerja pendidikan tinggi kedinasan/lembaga (Panja PTKL).
Dilaporkan media, parlemen meluncurkan panja ini mengacu kepada kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018, 2019, dan 2020 bahwa ada indikasi tumpang tindih kewenangan dan pemborosan anggaran negara dalam penyelenggaraan PTKL. Harapannya, anggaran pendidikan 20% dari APBN semakin efisien, tepat sasaran, dan berkeadilan, terutama dalam konteks pendidikan tinggi.
Pendidikan Pelaut
Pendidikan pelaut di Indonesia termasuk cukup tua bila dilihat dari masa ditubuhkannya Akademi Ilmu Pelayaran (AIP), yaitu 1953. Secara resmi presiden pertama Soekarno mengukuhkan lembaga pendidikan ini pada 27 Februari 1957. Ketika itu sekolah ini masih berdiri independen dan bertanggung jawab langsung kepada 'Bung Besar'. Program yang tersedia baru dua: nautika dan teknika.
Sekitar 1960-an, AIP berkolaborasi dengan Akademi Pelayaran Amerika atau US Merchant Marine Academy -dikenal dengan panggilan Kings Point- di New York. Reputasi sekolah yang kini bernama Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, disingkat STIP, jelas membuatnya berkilau di saat negara lain di kawasan belum memiliki akademi sejenis kala itu.
Jadilah AIP tempat menuntut ilmu bagi calon pelaut dari Tanzania, Malaysia, dan Bangladesh antara lain, melalui program pertukaran pelajar pada 1974. Setelah dua program di muka, dibuka lagi dua program studi baru, yaitu ketatalaksanaan dan kepelabuhanan dan elektronika & komunikasi. Sebelum bernama STIP, AIP sempat beberapa lama dinamai Pendidikan dan Latihan Ahli Pelayaran (PLAP). Kemudian diubah menjadi STIP pada 2000 hingga kini.
Pendidikan pelaut nasional tidak hanya diselenggarakan oleh STIP. Kementerian Perhubungan (Kemhub) mendirikan juga beberapa sekolah/akademi pelaut di beberapa lokasi di seluruh Indonesia. Tingkatannya pun beragam; ada yang untuk mendidik officer dan ada pula untuk rating.
Tidak ketinggalan di antara jajaran ini adalah lembaga pendidikan pelaut swasta yang sampai derajat tertentu cukup lama eksistensinya. Sekolah/akademi pelaut yang dikelola oleh Kemhub ada yang pada awalnya diberi nama 'Balai Pendidikan' yang kemudian bertransformasi menjadi akademi/lembaga pendidikan tinggi seiring dengan diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal yang sama juga berlaku atas balai pendidikan yang diampu oleh kementerian/lembaga lainnya. Kemdiktisaintek sendiri juga membuka sekolah/akademi pelaut, salah satunya adalah Politeknik Negeri Maritim Indonesia atau Polimarin yang bermarkas di Semarang, Jawa Tengah.
Singkat cerita, pendidikan pelaut yang selama ini dianggap merupakan 'mainannya' Kemhub kini mulai mendapat cabaran (baca: tantangan) dari Kemdiktisaintek. Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai publik melihat situasi ini? Mari melihat kelebihan dan kekurangan para pihak sebelum mengambil keputusan kepada siapa nasib penyiapan tenaga pelaut nasional digantungkan.
Sebagai entitas yang sudah berurat-berakar dalam mendidik pelaut, akademi/sekolah pelaut binaan Kemhub, tepatnya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan-BPSDM, jelas memiliki pengalaman level 'gacor' dibanding entitas lainnya. Karenanya, apa yang sudah melekat pada diri mereka tidak perlu dilucuti.
Tetapi BPSDM perlu juga melunak atas desakan para pihak yang menilai lembaga ini mengasuh prodi yang tumpang-tindih dan berbiaya mahal. Mengutip pakar pendidikan tinggi dari Universitas Indonesia, Mahmud Sudibandriyo, setidaknya diperlukan perbaikan pada tiga aspek penting yang perlu diperbaiki dalam diri PTKL: penguatan mutu dan sinergi, penajaman fokus akademik, dan penataan kelembagaan.
Pada aspek penguatan mutu sinergi, PTKL harus fokus pada pembinaan SDM, spesifik untuk kebutuhan Kementerian dan Lembaga. Untuk aspek penajaman fokus akademik, PTKL selain akademi militer (akmil) hanya menyelenggarakan pendidikan vokasi dan profesi. Jangan ada lagi PTKL yang menyelenggarakan pendidikan akademik umum.
Terakhir, dalam aspek penataan kelembagaan, hanya PTKL yang sangat strategis dan relevan yang layak dipertahankan. Sebab, untuk pendidikan lainnya, lebih baik menyediakan ruang tersebut pada perguruan tinggi umum.
Sementara itu, Kemdiktisaintek harus tahu diri bahwa mereka adalah 'pendatang baru' dalam ranah pendidikan pelaut. Sehingga, tuntutan yang mereka diajukan dapat dikurangi. Paling tidak, instansi tersebut menyisakan STIP agar tetap eksis.
Adapun lembaga pendidikan milik Kemhub lainnya dapat diakuisi atau ditutup sama sekali. Tenaga pengajarnya, yang sudah berstatus ASN, dapat diserap untuk mengajar di sekolah-sekolah asuhan Kemdiktisaintek. Entahlah.
(miq/miq)